Diskriminasi Pendidikan bagi Siswa Miskin
Asumsi bahwa sekolah dengan jumlah peserta didik kurang dari 60 orang menunjukkan sekolah itu tak lagi mendapat kepercayaan masyarakat dan kualitasnya buruk, sehingga tak perlu dibantu, merupakan asumsi yang keliru.
Nasib sekolah-sekolah swasta kecil kini di ujung tanduk. Mereka menjadi korban kebijakan baru pemerintah terkait dana bantuan operasional sekolah, yang juga mendiskriminasi siswa dari keluarga tak mampu.
Saat dihantam pandemi Covid-19, banyak orangtua siswa yang terkena dampak ekonomi sehingga sekolah mengeluarkan berbagai dispensasi pembayaran uang sumbangan penyelenggaraan pendidikan. Sekolah mengandalkan bantuan operasional sekolah (BOS) untuk penyelenggaraan pendidikan. Namun, kini untuk mendapatkan dana BOS bakal semakin susah karena aturannya diubah.
Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 6 Tahun 2021, sekolah penerima dana BOS reguler harus memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 orang dalam tiga tahun terakhir. Aturan ini dikecualikan bagi sekolah yang berada di daerah pelosok dan pedalaman serta bagi sekolah yang dikelola pemerintah daerah.
Kebijakan ini, seperti diberitakan Kompas (4/9/2021), ditolak Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan yang terdiri dari Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pengurus Pusat Muhammadiyah (Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah), Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU) PBNU, Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Majelis Nasional Pendidikan Katolik, Majelis Pendidikan Kristen Indonesia, dan Tamansiswa.
Peraturan tersebut, jika kita cermati, sebenarnya bertentangan dengan konstitusi. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang sering disebut sebagai pembukaan konstitusi terbaik di dunia, secara tegas menyatakan, tujuan bernegara adalah ”untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dalam Pasal 31 Ayat (1) dan Ayat (2) bahkan dinyatakan, ”Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” dan ”Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Dalam konstitusi dinyatakan secara eskplisit, pemerintah tidak sekadar menyelenggarakan pendidikan dasar, tetapi wajib membiayainya. Karena itu, penghapusan dana BOS untuk sekolah yang memiliki peserta didik kurang dari 60 peserta didik, apa pun alasannya, bertentangan dengan konstitusi.
Jika alasannya banyak sekolah swasta kecil yang sekadar mencari keuntungan finansial dari dana BOS, alasan tersebut sungguh tidak tepat. Sekolah-sekolah yang didirikan Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan jauh sebelum proklamasi kemerdekaan RI bertujuan untuk mendidik anak-anak bangsa. Jika tujuannya sekadar untuk mencari keuntungan finansial, tentu hanya akan mendirikan sekolah di perkotaan atau kawasan permukiman elite perkotaan.
Kenyataannya, berdasarkan data Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, tercatat ada 6.817 sekolah setingkat SD, SMP, SMA, dan SMK di bawah naungan Muhammadiyah yang tersebar di 34 provinsi dan sebagian besar bukan berada di wilayah perkotaan.
Begitu pun, berdasarkan data LP Ma’arif NU, ada 7.462 persekolahan biasa dari SD hingga SLTA dan 12.674 madrasah dari berbagai tingkatan yang berada di bawah naungan LP Ma’arif NU dan sebagian besar berada di perdesaan.
Kondisi yang sama dialami PGRI yang menaungi 5.116 sekolah serta sekolah-sekolah lain di bawah naungan Majelis Nasional Pendidikan Katolik, Majelis Pendidikan Kristen Indonesia, serta Tamansiswa. Sekolah-sekolah tersebut tersebar di seluruh pelosok Nusantara dan sebagian besar berada nun jauh di pelosok desa.
Sekolah-sekolah tersebut tidak peduli, berapa pun jumlah muridnya, yang penting setiap anak bangsa bisa menikmati layanan pendidikan. Tidak jarang, di daerah, guru merogoh kocek sendiri untuk membeli berbagai kebutuhan pembelajaran. Guru pun tetap mengabdi meskipun statusnya sebagai guru honorer berlangsung selama puluhan tahun dan tak kunjung diangkat pemerintah sebagai guru tetap.
Tugas pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan sudah dibantu dengan sepenuh hati oleh sekolah-sekolah swasta demi kecintaannya pada Indonesia. Cita-citanya sederhana, ingin menghasilkan generasi terbaik sehingga membawa kemajuan bagi bangsa ini.
Ironi kedua
Rasa sedih dan miris menusuk di dada ketika pemerintah mengumumkan jumlah siswa putus sekolah tahun ajaran 2019/2020 sekitar 157.000 siswa, mulai dari tingkat SD, SMP, hingga SMA/SMK. Kasus yang semestinya tidak perlu terjadi karena pemerintah sudah mengalokasikan anggaran pendidikan sangat besar, minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sesuai dengan amanat konstitusi.
Kenyataannya, kasus putus sekolah masih terus terjadi. Ironisnya, siswa putus sekolah paling banyak di jenjang SD, yakni 59.400 siswa, di SMP sebanyak 38.500 siswa, di SMA sebanyak 26.900 siswa, dan di SMK sebanyak 32.400 siswa. Apabila melihat kondisi riil di lapangan, jumlah tersebut di atas dapat berlipat ganda. Kesulitan ekonomi keluarga menjadi salah sebab siswa putus sekolah.
Untuk mengatasi persoalan serius ini, sudah selayaknya semua komponen bangsa bahu-membahu mengatasi persoalan ini sesuai dengan fungsinya masing-masing. Lembaga pendidikan atau sekolah, misalnya, tetap menyelenggarakan pendidikan dengan kelenturan optimal agar siswa bisa tetap sekolah.
Adapun Kemendikbudristek tetap mengucurkan dana BOS yang alokasinya pada 2021 sebesar Rp 52,5 triliun kepada semua satuan pendidikan tanpa kecuali, termasuk kepada sekolah swasta kecil.
Kucuran dana tanpa kecuali ini penting karena lembaga pendidikan mengandalkan dana BOS untuk penyelenggaraan pendidikan yang jumlahnya lumayan besar. Untuk SD, misalnya, berkisar Rp 900.000-Rp 1.960.000 dikalikan jumlah peserta didik serta memperhitungkan variabel karakteristik daerah. Untuk SMP berkisar Rp 1.100.000-Rp 2.480.000, untuk SMA berkisar Rp 1.500.000-Rp 3.470.000, SMK berkisar Rp 1.600.000-Rp 3.720.000, serta untuk sekolah luar biasa (SLB) Rp 3.500.000-Rp 7.940.000.
Namun, alih-alih membantu sekolah swasta kecil, kucuran dana BOS akan dihentikan kecuali jika sekolah tersebut digabung atau dimerger dengan sekolah terdekat sehingga jumlah peserta didiknya lebih dari 60 orang. Padahal, penggabungan ini bukan perkara mudah, apalagi untuk sekolah swasta kecil berbasis keagamaan, seperti menggabungkan sekolah berbasis Islam dengan Katolik atau Kristen.
Asumsi bahwa sekolah dengan jumlah peserta didik kurang dari 60 orang menunjukkan sekolah itu tidak lagi mendapat kepercayaan masyarakat dan kualitasnya buruk, sehingga tak perlu dibantu, merupakan asumsi yang keliru.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa menyelenggarakan pendidikan dasar sesuai konstitusi merupakan tanggung jawab pemerintah. Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan berupaya membantu. Ketika membantu kualitasnya kurang, menjadi kewajiban pemerintah untuk membina sekolah-sekolah dengan peserta didik kurang dari 60 orang agar kualitasnya membaik, termasuk dengan kucuran dana yang layak, guru PNS yang diperbantukan, dan sarana yang memadai.
Dampak pada angka putus sekolah
Berdasarkan data sementara, dari 5.116 sekolah di bawah naungan PGRI, ada sekitar 500 sekolah yang peserta didiknya kurang dari 60 siswa. Sebagian besar peserta didiknya berasal dari keluarga kurang mampu. Meski demikian, kepala sekolah dan guru-gurunya tetap bertugas dengan sepenuh hati walaupun gaji minim karena rasa tanggung jawab dan kecintaannya untuk memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat.
Jika sekolah ditutup dengan alasan efisiensi kucuran dana BOS pemerintah, risikonya sudah terbayang di depan mata. Angka putus sekolah pasti akan bertambah. Pindah sekolah bukanlah solusi terbaik bagi peserta didik karena faktor ekonomi keluarga dan jarak geografis. Sekolah-sekolah yang sudah melayani seperti ini yang seharusnya dibina, bukan dibinasakan.
Ironisnya, ketika sekolah swasta kecil dianjurkan untuk bergabung dan meningkatkan kualitas, sekolah-sekolah berstatus sekolah penggerak yang sudah maju dan mapan justru mendapat kucuran dana berlimpah. Sesuai dengan Keputusan Mendikbudristek Nomor 210/P/2021, sekolah-sekolah penggerak, selain menerima dana BOS reguler, juga bakal menerima dana BOS kinerja dan dana BOS afirmasi yang jumlahnya tidak sedikit.
Menjadi pertanyaaan kemudian, sebenarnya apa yang diinginkan pemerintah dari sekolah-sekolah swasta? Apakah dianggap sebagai mitra utama dalam penyelenggaraan pendidikan yang harus dibantu ataukah dianggap sebagai parasit yang harus dibasmi?
Jawaban dari pertanyaan ini penting karena masih banyak persoalan pendidikan yang harus ditangani segera. Satuan Tugas Penanganan Covid-19, misalnya, menyatakan, per 20 Juli 2021 terdapat 11.045 anak yang orangtuanya meninggal karena Covid-19 sehingga mereka menjadi anak yatim, anak piatu, atau anak yatim piatu.
Kehilangan orangtua pastilah menjadi pukulan berat bagi mereka. Anak-anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan kasih sayang serta jaminan ekonomi untuk hidupnya tiba-tiba kehilangan orangtuanya. Bukan tidak mungkin, kegiatan sekolah mereka pun menjadi terganggu. Mereka membutuhkan uluran tangan dan solidaritas kita bersama agar bisa meniti masa depannya yang masih panjang. Mereka harus dibantu. Di sisi lain, keadilan mendapatkan pendidikan bagi siswa miskin juga harus terus diupayakan.
Menunda pelaksanaan kebijakan sampai tahun 2022, seperti disampaikan Mendikbudristek saat rapat kerja dengan Komisi X DPR, 8 September 2021 lalu, bukanlah solusi terbaik. Cabut dan hentikan segera aturan itu demi keadilan bagi siswa dari keluarga tidak mampu. Jangan ada lagi diskriminasi bagi siswa miskin.
Unifah Rosyidi, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia