Membuka Mata
Perdagangan karbon hanya jual beli di atas kertas, ”pay of performance”, bukan jual beli ada komitmen ada uang. Negara pembeli karbon kredit akan melihat benarkah ada penurunan emisi karbon, baru dibayar.
Serial bersambung ”Indonesia dari Seberang Batas” betul-betul mengasyikkan. Begitu koran di tangan, langsung saya baca. Saya seperti mengikuti laporan pandangan mata yang disampaikan dengan cara ”mendongeng”.
Agustinus Wibowo, penulis serial itu, menurut saya memang pintar menulis, pemberani, tetapi luwes. Tulisannya telah membuka mata pembaca Kompas tentang negeri tetangga yang tak pernah bertegur sapa.
Bersama ini saya ingin menyampaikan catatan saya, mudah-mudahan menjadi perhatian pemerintah, DPR, dan semua pemangku kepentingan. Di antaranya, mengapa sepanjang yang saya ingat, tidak sekali pun ada cerita tentang babi dalam laporan ini? Padahal, di pulau-pulau Indonesia bagian timur, babi menjadi binatang piaraan bersama ayam, anjing, kucing.
Laporan 43, tentang peristiwa 14 tahun lalu di Merauke, sungguh memilukan. Seorang warga Papua terpaksa lari ke PNG karena tidak mau menyerahkan ikan arwananya kepada komandan keamanan.
Cerita lain singkat, tetapi mengharukan (buat saya) adalah Pak Lucas Isaac. Ia tidak pernah sekolah, tetapi bisa membaca Alkitab, menandakan ia sebagai seorang yang berbudaya, pengertian, menjaga keselamatan orang lain. Ini tentunya sikap hidup yang bisa menjadi teladan, padahal ia hidup di kampung dikelilingi hutan.
Papua sebagai pulau kedua terbesar dunia, apakah tidak sebaiknya dalam penamaan provinsi ditambah arah mata angin seperti Provinsi Papua Barat?
Selanjutnya, untuk PNG, apakah ada kesempatan bahasa Indonesia menjadi bahasa asing pertama yang diminati oleh penduduk setempat?
Di Laporan 52 tertulis, ”…aktivis gerakan yang ingin memerdekakan diri dari Indonesia....”. Kiranya lebih tepat digunakan kata ”memisahkan diri” karena sejak 1969 tanah Papua adalah tanah merdeka, bagian integral tidak terpisahkan dari wilayah Indonesia.
Catatan di atas membawa saya ke harapan besar bahwa tidak lama lagi, OPM akan ”membaptis” diri dengan kepanjangan baru: Organisasi Papua Membangun.
Semoga warga Papua menjadi tuan/nyonya rumah yang ramah, baik hati, sama seperti saudara-saudaranya di provinsi lain di Indonesia.
Soegio Sosrosoemarto
Jl Kepodang I, Bintaro Jaya 2, Tangerang Selatan
Klaim Asuransi
Saya nasabah Jiwasraya produk JS Prestasi sejak 1/8/2008. Premi saya bayar rutin tiap tahun Rp 2.816.525 selama 12 tahun.
Begitu ada masalah di Jiwasraya, pembayaran premi ke-13 tidak saya lanjutkan. Saya pun mengajukan klaim pada 6/12/2019. Namun, hingga kini klaim belum dibayar.
Mohon pihak Jiwasraya untuk membayarkannya. Hal ini telah dua kali saya pertanyakan melalui surat (formulir komplain) ataupun e-mail. Namun, sampai saat surat ini dibuat belum ada penjelasan dari pihak Jiwasraya.
Terkelin Sinuraya
Jl Terompet, Medan
Kecewa Seluler
Sejak pembelajaran jarak jauh (PJJ), saya menggunakan kartu Telkomsel untuk paket internet agar lancar mengajar. Biasanya, saya mengisi pulsa via *168# lalu membeli paket.
Seperti biasa, bulan ini saya membeli paket Rp 85.000 karena sudah ada Wi-Fi di rumah dan di sekolah. Pada 5 September, saya mengisi pulsa. Saya memanggil *168# dan memilih paket Rp 85.000.
Telkomsel membagi jadi tiga kategori: lokal, conference, dan kuota internet. Biasanya, lokal dan internet sama, bisa dipakai ke mana pun. Tidak seperti paket conference yang terbatas untuk aplikasi.
Pada 12 September, kuota internet saya sudah habis. Saya tak khawatir karena masih banyak paket lokal. Ternyata malamnya semua pulsa saya habis dan tak bisa mengakses internet lagi. Padahal, kuota lokal saya utuh dan masih aktif hingga tiga minggu lagi.
Riduan Situmorang
Doloksanggul, Humbang Hasundutan, Sumut
Pelajaran Berharga
Menyedihkan sekaligus memprihatinkan membaca pemutusan untuk mengakhiri pernyataan kehendak (letter of intent/LoI) dengan Kerajaan Norwegia tentang Kerja Sama Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and, Forest Degradation/REDD+), terhitung 10/9/2021 (Kompas, 14/9/2021).
Juli 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga menghentikan dua proyek karbon di Taman Nasional (TN) Sebangau, Kalimantan Tengah, dan TN Batang Gadis, Sumatera Utara.
Untuk kasus pertama, yakni proyek karbon di TN Sebangau dan TN Batang Gadis, kita dapat memaklumi karena dua proyek karbon tersebut adalah kemitraan Pemerintah Indonesia dengan dua LSM internasional. Proyek karbon tersebut dianggap ilegal oleh KLHK. Namun, kasus terakhir merupakan kerja sama antarpemerintah (G to G).
Bagaimana mungkin ini terjadi? Apakah Pemerintah Indonesia, dalam hal ini KLHK, kurang hati-hati dan terlalu cepat percaya dengan hitung-hitungan dollar dalam perdagangan karbon ini sehingga tidak memverifikasi lebih dahulu integritas, kapasitas, dan pengalaman negara yang diajak bekerja sama.
Kerja sama dengan Pemerintah Norwegia yang dirintis sejak tahun 2010 dan diharapkan berbuah dengan pembayaran berbasis hasil 56 juta dollar AS atau sekitar Rp 812 miliar. Kini menguap percuma setelah ditunggu 11 tahun.
Selama ini kita dininabobokan oleh perdagangan karbon yang memberikan manfaat ekonomi karena penyerapan emisinya bisa dijual kepada para produsen emisi, lokal ataupun internasional.
Indonesia pun sudah membidik potensi perdagangan karbon antarnegara. Menurut Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan, terdapat potensi besar dalam perdagangan karbon dengan nilai antara 82-100 miliar dollar AS. Angka ini didapat dari hutan tropis, mangrove, gambut, rumput laut, hingga terumbu karang.
Padahal, sebenarnya perdagangan karbon hanya jual beli di atas kertas. Ini sistem pay of performance, bukan sistem jual beli di mana ada komitmen ada uang. Negara yang membeli karbon kredit dari Indonesia akan melihat benarkah ada penurunan emisi karbon setelah beberapa tahun.
Pengalaman kerja sama perdagangan karbon dengan pemerintah Kerajaan Norwegia merupakan pembelajaran sangat berharga bagi Pemerintah Indonesia, khususnya KLHK.
Kelak jangan terjadi lagi kerja sama dengan model seperti ini. Pemerintah perlu lebih hati-hati lagi dalam melegalkan aturan perdagangan karbon kalau tujuannya hanya mencari keuntungan.
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan KLHK, Vila Bogor Indah, Ciparigi, Bogor
Kritik adalah Sikap Positif
Setiap ada tulisan yang dikesani sebagai kritik, ada saja pembaca yang mengatakan bahwa penulis tidak memiliki itikad baik pada pemerintah.
Terkait kritik, ada kisah Rasulullah SAW yang mendengarkan pendapat sahabatnya saat perang, yaitu menguasai lokasi sumur yang menurut sahabat itu—sebagai ahli strategi—lebih tepat.
Di masa modern sekarang, berbagai masukan positif untuk memperbaiki kebijakan pemerintah dapat berasal dari berbagai sumber. Kompas, misalnya, sebagai media arus utama mengemukakan dalam berbagai rubrik.
Konsistensi Kompas terhadap masalah bangsa dapat kita lihat dalam contoh berikut. Tajuk Rencana: ”Pandemi Sapu Isu Korupsi”, 13/8/2021; ”Pemberantasan Korupsi Kian Suram”, 21/8/2021.
Berita, misalnya ”’Arisan’ Korupsi Para Kepala Daerah”, korupsi mengkhawatirkan apabila sudah merembet ke birokrasi. Karena itu, solusinya harus dicari sehingga akar rantai korupsi yang melibatkan pimpinan daerah ini putus (18/8/2021).
”Menyoal Konflik Kepentingan: Masalah Integritas dan Etika Pejabat Publik” digelar Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Minggu (15/8/2021).
Dalam suatu kesempatan diberitakan oleh media lain, pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar menyebut korupsi kian tidak terbendung karena kegagalan masyarakat sipil mengambil alih pasca-jatuhnya rezim Soeharto, 1998, sehingga oligarki yang memainkan demokrasi.
Zainal, yang juga penulis Opini Kompas, menyebutkan ada tiga hal yang membuat korupsi masih berkelindan di Indonesia. Kualitas regulasi dan birokrasi yang buruk, penegakan hukum yang lemah dan tidak independen, dan warisan sistem oligarki.
Bentuk kritik seperti ini menyajikan argumentasi cerdas sekaligus menawarkan solusinya. Berbeda dengan perang di media sosial yang emosional dan saling mencaci.
Sebagai penutup, mari kita simak cuplikan Tajuk Rencana Kompas 10/9/2021 berikut: ”Reformasi yang Meredup”. Tingkat kepatuhan penyelenggara negara melaporkan kekayaannya, terutama kalangan legislatif, masih rendah. Rumpun legislatif yang paling rendah kepatuhannya.
Sebagai lembaga, DPR seperti masa bodoh. Pimpinan partai politik bersikap permisif. Kita melihat betapa atribut formal sebagai wakil rakyat sama sekali tidak sejalan dengan kiprah para anggota DPR yang notabene mewakili partai-partai yang dipilih rakyat.
Sidang pembaca dipersilakan membaca Tajuk Rencana Kompas yang komprehensif dan menyentuh.
Kewibawaan KPK redup ketika komisionernya ketahuan melanggar etika. KPK yang pernah begitu berwibawa. Di sisi eksekutif, berita korupsi di kalangan pejabat makin luas.
Penangkapan terhadap Bupati Probolinggo dan suaminya karena menjual pos lurah dan camat, penangkapan Bupati Banjarnegara terkait korupsi menambah gambaran rumitnya upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Benar sinyalemen Bung Hatta: kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun, tidak jujur sulit diperbaiki.
Seorang menteri aktif Sri Mulyani pernah mengungkapkan beberapa tahun yang lalu tentang korupsi dan diulang lagi dalam kesempatan lain baru-baru ini: ”Korupsi adalah musuh yang paling ampuh membuat negara hancur.”
Seperti dikemukakan Tajuk Rencana Kompas di atas, kita berharap Presiden mengambil langkah radikal.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jl Pariaman, Pasar Manggis, Jakarta Selatan 12970