Mendamba Buku Putih Pemulihan Dunia Penerbangan Nasional
Industri penerbangan tengah memasuki fase pemulihan kembali, dan ini bukan soal waktu semata tetapi juga kompetisi yang sehat. Karena itu mendesak penataan ulang buku putih kebijakan penerbangan nasional.
Oleh
RIDHA ADITYA NUGRAHA
·5 menit baca
Industri penerbangan nasional mulai merasakan embusan angin segar seiring meredanya kasus positif Covid-19 di Tanah Air. Upaya bangkit tercermin dari kenaikan jumlah penumpang domestik walau belum signifikan. Pada bulan September, asa normalisasi lalu lintas penerbangan domestik bersinggungan erat dengan upaya pencegahan menjamurnya transmisi Covid-19 alhasil membatasi proses pemulihan.
Dunia penerbangan nasional sempat beberapa kali menyedot perhatian. Persoalan pelik Garuda Indonesia dengan lessor pesawat yang berujung menumpuknya utang hingga isu ketenagakerjaan terekspos. Investor publik ikut gigit jari dengan penghentian sementara perdagangan saham maskapai plat merah pada Bursa Efek Indonesia sejak 18 Juni 2021. Perlindungan hak karyawan dan etika berbisnis perusahaan dalam memandang manusia tengah diuji pada titik nadir ini.
Isu pelik tersebut hanyalah sejengkal gunung es pada permukaan laut. Seringkali fokus utama diletakkan semata pada maskapai penerbangan terutama plat merah (flag carrier) imbas tingginya prestise. Padahal ekosistem dunia penerbangan nasional melibatkan segenap aktor sebagaimana satu sama lain saling bersinergi.
Operator bandara, perusahaan pemeliharaan pesawat (maintenance, repair and overhaul - MRO), hingga ground handling belum terekspos secara proporsional. Perlu digarisbawahi, kecepatan pemulihan dunia penerbangan nasional juga akan bergantung kepada kesiapan para aktor ‘terpinggirkan’ pada waktunya.
Pagebluk nyatanya menghadirkan suatu berkah terselubung. Momentum bagi pemerintah guna mengidentifikasi akar permasalahan dunia penerbangan nasional secara menyeluruh.
International Air Transport Association (IATA) serta akademisi global sepakat industri penerbangan tengah memasuki fase permulaan kembali (restart) dimana wajah industri pasca-pandemi akan berubah. Kepastian akan perubahan mendorong urgensi penataan ulang buku putih kebijakan penerbangan nasional, atau penciptaan bagi negara yang belum memiliki.
Upaya Indonesia merancang buku putih pemulihan dunia penerbangan nasional memerlukan kejujuran dalam mengidentifikasi faktor internal maupun eksternal. Berbicara yang pertama, fondasi kedirgantaraan menjadi rapuh setelah dibubarkannya Dewan Penerbangan Republik Indonesia (Depanri) pada penghujung 2014.
Negara ini kehilangan forum koordinasi tingkat tinggi yang memungkinkan kementerian dan pemerintah provinsi duduk bersama mengesampingkan ego-sektoral. Seandainya masih hidup, Depanri dapat melakukan mediasi konstruktif dalam mencegah kasus penutupan rute penerbangan asal Jakarta ke ibu kota provinsi beberapa waktu silam.
Persaingan tak sehat
Melambungnya harga tiket penerbangan domestik kurun waktu akhir 2018 hingga 2020 masih teringat jelas. Bergabungnya grup Sriwijaya (Sriwijaya Air dan NAM Air) dalam grup Garuda Indonesia melalui skema kerja sama operasi (KSO) menciptakan dominasi dua grup maskapai penerbangan, yakni Garuda dan Lion.
Bermula tanpa intensi, nyatanya KSO menjurus kepada persaingan tidak sehat yang merugikan masyarakat terutama mereka di luar Pulau Jawa. Pada Januari 2019 muncul fenomena penduduk Aceh berbondong-bondong membuat paspor mengingat lebih murah mencapai ibu kota melalui transit di Kuala Lumpur ketimbang penerbangan langsung.
Masih dalam kurun waktu tersebut, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau sempat mengajukan izin kepada Kementerian Koordinator Perekonomian agar perjalanan dinas ASN dapat dilakukan via Kuala Lumpur dan Singapura. Jembatan udara Nusantara rapuh dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Keadaan tersebut bukan tidak mungkin terulang kembali hingga 2024 – suatu waktu IATA memprediksi industri penerbangan kembali normal. Pemulihan penerbangan domestik bukan soal waktu semata, tetapi juga kompetisi sehat. Pemerintah perlu mengambil langkah berani dengan mempertahankan jumlah maskapai penerbangan selama masa pemulihan.
Paradigma terhadap maskapai penerbangan perlu disesuaikan seiring perkembangan masa; dari berfokus mengejar profit maksimal sebagaimana ciri era proteksionis hingga menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan daerah terhubung. Penyempurnaan perspektif ini dapat menjadi landasan untuk mengubah peraturan yang hanya memperbolehkan Garuda Indonesia selaku BUMN sebagai penerima dana talangan.
Paradigma terhadap maskapai penerbangan perlu disesuaikan seiring perkembangan masa.
Buku putih pemulihan dunia penerbangan nasional dapat mengatur perihal subsidi di kala pandemi. Terdapat empat gagasan yang patut dipertimbangkan. Pertama, subyek penerima tidak berhenti pada maskapai penerbangan tetapi diperluas hingga operator bandara. Realisasi subsidi dapat berwujud antara lain pengurangan biaya parkir pesawat hingga menanggung akomodasi kru maskapai di bandara tujuan.
Opsi ini akan meningkatkan daya tawar guna menstimulus lalu lintas ke bandara tersebut. Alhasil bandara dapat merealisasikan rute penerbangan ideal menurutnya, dan terpenting tidak bergantung kepada inisiatif maskapai dalam membuka rute baru.
Kedua, sifat subsidi bagi maskapai ialah sebagai yang pertama dan terakhir. Konteks ini tidak menyinggung penerbangan perintis. Persyaratan ketat perlu dirancang dengan ketentuan tegas subsidi hanya tersedia pada fase pemulihan penerbangan domestik. Status plat merah atau swasta perlu dikesampingkan.
Fakta menunjukkan armada Garuda Indonesia tidak memiliki kapasitas menghubungkan seluruh titik Indonesia dengan rute dan frekuensi ideal. Pemerintah berutang budi kepada maskapai swasta dalam meningkatkan konektivitas udara terutama di wilayah Indonesia timur. Saat membalas tiba melalui opsi injeksi kapital. Hal ini krusial untuk menjamin jembatan udara Nusantara tetap kokoh tanpa mengorbankan semangat kompetisi sehat.
Langkah ketiga ialah menciptakan peraturan baru terkait alokasi slot bandara. Singkat kata, instrumen ini menentukan jadwal penerbangan maskapai. Pelajaran berharga dari kasus meroketnya harga tiket domestik lalu ialah urgensi memberikan kewenangan bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengambil langkah teknis. KSO grup Garuda-Sriwijaya lalu perlu diikuti dengan kewajiban maskapai melepas sebagian slot di beberapa bandara terkait, umumnya jam bisnis atau waktu premium.
Konsep tarif batas atas (ceiling price) memang sudah berlaku, tetapi tidak banyak menolong masyarakat. KPPU perlu diberikan hak untuk merombak slot bandara menggunakan pendekatan air transport economics memperhatikan dominasi maskapai atau grup maskapai. Tujuan akhir tidak lain melindungi masyarakat luas melalui ketersediaan harga tiket penerbangan domestik terjangkau. Bukan tidak mungkin skema merger atau KSO kembali terjadi di tengah fase bertahan hidup.
Isu terakhir menyoroti perihal penyelenggaraan pelayanan navigasi penerbangan. Liberalisasi industri aviasi di belahan dunia lain berujung privatisasi pelayanan navigasi penerbangan. Swasta berani memasuki lini bisnis ini mengacu prediksi lalu lintas penerbangan dunia yang terus meningkat. Pandemi nyatanya mengacaukan prediksi keuntungan, sementara biaya operasional tidak kecil.
Buku putih perlu menjamin liberalisasi industri penerbangan nasional jangan sampai menyentuh domain AirNav Indonesia. Biarkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2012 hidup tenang mengingat penyelenggaraan pelayanan navigasi penerbangan bukan berbicara soal profit, tetapi perihal keselamatan (safety) penerbangan serta pertahanan negara.
Akhir kata, keberlangsungan dunia penerbangan nasional vital bagi negara kepulauan. Penyusunan buku putih pemulihan dunia penerbangan nasional merupakan solusi jangka panjang, bukan sekadar gali tutup lubang.
Sinergi dengan akademisi perlu naik tingkat agar perancangannya tidak anti-ilmu pengetahuan serta mencegah politisasi berlebih. Cita-cita kesetaraan akses dan biaya transportasi udara bagi masyarakat di luar Pulau Jawa tengah dipertaruhkan melalui suatu kebijakan publik berkualitas.
Ridha Aditya Nugraha, Air and Space Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya