Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2021 tentang Pemberdayaan Angkutan Laut Pelayaran Rakyat dinilai tidak mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan pelayaran rakyat secara umum. Masih banyak hal yang harus dibenahi.
Oleh
OKI LUKITO
·5 menit baca
Itu perahu / Riwayatnya dulu / Kaum pedagang / selalu...Naik itu perahu. (Gesang Martomartono)
Cuplikan syair lagu ”Bengawan Solo” ciptaan Gesang Martomartono sengaja penulis tampilkan untuk menyegarkan kembali bahwa kapal pelayaran rakyat, selain mampu berlayar di selat, laut, bahkan samudra, juga lincah menelusuri sungai-sungai mengantarkan para pedagang, saudagar ke pelosok daerah menghampiri konsumennya. Keunggulan kapal pelra memiliki shallow draft sehingga mampu bermanuver di alur sungai sempit dan dangkal sekalipun, termasuk merapat di pinggir pantai tanpa harus ada dermaga.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2021 tentang Pemberdayaan Angkutan Laut Pelayaran Rakyat yang diinisiasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi selain mendapat apresiasi juga mengundang kritik dari pemangku kepentingan, khususnya dari pemilik kapal, perajin kapal, koperasi pelayaran rakyat (kopelra), ataupun anak buah kapal (ABK) di sejumlah daerah. Perpres tersebut dianggap tidak mengakomodasi kepentingan, kebutuhan pelra secara umum.
Setidaknya ada empat persoalan mendasar dalam perpres tersebut yang dianggap justru tidak berpihak kepada pelra. Pertama, menyangkut prototipe kapal, kedua pengamanan di laut, ketiga fasilitas pelabuhan, dan keempat menyangkut bahan baku kayu untuk pengembangan armada pelra.
Kapal pelra sejatinya merupakan kapal pinisi yang sudah melegenda dan dicintai karena profilnya. Bentuknya jika diperhatikan dari depan kapal yang terbuat dari kayu tersebut membentuk lambang cinta (love). Kemurnian kayu utuh dan jenisnya di seluruh tubuh kapal sudah terpatri sejak ratusan tahun lalu dan teruji kelaik-lautannya.
Kemudian menjadi tanda tanya besar apakah Pasal 11 dalam perpres tersebut memang diperuntukkan kapal Pelra? Salah satunya karena menyangkut rancang bangun prototipe kapal.
Soal pengamanan sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 disebutkan Tentara Nasional Indonesia dan kepolisian bersinergi dalam penegakan hukum mendukung pemberdayaan angkutan laut pelra. Pasal ini tidak sejalan dengan Pasal 276 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Kewenangan tersebut sebagaimana diamanatkan UU Pelayaran ditangani penjaga laut dan pantai (sea and coast guard). Keseriusan pemerintah membentuk badan tunggal penjaga keamanan di laut yang merupakan amanat UU Pelayaran adalah hal yang ditunggu oleh pemangku kepentingan pelayaran.
Wadah tunggal itu diharapkan menjadi badan satu-satunya penegak hukum di laut. Maraknya pungutan liar di laut, misalnya, sebetulnya sudah bukan rahasia umum. Penghadangan dan pemalakan atau diistilahkan oleh ABK kapal pelra disebut ”cium pantat” kerap dilakukan oleh oknum petugas dari berbagai instansi menggunakan kapal patroli hingga speedboat. Alasannya, atas dasar peraturan perundang-undangan yang menaunginya, setiap instansi berwenang menangkap kapal di tengah laut.
Di pelabuhan asal dan di pelabuhan tujuan, armada kapal pelra mendapat perlakuan khusus dan menempati dermaga tersendiri atau terpisah dari kapal pelayaran nasional lainnya. Akan tetapi, di pelabuhan asal dan pelabuhan tujuan, kapal pelra dilarang sandar penuh. Kapal-kapal tersebut harus sandar sirip dan hal ini sangat memengaruhi produktivitas bongkar muat serta kenyamanan berusaha.
Dengan parkir sirip, otomatis peralatan seperti alat bongkar muat tidak berfungsi. Para pekerja bongkar muat barang harus naik turun titian terbuat dari papan ke haluan kapal (bow) yang ketinggiannya mencapai 60-70 derajat dari dermaga.
Perlu dikoreksi pula isi Pasal 17 perihal pembangunan terminal di setiap pelabuhan yang disinggahi kapal pelra. Sarana dan prasarana untuk sandar dan bongkar muat kapal dilengkapi fasilitas umum, termasuk di antaranya stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Selama ini armada kapal pelra menggunakan solar subsidi yang diatur oleh BPH Migas dan Pertamina dan penyalurannya melibatkan kopelra.
Hal yang dibutuhkan adalah stasiun pengisian bahan bakar bersubsidi (SPBB). Dari sekian ratus pelabuhan yang disinggahi kapal pelra, SPBB hanya ada di Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Gresik. Lainnya membeli solar di luar lokasi pelabuhan atau terminal bahan bakar minyak Pertamina (TBBM) dengan konsekuensi menambah biaya transpor Rp 250-300 per liter.
Di poin b Pasal 17 disebutkan pula terminal sarana dan prasarana marina untuk sandar atau tambat kapal wisata (yacht). Hal ini menjadi bias karena kapal pelra bukan kapal wisata, melainkan kapal dagang merangkap kapal logistik.
Demikian pula soal bahan baku kapal (kayu) sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 Ayat 1. Pemerintah memang sudah seharusnya hadir dengan memfasilitasi ketersediaan kayu tertentu yang digunakan untuk membangun dan mengembangkan kapal untuk jangka pendek, menengah, dan panjang.
Namun, harapan elok perajin kapal pelra dimentahkan oleh Ayat 2 yang menyebutkan kayu tertentu tersebut diatur oleh menteri yang membidangi (kehutanan). Perlu digarisbawahi, sejak UU Kehutanan diberlakukan UU Nomor 41 Tahun 1999, soal perkayuan tidak memayungi kepentingan kapal pelra.
Sebagai referensi, dalam keterlibatan program tol laut besutan Presiden Joko Widodo, sejak dicanangkan hingga menjelang 10 tahun pelaksanaannya, pelra tidak dilibatkan. Deklarasi yang ditandatangani Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito di atas kapal tol laut, KM Dorolonda, di Surabaya pada Februari 2019 tenggelam tak jelas bangkainya. Jelas disebutkan dalam salah satu dari lima isi deklarasi tersebut, pelaksanaan sistem tol laut memperhatikan dan mengikutsertakan pelayaran rakyat yang sudah ada lebih dulu sehingga mereka menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari simpul tol laut.
Faktanya, Kementerian Perhubungan membangun armada sendiri, kapal kecil berukuran sekitar 35 GT dihibahkan kepada pemerintah daerah se-Indonesia tanpa melibatkan pelra yang sudah ada. Terbitnya Perpres Pelayaran Rakyat patut diapresiasi senyampang betul-betul untuk kepentingan armada pelra sebagai kapal dagang yang tidak bisa disamakan dengan kapal wisata. Pengalaman selama ini membuktikan kebijakan untuk pelra ibaratnya jauh tiang dari layarnya.
Contohnya, kebijakan terhadap pelayaran rakyat soal yang didukung UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual BBM, faktanya belum memperlihatkan perubahan yang signifikan. BBM masih menjadi salah satu pemicu terus menurunnya peran pelayaran rakyat.
Oki Lukito, Pengurus DPD Pelra Jawa Timur dan Bali, Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim dan Perikanan