Alam mempunyai bentuk fisik tubuhnya, dan manusia bisa merasakan fisik alam secara inderawi. Orang yang punya kedewasaan berpikir dan selalu bersyukur akan selalu mencoba mendengarkan pesan yang hendak disampaikan alam.
Oleh
AGUSTIAN GANDA PUTRA SIHOMBING
·5 menit baca
Setiap manusia lahir dan besar di tengah alam semesta. Eksistensi manusia pun dipengaruhi oleh alam. Paling hebatnya lagi, kepada manusia Sang Pencipta menganugerahi alam semesta untuk ditata, dikelola, dan dipakai seturut kebutuhan perkembangan jiwa dan roh manusia.
Sejak masih dalam kandungan, setiap manusia sudah menerima energi dari ibu yang sumbernya dari alam. Makanan, minuman, nutrisi, vitamin, obat, dan perlindungan semua diambil dan diolah demi si buah hati dan dengannya ada jalinan erat dan dekat antara si ibu dengan anak yang ada di rahimnya.
Dalam proses perkembangannya, manusia tidak akan pernah lepas dari alam. Ia akan tetap butuh sumber daya yang dikandung oleh alam semesta. Kalau tidak, si manusia akan mati karena tak mendapat ’hak’-nya dari alam. Maka, satu kesimpulan kasar dapat ditarik bahwa kehidupan manusia ada di alam.
Dicipta dengan (amat) baik
Keyakinan atau agama mana pun mengamini bahwa alam semesta diciptakan dengan baik dan sempurna. Semua berlangsung dalam satu misteri. Akal budi manusia mana pun tak akan mampu menguraikan proses penciptaan itu dengan baik dan sempurna.
Proses penciptaan alam semesta berlangsung di luar kendali manusia. Namun, kepada manusia diberikan hak khusus (privilege) untuk mengembangkan apa yang telah dibentuk oleh Sang Pencipta. Dalam konteks ini, manusia hanya menjadi perpanjangan tangan Sang Pencipta untuk membuat ciptaan makin baik dan tentu berguna baginya.
Mengapa kepada manusia semua karya baik (masterpiece) itu dititipkan? Dalam Kitab Kejadian Bab 26 dinyatakan bahwa hanya manusialah ciptaan yang amat baik, karena diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Hanya di dalam diri manusia ada akal budi (wisedom), kehendak bebas (free will), dan perasaan (feeling) ilahi.
Artinya, di dalam diri manusia terdapat kapasitas ilahi yang seharusnya disadari dengan penuh, yang mengarahkan dirinya menjaga dan mengembangkan karya tangan Sang Pencipta. Maka, tak keliru apabila dikatakan bahwa seharusnya manusia punya relasi yang erat dan dekat dengan Sang Pencipta sekaligus dengan ciptaan yang lain.
Proses penitipan ini berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Tak seorang pun tahu kapan Sang Pencipta akan meminta kembali titipan-Nya. Untuk itu, diperlukan kesetiaan menjaga relasi erat dan dekat dengan alam yang tidak palsu
Tali persaudaraan
Seorang mistikus sekaligus pemelihara spiritualitas jiwa kosmis, Fransiskus Assisi (1182-1226), melihat dengan sangat tajam dan mendalam bahwa alam semesta adalah saudara yang diciptakan oleh satu Tuhan dengan manusia. Alam memiliki unsur ontologis yang juga dimiliki oleh manusia.
Alam mempunyai bentuk fisik tubuhnya. Hal ini bisa dilihat dari kontur tanah, aliran air, postur pepohonan, keanekaragaman hayati; flora dan fauna, dan lain sebagainya. Manusia bisa merasakan fisik alam secara inderawi.
Alam juga punya jiwa yang tak kasatmata. Bagian ini dapat dirasakan apabila seseorang sungguh erat dan dekat dengan alam.
Alam juga punya jiwa yang tak kasatmata. Bagian ini dapat dirasakan apabila seseorang sungguh erat dan dekat dengan alam. Lewat samadi dan relasi batin yang dalam, jiwa alam bisa dirasakan dan punya kekuatan yang luar biasa.
Alam juga punya roh. Roh inilah yang memberikan kehidupan kepada manusia. Sejauh dan selama roh alam masih damai, tidak akan terjadi bencana. Hidup manusia pun tidak akan terganggu. Tapi, sebaliknya, jika elemen ini terganggu, manusia yang ada di dalamnya pun akan terganggu.
Maka, Fransiskus mengajak setiap orang untuk pertama sekali menyadari unsur ontologis kosmik tersebut. Orang yang sudah sadar tentu akan dengan mudah memandang alam semesta sebagai saudara yang sama dalam uraian di atas.
Persaudaraan bisa terbentuk apabila ada empati, kedekatan, dan kontak batin. Apabila mampu merasakan energi, bisikan suara, kegirangan, dan keluh kesah alam, manusia tidak akan tega menguras dengan serakah kekayaan alam. Orang yang bersaudara pasti akan saling melengkapi, bukan mengisap darah saudaranya. Demikian pula halnya jika tali persaudaraan dengan alam terjalin dengan erat dan dekat.
Satu hal menarik yang dapat dilakukan Fransiskus adalah berkomunikasi dengan alam semesta dan ciptaan Tuhan di dalamnya. Kepada burung di udara, ikan di laut, serigala buas, kelinci, matahari, bulan, cacing, dan lain-lain, Fransiskus berkotbah dan menyampaikan kekaguman pada Tuhan lewat kehadiran mereka. Lalu, Fransiskus mengajak semuanya untuk kembali melantunkan nyanyian pujian pada Pencipta yang sama. Itulah tali persaudaraan yang erat dan dekat ala Fransiskus.
Kagum pada Sang Pencipta
Erat dan dekat dengan alam dapat terbina apabila seseorang mampu menyampaikan decak kagumnya kepada Sang Pencipta. Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’ merefleksikan satu unsur yang hilang dewasa ini dari manusia, yakni luapan syukur atas kesempurnaan ciptaan.
Manusia sekarang ini kurang mendapat edukasi ekologis. Yang ada di pikiran manusia adalah bagaimana cara agar terus mendapat dari alam demi kekayaan dan kesejahteraan keturunanannya untuk beberapa generasi. Sementara usaha untuk memperbaiki atau ”mengobati luka” alam akibat eksplotasi yang telah berlangsung cukup lama diabaikan.
Muncullah perang saudara dalam kekeluargaan, penderitaan, bencana, kemalangan, dan akhirnya kematian. Kerakusan dan keserakahan manusia adalah akarnya dan ini perlu dituntaskan sejak dini agar hal yang sama tidak terulang lagi.
Keharmonisan yang telah lama rusak perlu dipulihkan. Untuk itu, pertama sekali bersyukurlah atas alam yang saat ini masih bisa dirasakan. Dengan bersyukur, orang akan mampu melihat apa yang lebih dan kurang dari alam saat ini.
Orang yang punya kedewasaan berpikir dan merasa seperti itu akan selalu mencoba mendengarkan apa pesan yang hendak disampaikan alam semesta. Orang yang sudah mampu mendengarkan alam tentu akan makin dekat dan erat dengannya.
Ingat, kelestarian alam bukan hanya untuk kita, tetapi juga untuk anak cucu dan generasi alam itu sendiri. Jangan egois dan bersaudaralah dengan alam.
Agustian Ganda Putra Sihombing OFMCap, Anggota Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Kapusin Medan-Divisi Lingkungan Hidup