Survei Litbang ”Kompas” mengungkap realitas problem kesejahteraan atlet Indonesia. Perlu solusi sistemis untuk memastikan kesejahteraan atlet.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo menyerahkan bonus kepada kontingen Indonesia di Olimpiade Tokyo di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (13/8/2021).
Atlet Indonesia tercitrakan sudah sejahtera ketika pebulu tangkis ganda putri Greysia Polii/Apriyani Rahayu menerima bonus dan penghargaan bernilai signifikan, setelah meraih medali emas Olimpiade Tokyo 2020.
Bonus pemerintah yang disampaikan secara simbolis oleh Presiden Joko Widodo meliputi Rp 5,5 miliar untuk peraih medali emas, Rp 2,5 miliar untuk peraih perak, dan Rp 1,5 miliar untuk peraih perunggu. ”Bonus juga diberikan kepada pelatih dan atlet nonperaih medali, cukup gede, tapi enggak usah saya sebut,” tambah Presiden (Kompas, 13/8/2021).
Selain bonus dari pemerintah tersebut, para peraih medali Olimpiade Tokyo 2020 juga menerima berbagai penghargaan dari klub, federasi cabang olahraga, dan kalangan swasta.
AP /KIICHIRO SATO
Ganda campuran bulu tangkis Indonesia, Hary Susanto (kiri) dan Leani Ratri Oktila, berpose setelah meraih medali emas Paralimpiade Tokyo 2020, Minggu (5/9/2021).
Bonus dan penghargaan juga diterima atlet peraih medali di Paralimpiade Tokyo 2020, dengan nilai yang sama dengan peraih medali Olimpiade. Indonesia meraih dua emas di bulu tangkis Paralimpiade melalui Leani Ratri/Khalimatus Sadiyah di ganda putri dan Leani/Hary Susanto di ganda campuran.
Fenomena bonus dan penghargaan bagi atlet Indonesia yang berkiprah di level dunia ibarat fatamorgana kesejahteraan atlet kita. Mengingat, sangat banyak atlet yang gagal mencapai puncak prestasi, bisa karena cedera atau kalah bersaing. Tak pelak, mereka sulit menggapai fasilitas dan penghargaan yang menyejahterakan.
Persoalan kesejahteraan atlet di Indonesia, terutama secara finansial, tecermin dari hasil survei daring Kompas pada 1-10 September 2021. Terdapat 330 atlet aktif dan mantan atlet dari berbagai cabang olahraga di 34 provinsi yang berpartisipasi dalam survei. Berdasarkan status mereka, responden terdiri dari 193 atlet aktif dan 137 mantan atlet.
Survei ini memotret kondisi kesejahteraan atlet saat ini dan harapan terhadap pemerintah untuk mewujudkan kehidupan mereka yang lebih baik. Hasilnya, jawaban responden terbelah. Sebanyak 40,9 persen mengaku belum sejahtera dan sisanya merasa sudah sejahtera. Namun, ketika dikerucutkan lagi, yaitu pada aspek kesejahteraan finansial, didapati 47,7 persen responden yang menyatakan hidupnya belum sejahtera.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Mantan pesenam nasional, Amin Ikhsan (kiri), melatih anak didiknya di Gedung Persani Jawa Barat, Kota Bandung, Minggu (12/9/2021) pagi. Sejak 2014, Amin menderita penyakit ginjal sehingga harus rutin cuci darah tiga kali dalam sepekan.
Sumber pendapatan yang menopang pilar kesejahteraan finansial bagi atlet aktif didapat dari honor atau uang saku pemerintah serta pekerjaan selain sebagai atlet profesional dan amatir (Kompas, 13/9/2021).
Liputan Kompas juga mengisahkan para mantan atlet yang kesulitan membiayai hidupnya di masa tua. Pemberitaan ini mengulang fenomena serupa yang terberitakan oleh Kompas dan berbagai media, bertahun-tahun sebelumnya.
Sistem pembinaan olahraga kita, selain bermuara pada pencapaian prestasi, perlu juga menyejahterakan atlet. Negara sepatutnya menjamin masa depan para atlet, yang sudah merelakan masa muda mereka demi prestasi yang mengharumkan nama bangsa.