Setelah Suroto Diundang ke Istana
Janji Presiden Jokowi untuk membantu para peternak membeli jagung dengan harga Rp 4.500 per kilogram tidak akan menyelesaikan akar permasalahan yang membelit peternak rakyat. Akar masalahnya adalah kelebihan produksi.

Didie SW
Para peternak ayam pedaging (broiler) dan ayam petelur (layer) Tanah Air sedikit merasa lega. Belum lama ini Suroto, yang membentangkan poster saat kunjungan kerja Presiden Joko Widodo di Pusat Informasi Pariwisata dan Perdagangan Kota Blitar, Jawa Timur, diundang Presiden Jokowi ke Istana Negara bersama beberapa anggota asosiasi peternak ayam lainnya.
Sekadar mengingatkan pembaca. Kunjungan kerja Presiden Jokowi di Pusat Informasi Pariwisata dan Perdagangan (PIPP) Kota Blitar belum lama ini diwarnai insiden kecil. Ketika mobil yang ditumpangi Presiden Jokowi melaju, Suroto yang berdiri di pinggir jalan tiba-tiba membentangkan sebuah poster tulisan tangan yang berbunyi: ”Pak Jokowi Bantu Peternak Beli Jagung dengan Harga Wajar!”.
Suroto akhirnya ditangkap aparat keamanan (versi polisi ”diamankan”), dan dibawa ke mobil Sabhara keluar dari kerumunan warga yang beramai-ramai merekam peristiwa tersebut. Meski beberapa waktu kemudian Suroto dilepaskan kembali, bahkan beberapa hari kemudian diundang Presiden Jokowi ke Istana Negara, insiden itu sempat viral di media sosial dan mendapatkan tanggapan beragam dari para netizen. Benarkah setelah Suroto diundang Presiden Jokowi ke Istana Negara semua permasalahan akan selesai?

Presiden Joko Widodo menerima perwakilan Perhimpunan Insan Perunggasan dan Peternak Ayam Petelur, pada Rabu, 15 September 2021, di Istana Negara, Jakarta.
Ironi
Pada pertemuan dengan perwakilan para peternak ayam di Istana Negara tersebut, Presiden Jokowi menjanjikan akan membantu peternak ayam agar bisa membeli jagung dengan harga Rp 4.500 per kilogram (kg). Harga bahan baku utama pakan ayam tersebut beberapa bulan terakhir melonjak tajam hingga pernah menyentuh Rp 6.200 per kg.
Harga yang jauh di atas ketentuan harga acuan yang ditentukan pemerintah tersebut membuat usaha para peternak ayam pedaging dan petelur terpuruk. Pada waktu yang sama harga jual telur ayam ditingkat peternak justru anjlok di bawah ketentuan pemerintah, sempat menyentuh harga Rp 14.000 per kg. Ironis memang!
Presiden Jokowi menjanjikan akan membantu peternak ayam agar bisa membeli jagung dengan harga Rp 4.500 per kilogram.
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020 telah menetapkan Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen untuk delapan komoditas pangan. Delapan komoditas pangan tersebut, antara lain, jagung, kedelai, gula, minyak goreng, bawang merah, daging sapi, daging dan bibit ayam ras pedaging, serta telur, dan bibit ayam petelur.
Harga acuan pembelian di tingkat petani untuk jagung dengan kadar air 15 persen sebesar Rp 3.150 per kg dan harga acuan penjualan di tingkat konsumen Rp 4.500 per kg. Sementara untuk komoditas telur, harga acuan pembelian di tingkat petani untuk batas bawah ditetapkan Rp 19.000 per kg dan batas atas Rp 21.000 per kg. Adapun harga acuan penjualan di tingkat konsumen Rp 24.000 per kg.
Permendag Nomor 7/2020 tersebut diterbitkan dalam rangka menjamin ketersediaan, stabilitas, dan kepastian harga komoditas pangan dengan mekanisme seperti tertuang dalam Pasal 3 Ayat (1) dan (2). Jika harga jual komoditas di tingkat petani di bawah harga acuan, seperti yang terjadi pada komoditas telur selama beberapa bulan terakhir, Menteri Perdagangan dapat menugaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atas persetujuan Menteri BUMN untuk melakukan pembelian langsung ke petani.
Baca juga: ”Quo Vadis” Peternakan Unggas
Sebaliknya, jika harga jual komoditas di tingkat konsumen di atas harga acuan, seperti terjadi pada komoditas jagung selama beberapa bulan terkahir, Menteri Perdagangan dapat menugaskan BUMN atas persetujuan Menteri BUMN untuk menjual jagung ke konsumen (peternak ayam). Akan tetapi, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan dan Kementerian BUMN, tidak menunaikan amanat ini.
Pemerintah tidak hadir, Kementerian Perdagangan dan Kementerian BUMN tidak menunjuk BUMN untuk membeli telur dan daging ayam, serta melakukan penjualan jagung (misalnya dalam bentuk operasi pasar). Pemerintah membiarkan para peternak ayam berjuang sendirian mempertahankan usaha mereka dari kebangkrutan.
Berbagai upaya sudah ditempuh oleh para peternak ayam, mulai dari unjuk rasa di berbagai daerah dengan membagikan telur dan ayam hidup, demonstrasi yang mereka rencanakan awal Agustus di depan Istana Negara dibubarkan polisi sebelum mereka menggelar aksi, hingga insiden pembentangan poster oleh Suroto di Blitar yang akhirnya diundang ke Istana Presiden.

Akar permasalahan
Menurut hemat penulis, janji Presiden Jokowi untuk membantu para peternak membeli jagung dengan harga Rp 4.500 per kg tidak akan menyelesaikan akar permasalahan. Kebijakan itu justru berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dengan para petani jagung dalam negeri yang menuntut kenaikan harga jual jagung seiring dengan meningkatnya harga pokok produksi (HPP). Peningkatan HPP terjadi karena meningkatnya upah tenaga kerja on farm maupun off farm, serta melonjaknya harga berbagai sarana produksi, seperti benih, pupuk, serta obat-obatan.
Akar permasalahan sebenarnya yang melingkupi industri peternakan unggas nasional selama ini adalah terjadinya kelebihan produksi. Gerakan Bela Peternak Ayam Pedaging dan Petelur (GBPA) pernah menghitung, pasokan daging ayam saat ini melimpah hingga mencapai 3,5 miliar ekor per tahun. Padahal, kebutuhan daging ayam nasional saat ini hanya sekitar 2,8 miliar ekor per tahun.
Baca juga: Gugatan Peternak Rakyat, Alarm Industri Perunggasan
Tim Analisis dan Tim Asistensi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian juga pernah menghitung potensi produksi day old chick (DOC) Final Stock (FS) Broiler oleh perusahaan integrator secara nasional rata-rata 63 juta ekor per minggu. Jumlah itu terlalu banyak sehingga selain berpotensi menurunkan harga live bird broiler, juga berpotensi dijual ke pasaran umum dalam bentuk telur konsumsi sebagaimana dicurigai oleh peternak ayam petelur selama ini. Untuk mengatasi permasalahan ini pemerintah harus mengurangi produksi DOC FS Broiler hingga 10 persen dari total produksi nasional.
Kelebihan produksi ini di satu sisi dapat kita baca sebagai keberhasilan pemerintah dalam produksi telur dan daging ayam sebagai sumber protein utama masyarakat. Namun, di sisi lain menjadi petaka bagi para peternak karena membuat harga jual telur dan daging ayam terpuruk.
Seharusnya kelebihan produksi ini bisa diintegrasikan dengan industri pengolahan yang pasarnya di dalam negeri semakin besar sejalan dengan meningkatnya kemakmuran masyarakat. Kelebihan produksi juga dapat diekspor sepanjang kualitas dan harga bersaing.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F07%2FDSC06010_1625588589.jpg)
Ratusan ayam pedaging siap panen berkerumun di salah satu kandang peternakan di kawasan Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (20/5/2021).
Menata peran dan fungsi
Kita menyadari, kondisi industri perunggasan di negeri ini sangat kompleks. Pelaku usaha ternak unggas ini antara lain para integrator yang melakukan usaha secara terintegrasi dari hulu hingga hilir. Mulai dari memproduksi DOC hingga memasarkan hasil daging dan telur ayam. Selain itu, ada juga peternak ayam nonintegrasi, berskala menengah dan kecil yang jumlahnya jutaan peternak.
Secara kasat mata, kita menyaksikan sampai hari ini pemerintah belum siap menghadapi sistem dan usaha agribisnis peternakan unggas yang berkembang pesat. Jika sistem dan usaha agribisnis berjalan baik, akan ada tempat untuk usaha berskala besar, menengah, dan kecil, tempat untuk terintegrasi dan mandiri. Semua itu diperlukan kebijakan dan strategi, serta regulasi yang memayungi semuanya.
Pemerintah belum siap menghadapi sistem dan usaha agribisnis peternakan unggas yang berkembang pesat.
Masing-masing pelaku punya peran untuk memperkuat industri perunggasan nasional yang berkeadilan bagi semua. Kita memerlukan industri yang terintegrasi karena sangat efisien sehingga bisa menjadi penahan gempuran produk ayam dari luar negeri, seperti pernah diajukan Amerika Serikat dan Brasil. Tetapi perlu regulasi dan peraturan yang melindungi para peternak kecil.
Menjadi tugas pemerintah untuk menata peran dan fungsi masing-masing industri. Para integrator berskala besar sebaiknya hanya boleh masuk ke dalam rantai dingin dan ekspor. Sementara peternak kecil dan mandiri diberi proporsi mayoritas untuk masuk ke rantai segar.
Menjadi tugas pemerintah pula untuk memperkuat industri pendukung. Industri pakan harus bisa bekerja secara efisien dan kompetitif. Proteksi berlebihan pada satu mata rantai dapat mengakibatkan tidak efisien dan menurukan daya saing industri secara keseluruhan.
Baca juga: Tumbangnya Revolusi Peternakan
Untuk mengantisipasi gejolak harga jagung seperti yang terjadi saat ini, pemerintah perlu memikirkan sistem logistik dan cadangan jagung pemerintah (buffer stock) seperti yang dilakukan untuk komoditas beras dalam bentuk cadangan beras pemerintah (CBP). Selain itu, perlu juga upaya yang serius dalam mencari alernatif bahan baku pakan yang kandungan energi dan proteinnya tinggi seperti jagung.
Toto Subandriyo, Pengamat Ekonomi Lulusan IPB dan Pascasarjana Universitas Jenderal Soedirman; Kepala Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan Kabupaten Tegal 2014-2019