MUK juga punya kelemahan. Antara lain, produksi kayu dari hutan alam mulai menurun sejak 2005 dan turun ke titik nadir 2019, beratnya keuangan sektor industri kehutanan, dan minimnya sumber daya manusia yang tersedia.
Oleh
Pramono Dwi Susetyo
·3 menit baca
Kompas
Sejumlah pondokan dibangun pembalak dalam sebuah kawasan hutan lindung di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan. Pembalakan nyaris tak pernah berakhir di wilayah itu semakin menghabisi potensi kayu alam tersisa. Adapun kayu-kayu dialirkan melalui sungai menuju industri pengolahan kayu terdekat.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada masa pandemi dan lesu ekonomi ini, berjuang semaksimal mungkin untuk menaikkan nilai hutan.
Nilai itu dikonversi dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi lagi dengan memanfaatkan kawasan hutan untuk berbagai usaha kehutanan, pertanian, peternakan, dan perikanan. Kegiatan usaha dalam kawasan hutan ini disebut Multiusaha Kehutanan (MUK).
Hitung-hitungan pakar ekonomi kehutanan, memberikan gambaran bahwa dengan MUK, nilai ekonomi kawasan hutan dapat ditingkatkan berlipat dibandingkan dengan usaha kehutanan sistem monokultur selama ini.
Optimisme KLHK tentang MUK cukup tinggi, sampai-sampai dalam PP No 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, sebagai turunan UU Cipta Kerja, disebut dalam salah satu pasalnya.
Optimisme dan harapan KLHK tentu baik-baik saja. Juga boleh-boleh saja MUK dimasukkan sebagai suatu program/kegiatan. Namun, perlu diingat, MUK juga punya kelemahan. Antara lain, pertama, produksi kayu dari hutan alam mulai menurun sejak 2005 dan turun ke titik nadir sejak ditetapkannya moratorium permanen hutan alam tahun 2019.
Banyak industri kayu, seperti pabrik kayu lapis, kayu gergajian, dan industri perkayuan lainnya kolaps atau hanya beroperasi on and off. Di tengah kondisi perusahaan konsesi yang demikian, multiusaha baru tentu akan membebani keuangan perusahaan yang lagi tidak sehat.
Kedua, dari aspek agroklimat, lahan konsesi tersebut rata-rata lahan-lahan yang miskin hara dengan keasaman tinggi (tanah bergambut). Kalau dipaksakan, misalnya untuk budidaya tanaman pangan, perlu perlakuan khusus (pengapuran agar tanah menjadi basa dan pemupukan dosis tinggi) yang membutuhkan biaya besar.
Kesimpulannya, hitung-hitungan secara ekonomis tidak menguntungkan perusahaan pemegang konsesi.
Ketiga, dari sisi penyediaan tenaga kerja. MUK untuk penyediaan pangan, misalnya, selain padat modal, juga padat karya, yang tidak sama dengan usaha pemanfaatan kayu yang selama ini dilakukan. Belum tentu juga sumber daya manusia yang dibutuhkan ada di lokasi terdekat.
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan KLHK, Vila Bogor Indah Ciparigi, Bogor
PON XX Papua
Kompas/Wawan H Prabowo
Tarian muda-mudi Papua menyemarakkan upacara penutupan PON Papua 2021 di Stadion Utama Lukas Enembe, Kampung Harapan, Kabupaten Jayapura, Papua, Jumat (15/10/2021). Kegiatan tersebut dihadiri langsung oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Pemerintah menunjuk Aceh dan Sumatera Utara sebagai tuan rumah pelaksanaan PON XXI tahun 2024. Ini menjadi sejarah baru, di mana PON diselenggarakan secara bersama di dua provinsi yang berbeda.
Harian Kompas (Jumat, 15/10/2021) memuat berita tentang Provinsi Jawa Barat yang menjadi juara umum PON XX Papua dengan 133 medali emas. Namun, menurut saya, Provinsi Papua, walau di peringkat ke-4, adalah juara yang sebenarnya.
Pemerintah dan masyarakat Provinsi Papua bahu-membahu mempersiapkan peristiwa olahraga nasional empat tahunan ini dengan penuh semangat. Mereka antusias memenuhi lokasi lomba.
Upacara penutupan berlangsung semarak di Stadion Utama Lukas Enembe, dihadiri Wakil Presiden Ma’aruf Amin (Kompas, 16/10/2021).
Seusai PON XX, masyarakat Papua memiliki gedung dan lokasi pertandingan olahraga yang baru dan bagus, bisa digunakan untuk pembinaan olahraga. Bibit-bibit atlet berbakat Papua sudah muncul dan berprestasi dalam berbagai cabang olahraga, tinggal pembinaan selanjutnya.
Provinsi Jawa Barat memang menjadi juara umum. Provinsi Papua sukses menggelar perhelatan. Namun, sukses terbesar ditunjukkan oleh seluruh bangsa Indonesia, khususnya para atlet, ofisial, dan pemerintah daerah yang mempersiapkan diri dengan penuh semangat meski sedang pandemi. Mereka terus berlatih di tengah keterbatasan.
Semua masyarakat olahraga Indonesia yang hadir di Papua tidak hanya berlomba, tetapi juga mengunjungi saudara-saudarinya di Bumi Cenderawasih. Inilah medali emas yang paling berkilau: persaudaraan bangsa Indonesia yang dirajut di timur Indonesia. Itulah persatuan Indonesia.