Peduli Lindungi harus benar-benar sesuai namanya, menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk kesejahteraan warganya, dan dengan demikian harus dioptimalkan sekuat daya dan tenaga.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kartu vaksinasi atau memindai QR code melalui aplikasi Peduli Lindungi kini jadi persyaratan banyak hal. Agar berlangsung baik, masalah mendasar harus dibenahi.
Sebagai salah satu upaya penerapan sanksi dan apresiasi, kebijakan ini tentu patut dihargai. Dengan demikian, mereka yang sudah taat mengikuti vaksinasi Covid-19 mendapat keleluasaan lebih dalam beraktivitas. Di sisi lain, kebijakan ini baik untuk menapis mereka yang berisiko—karena belum divaksinasi—agar tidak rawan terpapar di ruang publik.
Walau begitu, masih banyak masalah mendasar yang harus dibenahi. Beberapa pembaca Kompas mengirim surat, mengeluhkan sulitnya mengunduh aplikasi Peduli Lindungi. Pembaca lain belum terdaftar sertifikat vaksinasinya, sudah bolak-balik mengurus, tetapi tanpa hasil, sehingga ia selalu ditolak masuk ke ruang publik.
Aplikasi Peduli Lindungi juga tidak sekadar membutuhkan perangkat telepon, tetapi juga mensyaratkan telepon pintar untuk mengunduhnya. Suatu lembaga analisis pasar, terutama untuk gim, Newzoo, menyebutkan jumlah pengguna telepon pintar Indonesia mencapai 160,23 juta pada 2020. Jika hasil Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik menunjukkan jumlah penduduk Indonesia 270,20 juta jiwa tahun 2020, warga yang tidak memiliki telepon pintar masih 109,97 juta jiwa.
Bagaimana pertanggungjawaban negara pada warga yang tidak bisa mengunduh aplikasi Peduli Lindungi, sementara mereka juga sudah divaksinasi dan sama-sama berhak mendapatkan apresiasi yang sama atas ketaatannya?
Namun, yang paling penting dari itu semua, di mana kepedulian dan perlindungan negara terhadap warganya ketika data masyarakat di aplikasi Peduli Lindungi ternyata begitu mudah dibobol pencuri digital? Tidak bisakah pemerintah mencari para ahli teknologi informasi terbaik untuk menjaga data mereka yang taat?
Jelaslah bahwa aplikasi Peduli Lindungi masih jauh dari sempurna. Kita agaknya perlu kembali menyadari, Indonesia sebagai bangsa yang besar tidak hanya beragam dalam suku, ras, agama, dan budaya, tetapi juga disparitas dalam hal pendidikan, usia, ekonomi, hingga kemampuan dalam memahami teknologi informasi maupun mengakses internet. Pertimbangan atas semua perbedaan ini mendasari semua perbaikan aplikasi Peduli Lindungi.
Tidak bisakah pemerintah mencari para ahli teknologi informasi terbaik untuk menjaga data mereka yang taat?
Keluhan sulitnya mengurus sertifikat vaksinasi dan upaya pengoreksian data menjadi pertimbangan lain. Digitalisasi jelas penting, tetapi lebih penting lagi adalah kehadiran wajah manusia dalam suatu teknologi. Siapa pun akan frustrasi menghadapi jawaban standar terprogram sehingga perlu kehadiran semacam hotline service yang manusiawi.
Peduli Lindungi harus benar-benar sesuai namanya, menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk kesejahteraan warganya, dan dengan demikian harus dioptimalkan sekuat daya dan tenaga. Kata politisi India, Chandrababu Naidu, ”Rakyat butuh kesejahteraan dan pemerintahan yang baik. Sepanjang itu dipenuhi, mereka akan taat.”