Kotak Pandora Seleksi Guru PPPK
Terkait PPPK pemerintah lebih mengedepankan pendekatan komersialisasi ketimbang pendekatan humanis. Ditambah pelaksanaan seleksi PPPK yang acakadut, tentu ini membuka kotak pandora dalam pengelolaan dunia keguruan kita.
Walau urung terealisasi, niatan pemerintah menjadikan guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dan menghilangkan rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS) secara permanen sudah tampak sinyalnya.
Pemerintah lebih mengedepankan pendekatan komersialisasi ketimbang pendekatan humanis. Ditambah pelaksanaan seleksi PPPK yang acakadut, tentu ini membuka kotak pandora dalam pengelolaan dunia keguruan kita. Pengelolaan guru mestinya jangan disamakan dengan pengelolaan dunia industri yang mengedepankan untung rugi dalam neraca modal.
Seharusnya, pengelolaan guru dilandasi oleh satu pandangan bahwa pendidikan adalah kebutuhan mendasar. Ada dimensi historis, sosiologis, kultural, intelektual, moral, dan spiritual yang melekat di dalamnya. Pilihan menjadi guru erat kaitannya dengan panggilan jiwa. Guru profesi mulia dan terhormat.
PPPK dan CPNS dari sisi rekrutmen guru merupakan dua hal yang berbeda. Kalau kita ingat, latar belakang PPPK adalah untuk menyelesaikan persoalan guru honorer. PPPK digelar agar guru honorer mendapatkan kesejahteraan, perlindungan, dan pengembangan karier yang layak dari pemerintah.
Program ini semula dikhususkan bagi guru honorer yang berusia di atas 35 tahun agar bisa menjadi aparatur sipil negara (ASN). Sementara CPNS tetap dibuka bagi lulusan LPTK dan guru-guru yang berusia di bawah 35 tahun. Namun, sepertinya arah PPPK sudah bergeser ketika pemerintah membuka seleksi PPPK bukan hanya bagi guru honorer di atas 35 tahun, melainkan juga bagi lulusan baru (fresh graduate) dan guru lain di bawah usia 35 tahun agar ikut program yang disebut rekrutmen satu juta guru.
Seharusnya, pengelolaan guru dilandasi oleh satu pandangan bahwa pendidikan adalah kebutuhan mendasar.
Implementasi PPPK seharusnya lex specialis (bersifat khusus) dan dibangun dari basis data nasional yang akurat dan spesifik, mulai dari jumlah keseluruhan, status kepegawaian, tingkatan usia, jenis kelamin, jenjang mengajar, bidang studi yang diampu, kepemilikan sertifikat pendidik, hingga lama mengabdi.
Sangat tepat jika sementara waktu pemerintah membuka rekrutmen PPPK hanya terbatas bagi guru honorer di atas 35 tahun. Alangkah bijaksana jika pemerintah selain menggunakan jalur tes obyektif, juga mempertimbangkan penilaian afirmatif berdasarkan pengabdian, penilaian kinerja, dan portofolio, terutama bagi guru honorer yang mengabdi lebih dari 10 tahun dan atau memiliki sertifikat pendidik.
Jika pemerintah konsisten membuka PPPK sebagai pintu masuk khusus bagi guru honorer, berpijak pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik), dengan memberikan berbagai pertimbangan humanis, bisa dipastikan dalam waktu tak terlalu lama persoalan guru honorer bisa terselesaikan. Di sisi lain, rekrutmen CPNS perlu disempurnakan agar bisa menjaring guru berdedikasi, profesional, dan berusia produktif di bawah 35 tahun.
Sama seperti PPPK, rekrutmen CPNS bagi guru harus diberlakukan lex specialis. Selain dibuka seleksi jalur umum, diperlukan juga seleksi jalur khusus dengan beberapa kategori antara lain: (1) jalur khusus bagi guru yang mengabdi di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar; (2) jalur khusus bagi guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik; (3) jalur prestasi bagi guru atau calon guru yang memiliki ijazah kependidikan dengan predikat cum laude.
Banyak temuan janggal
Saat ini jika Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) menunda pengumuman hasil seleksi PPPK tahap I, rasanya kebijakan yang tepat, untuk mengevaluasi diri, mengurai masalah sekaligus mulai menutup kotak pandora yang telanjur dibuka. Hal ini karena, di lapangan kita banyak menemukan kejanggalan.
Beberapa waktu lalu, misalnya, AGSI menemukan banyak sekali guru sejarah honorer yang sudah mendaftar, kemudian dinyatakan lulus verifikasi pemberkasan, memiliki nomor ujian, dan berhasil cetak kartu ujian, namun justru tidak mendapatkan lokasi dan tanggal tes. Hal itu disebabkan yang bersangkutan dianggap tidak mendaftar formasi di sekolah induk.
Implikasi dari hal ini adalah mereka tak dapat mengikuti ujian seleksi PPPK tahap I dan terpaksa diarahkan mengikuti seleksi PPPK tahap II di mana guru sejarah honorer harus bersaing dengan pelamar lain dari jalur umum dengan jumlah formasi sisa yang makin sedikit.
Hal ini karena, di lapangan kita banyak menemukan kejanggalan.
Secara psikologis ini juga sangat merugikan guru sejarah honorer. Batalnya mereka mengikuti seleksi PPPK tahap I adalah bentuk ketidakadilan yang muncul salah satunya akibat gagalnya Kemendikbudristek, Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Badan Kepegawaian Daerah (BKD), dan Dinas Pendidikan dalam melakukan sinergi antarlembaga, serta belum optimalnya pola sosialisasi yang dilakukan terkait seleksi PPPK.
Gagalnya sinergi antarlembaga dan belum optimalnya pola sosialisasi yang berakibat dirugikannya guru sejarah honorer, antara lain karena ketidaksinkronan data (anjab) antara sekolah, Dinas Pendidikan, BKD, BKN, Kemendikbudristek, dan Kementerian Agama mengenai kebutuhan formasi yang diajukan, ketersediaan guru di lapangan, dan formasi yang dibuka dalam seleksi PPPK.
Juga didapatkan fakta beredarnya dua dokumen, yaitu Surat Edaran (SE) Dirjen GTK Nomor 1460/B.B1/GT.02.01/2021 tentang Kualifikasi Akademik dan Sertifikat Pendidik dalam Pendaftaran Pengadaan Guru PPPK Tahun 2021.
Keduanya memiliki kepala dan nomor surat yang sama, tetapi ada perbedaan lampiran antarkeduanya. Pada dokumen pertama, mata pelajaran sejarah disebutkan tak linier dengan ekonomi, sosiologi, dan geografi; sementara di dokumen kedua, sejarah linier dengan ekonomi, sosiologi, dan geografi.
Beredarnya dua dokumen ini membawa implikasi kebingungan guru sejarah honorer dalam melihat linieritas terkait pemilihan formasi di sekolah induk.
Perlu diperhatikan juga bahwasanya SE Dirjen GTK Nomor 1460/B.B1/ GT.02.01/2021 tentang Kualifikasi Akademik dan Sertifikat Pendidik dalam Pendaftaran Pengadaan Guru PPPK Tahun 2021 bertentangan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Mendikbud Nomor 46 Tahun 2016 tentang Penataan Linieritas Guru Bersertifikat Pendidik, yang menjelaskan bahwa kode 204 sejarah tak linier dengan ekonomi, sosiologi, ataupun geografi.
Isi SE Dirjen GTK Nomor 1460/B.B1/GT.02.01/2021 tentang Kualifikasi Akademik dan Sertifikat Pendidik dalam Pendaftaran Pengadaan Guru PPPK Tahun 2021 yang menyatakan sejarah, ekonomi, sosiologi, dan geografi linier juga bertentangan dengan prinsip profesionalisme pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen di mana guru mata pelajaran harus mengampu bidang studi sesuai dengan latar belakang keilmuan yang dimilikinya.
Selain dari sisi profesionalisme, hasil ujian seleksi PPPK juga tidak akan fair dan valid jika guru sejarah harus mengerjakan soal dan atau mengajar di luar bidang ilmunya.
Perbaiki rekrutmen
Kebingungan guru sejarah honorer juga terjadi pada sistem SSCN (sistem seleksi calon ASN) di mana ketika sekolah induk tidak membuka formasi, sistem SSCN memberi kesempatan agar dilakukan reset yang kemudian diikuti oleh sebagian guru sejarah honorer yang melakukan reset dengan memilih formasi yang dibuka di luar sekolah induk dengan tetap memperhatikan kesesuaian linieritas. Namun belakangan mereka yang mengikuti langkah ini justru tidak mendapatkan tempat dan tanggal ujian dalam seleksi PPPK tahap I.
Kami berkeyakinan masalah yang menimpa guru honorer bidang Sejarah juga terjadi pada guru honorer mata pelajaran lain.
Seharusnya jika memang tak diperkenankan memilih formasi di luar sekolah induk, ada penjelasan resmi dari panitia penyelenggara, kemudian sistem otomatis mengunci dan memberikan penolakan sejak awal. Jadi, bukan justru sistem dibuka, sehingga guru sejarah honorer dapat memilih formasi di luar sekolah induk sampai kemudian mereka dinyatakan lulus verifikasi dan bisa mencetak kartu ujian.
Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 28 Tahun 2021 tentang Pengadaan PPPK untuk Jabatan Fungsional Guru pada Instansi Daerah Tahun 2021 Pasal 29 Ayat 1 jelas menyatakan seleksi PPPK tahap I hanya bisa diikuti oleh guru tenaga honorer kategori (THK) II dan guru non-ASN yang terdata di dapodik.
Lalu pada Ayat 2 poin a dinyatakan, pelamar wajib mendaftar di sekolah induk selama sertifikat pendidik dan atau kualifikasi pendidikan sesuai, kemudian pada poin b, jabatan yang sudah dilamar di sekolah induk tidak dapat dilamar oleh pelamar yang berasal dari sekolah lain, selanjutnya pada poin c dijelaskan ”dalam hal kebutuhan PPPK tidak tersedia di sekolah induk, pelamar dapat mendaftar di sekolah lain yang masih tersedia kebutuhannya”.
Artinya tak ada alasan yang melarang guru sejarah honorer mendaftar di luar sekolah induknya, dikarenakan tak tersedianya formasi di sekolah induk.
Baca juga : Balada Sejuta Guru PPPK
Kami berkeyakinan masalah yang menimpa guru sejarah honorer juga terjadi pada guru-guru honorer mata pelajaran lain. Harapannya, Kemendikbudristek, Kementerian Agama, Kemenpan dan RB, BKN, BKD, dan pemda (Dinas Pendidikan) menutup kotak pandora ini dengan memperbaiki sistem rekrutmen PPPK melalui sinergi antarlembaga, pola sosialisasi yang efektif, dan berikan keadilan kepada guru-guru honorer yang sudah dinyatakan lolos verifikasi, memiliki nomor peserta ujian, bahkan sudah bisa dicetak kartu ujiannya agar bisa mengikuti seleksi PPPK tahap I!
Sumardiansyah Perdana Kusuma
Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), Wakil Ketua Asosiasi Profesi Keahlian Sejenis (APKS) PB PGRI