Menanti Revisi Undang-Undang Konservasi
Upaya konservasi satwa liar seolah semakin ”jauh panggang dari api”, perburuan satwa liar terus terjadi. Sanksi pidana yang ringan tak menimbulkan efek jera. Revisi UU Konservasi diharapkan memperbaiki kondisi ini.
Kematian tiga harimau sumatera akibat jerat pemburu di Desa le Buebih, Kecamatan Meukek, Aceh Selatan, beberapa waktu lalu semakin menambah daftar panjang tragedi memilukan yang menimpa satwa lindung di Indonesia. Peristiwa tersebut telah menggali memori tentang tragedi satwa yang seolah tiada pernah berakhir.
Mungkin beberapa masih mengingat kisah seekor orangutan bernama Pony pada tahun 2003. Kegetiran Pony telah dimulai sejak masih bayi, ketika Pony ditangkap, kemudian disiksa dengan dipaksa menjadi pemuas nafsu lelaki.
Selain Pony, masih banyak nama-nama lainnya, seperti Lala, bayi harimau sumatera; gajah Yongki dan gajah Bunta yang mati diracun; gajah Erin yang harus kehilangan belalainya; orangutan Hope yang kehilangan anak dalam dekapannya serta mengalami kebutaan permanen akibat 74 tembakan; serta harimau Corina yang terkena jerat.
Baca Juga: Konflik Harimau Versus Manusia Terus Berulang
Semakin panjang apabila ditambah dengan kisah memilukan yang juga dialami satwa lindung ”tanpa nama” lainnya. Meski mendapatkan status dilindungi, satwa lindung, seperti harimau sumatera, gajah sumatera, buaya muara, burung rangkong, trenggiling, beruang madu, dan orangutan, masih saja terancam oleh manusia.
Pemerintah seharusnya mencontoh China, yang mempertontonkan konser konservasi termegah pada abad ke-21. Selama 17 bulan lamanya, China menunjukkan kehangatan terhadap 15 gajah yang sedang bermigrasi.
China mengerahkan 25.000 polisi, kendaraan, dan drone dengan persenjataan puluhan ton jagung, nanas, dan makanan lainnya untuk mengawal migrasi gajah sejauh 500 kilometer.
Menurut media pemerintah, Xinhua, China mengerahkan 25.000 polisi, kendaraan, dan drone dengan persenjataan puluhan ton jagung, nanas, dan makanan lainnya untuk mengawal migrasi gajah sejauh 500 kilometer. Tak hanya itu, migrasi gajah diperkirakan telah mengakibatkan kerugian senilai lebih dari 1 juta dollar AS dan sebanyak 150.000 warga harus dievakuasi. Akhirnya, pada Agustus lalu, seluruh dunia turut bersukacita atas keberhasilan China mengantarkan kawanan gajah menuju habitatnya.
Terbayang segera peristiwa yang sama di Indonesia pada 1982. Sebagaimana dikisahkan Emil Salim, tentang keberhasilan pemerintah era Orde Baru dalam misinya menggiring 232 gajah menuju ke Lebong Hitam, Lampung.
Kebijakan konservasi nasional
Landasan kebijakan konservasi satwa dan tumbuhan di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UUK). Menurut UUK, sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terdiri dari unsur-unsur hayati dan nonhayati, baik fisik maupun nonfisik. Keseluruhan unsur tersebut saling berkait dan mempengaruhi antara satu dan yang lainnya. Kepunahan salah satu unsur tidak dapat diganti dengan unsur lainnya.
Dalam praktiknya, konsevasi harus dilaksanakan dengan memberikan jaminan agar keanekaragaman atau jenis-jenis satwa tetap lestari sehingga keanekaragaman unsur-unsur tidak menghilang. Tujuannya adalah agar masing-masing unsur dapat berfungsi sebagaimana mestinya serta bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia.
Baca Juga: Menanti Kepastian Ruang Hidup untuk Gajah Sumatera
Karena itu, upaya konservasi atau perlindungan terhadap jenis satwa dan tumbuhan liar menjadi salah satu pilar penting dalam upaya mewujudkan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Langkah tersebut direalisasikan melalui pengelompokan status konservasi satwa menjadi dua, yakni satwa dilindungi dan tidak dilindungi. Jenis satwa yang dilindungi adalah yang berada dalam bahaya kepunahan dan/atau populasinya langka.
Penetapan status lindung pada spesies tertentu merupakan bentuk perlindungan terhadap satwa dalam rangka mencegah terjadinya kepunahan spesies. Status kepunahan adalah suatu kondisi saat individu terakhir dari suatu spesies benar-benar sudah tidak ditemukan lagi di alam. Misalnya, kepunahan harimau jawa, harimau bali, dan merpati pengembara (pingeon passenger).
Meskipun kepunahan adalah suatu proses alamiah, kepunahan spesies akibat perilaku manusia telah mendorong kecepatan laju kepunahan yang terjadi pada tingkat yang mengkhawatirkan. Menurut perkiraan para ahli lingkungan dunia, perilaku manusia telah mendorong spesies menuju kepunahan pada tingkat yang tidak pernah terjadi sebelumnya, yaitu 1.000 kali lipat dari tingkat alami dan tingkat kepunahan di masa depan kemungkinan akan lebih tinggi (Britanica).
Kepunahan spesies akibat perilaku manusia telah mendorong kecepatan laju kepunahan yang terjadi pada tingkat yang mengkhawatirkan.
Mungkin akan sulit untuk dapat mendeskripsikan signifikansi hilangnya satu spesies dalam kompleksitas jutaan keanekaragaman hayati yang saling terkait. Namun, telah dipastikan, manusia tidaklah dapat mengembalikan spesies yang telah punah.
Hilangnya satu spesies dalam jaringan rantai makanan juga dipastikan akan berdampak terhadap rantai makanan lainnya. Bahkan, diyakini akan menimbulkan kepunahan spesies lainnya dalam hal kepunahan terhadap ”spesies kunci”.
Ironis, satwa yang seharusnya mendapatkan perlindungan kenyataannya bernasib memilukan. Tak dimungkiri jika upaya konservasi yang berjalan di negeri ini seolah semakin ”jauh panggang dari api”.
Revisi UUK
Salah satu langkah konkret yang dapat diambil adalah segera menuntaskan revisi UUK. Ancaman pidana penjara maksimal selama 5 tahun yang diatur dalam Pasal 40 UUK dinilai belum mampu menimbulkan efek jera yang optimal terhadap para pelaku kejahatan satwa dilindungi. Begitu pula tentang ketiadaan ketentuan pidana terhadap koorporasi.
Sebagai gambaran, patut diingat kembali kasus pembantaian orangutan yang terungkap pada 2011 dan majelis hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap perusahaan. Padahal, perusahaan terbukti mensponsori biaya ”pengendalian hama”, dengan imbalan uang senilai Rp 1 juta untuk seekor orangutan dan Rp 200.000 untuk seekor monyet. Ketidakberdayaan UUK semakin jelas karena para pelaku pembantaian hanya dihukum selama 8 bulan penjara.
Selain itu, telah banyak perkembangan yang belum terakomodir dalam UUK setelah 31 tahun berlalu. Perkembangan dalam ilmu pengetahuan, kompleksitas permasalahan dan pengelolaan kawasan konservasi, serta perkembangan hukum internasional, misalnya terkait implementasi Protokol Nagoya dan ketentuan biopiracy.
Baca Juga: Pelibatan Masyarakat Diusulkan Masuk dalam Revisi UU Konservasi
Sejak masuknya Revisi UUK dalam Program Legislasi Nasional (Proglenas) Tahun 2017, sampai dengan Proglenas 2021, progres pembahasan Revisi UUK seolah masih jalan di tempat. Menurut informasi dalam situs legislasi DPR, progresnya masih tak bergerak dalam tahap paling awal, yaitu tahap ”RUU Usulan Komisi”.
Beberapa potong kisah duka dan cita yang menimpa satwa lindung diharapkan dapat menjadi pembelajaran seluruh pihak dalam rangka mengembalikan arah kebijakan konservasi sesuai lajurnya. Percepatan revisi UUK diharapkan mewujudkan kebijakan konservasi Indonesia ke depan menjadi lebih baik. Sebab, kita semua tentu berharap tragedi satwa lindung Indonesia tidak terjadi kembali.
Faisol Rahman, Peneliti di Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM