Arti Blok Rokan bagi Pertamina
Blok Rokan adalah ujian bagi Pertamina untuk menjadi perusahaan profesional dan menjadi pertaruhan Pertamina karena Presiden Joko Widodo mematok target tinggi tahun 2030 produksi minyak nasional mencapai 1 juta BOPD.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2F20210902-OPINI-Arti-blok-Rokan-Untuk-PERTAMINA_1630577172.jpg)
Supriyanto
Blok kaya minyak di Provinsi Riau, Blok Rokan, resmi menjadi milik Pertamina (Persero) setelah hampir 70 tahun dioperatori Chevron Pacific (Chevron/Amerika Serikat). Pertamina kemudian mendelegasikan Blok Rokan ke anak usahanya di sektor hulu, Pertamina Hulu Rokan (PHR), untuk melakukan eksplorasi blok yang berkontribusi sekitar 24 persen bagi produksi minyak nasional tersebut.
Sebelum menjadi operator, Pertamina telah melewati masa transisi sejak 2018 untuk mempersiapkan tata kelola dan penggunaan teknologi tepat melakukan eksplorasi. Masa transisi dilakukan karena berdasarkan aturan, dua tahun sebelum kontrak berakhir, wilayah kerja (blok) migas, termasuk Blok Rokan, perlu diserahkan ke negara melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk ditender kembali kepada kontraktor kontrak kerja sama migas (KKKS).
Pertamina memang mendapat Blok Rokan tidak secara gratis, tetapi melalui proses lelang atau tender. Proses tender dilakukan secara transparan dengan prinsip penawaran terbaik yang menjadi pemenang.
Tawaran Pertamina menarik
Pertamina berhasil menang tender setelah mengajukan tawaran menarik ke pemerintah. Chevron pun ikut dalam tender untuk memperpanjang kontrak Blok Rokan. Namun, Chevron kalah tender dan Pertamina keluar sebagai pemenang.
Penawaran Chevron tidak menarik dan tak menguntungkan negara. Chevron mengajukan penawaran 55 miliar dollar AS (Rp 792 triliun) dengan skema producing sharing contract (PSC/bagi hasil minyak dengan cost recovery) dan cadangan 1,2 miliar barel. Sementara penawaran Pertamina lebih menguntungkan negara dengan nilai 57 miliar dollar AS (Rp 825 triliun) dan signature bonus ke negara 784 juta dollar AS (Rp 11,4 triliun) dengan skema gross split.
Baca juga: Pembuktian Pertamina
Pertanyaannya adalah mengapa skema PSC Chevron tak menarik pemerintah dan mengapa skema gross split Pertamina terbaik?
Dalam investasi migas, KKKS bisa saja mengeluarkan dana banyak untuk melakukan eksplorasi. Namun, produksi minyak atau gas yang diperoleh kadang tak sesuai harapan. Itu yang membuat banyak investor tak tertarik menggarap lapangan migas kita. Untuk menarik minat investor, pada masa lalu dibuatlah skema bagi hasil atau skema PSC cost recovery. Skema PSC adalah pembagian hasil berasal dari biaya produksi dikurangi dengan biaya operasi.

Ilustrasi pengelolaan hulu minyak dan gas bumi atau migas di wilayah kerja/Blok Rokan, Riau.
Skema PSC diibaratkan dengan seorang petani yang memiliki sawah luas dan membutuhkan penggarap. Petani mewakili pemerintah, sementara penggarap adalah perusahaan migas. Pemerintah memiliki minyak, tetapi yang menggarap adalah KKKS. Dalam menggarap lahan pertanian, skema PSC berarti semua biaya operasi mulai dari membeli bibit dan perawatan, dihitung sebagai biaya produksi. Sisa dari biaya produksinya akan dibagikan hasil antara petani dan KKKS sesuai perjanjian.
Skema ini lebih menguntungkan KKKS atau perusahaan migas karena risiko investasi akan ditanggung negara melalui APBN yang orang sebut cost recovery. Hal tersebut menyebabkan jebolnya APBN karena risiko investasi yang terbilang tinggi.
Itu sebabnya pemerintah mengubah skema PSC menjadi gross split. Skema gross split adalah skema baru yang dirancang pada era Menteri ESDM, Ignasius Jonan dan Wamen Arcandra Tahar. Dengan skema gross split, seluruh hasil produksi sawah, yang diibaratkan sebagai migas, akan dibagikan langsung antara petani dan penggarap. Tidak peduli berapa biaya operasi yang dikeluarkan dalam proses penggarapan.
Prinsip yang dipegang dalam skema gross split adalah pemberian intensif jelas dan terukur. Selain itu, gross split mendorong bisnis proses KKKS menjadi lebih sederhana, akuntabel, dan efisiensi. Kontraktor migas dan industri penunjang harus mampu menghadapi gejolak harga minyak tertentu. Sementara manfaatnya ialah memberikan hasil keekonomian yang sama atau bahkan lebih baik dari skema cost recovery.
Dengan skema gross split di Blok Rokan, Pertamina harus lebih efisien karena biaya investasi ditanggung sendiri.
Dengan skema gross split di Blok Rokan, Pertamina harus lebih efisien karena biaya investasi ditanggung sendiri. Jika dalam eksplorasi tidak mendapat minyak atau gas, negara tak perlu mengeluarkan dana dari APBN. Itu menjadi risiko bisnis yang harus ditanggung Pertamina. Kemenangan Pertamina dalam tender Blok Rokan memiliki dua implikasi langsung terhadap sektor energi nasional.
Pertama, sovereignty (kedaulatan). Sejak zaman Orde Baru sampai zaman reformasi, di sektor energi, Indonesia tak berdaulat. Lapangan-lapangan migas potensial dikuasai asing. Pihak asing mengeksplorasi habis migas kita.
Padahal, tahun 1970-an hingga 1990-an, Indonesia termasuk negara penghasil minyak terbesar di dunia dengan produksi di atas 1 juta barel per hari. Namun, eksplorasi tanpa henti membuat cadangan migas kita terkuras habis. Produksi minyak nasional hanya tersisa 750.000 barel per hari tahun 2020 dan membuat Indonesia menjadi negara net importir migas terbesar yang membuat neraca perdagangan mengalami defisit.
Ini terjadi karena negara tak berdaulat. Butuh pemerintahan kuat dan berdaulat yang mampu mengembalikan blok migas potensial ke pangkuan Bumi Pertiwi. Tanpa keputusan berani seorang presiden, belum tentu juga blok migas potensial, seperti Blok Mahakam (Kalimantan Timur) dan Blok Rokan bisa dimenangi Pertamina.
Baca juga: Mengapa Investor Migas Hengkang
Menariknya, pemerintahan Joko Widodo tak serta-merta menyerahkan Blok Rokan kepada Pertamina secara gratis, tetapi melalui skema umum dalam dunia bisnis. Ini penting untuk menjaga reputasi perusahaan negara, seperti Pertamina di mata dunia.
Presiden tak ingin Pertamina mendapat Blok Rokan karena label sebagai perusahaan negara. Presiden ingin agar Pertamina membuktikan bahwa mereka mampu berkompetisi dalam proses tender transparan merebut blok migas dengan perusahaan-perusahaan minyak swasta dan asing.
Kedua, keberpihakan kepada perusahaan negara (BUMN). Sejak zaman Orde Baru, Pertamina hanya diberi ruang mengolah lapangan-lapangan migas tak potensial dan lapangan-lapangan minyak tua sehingga produksinya tak maksimal. Itulah yang menjawab mengapa meskipun Indonesia pada tahun 1970-an hingga 1990-an bukan Pertamina yang mendapat untung dari kekayaan minyak nasional, melainkan perusahaan asing, seperti Chevron Pacific (Blok Rokan) ataupun Exxon Mobil (Blok Cepu).
Risikonya kedaulatan energi nasional tergadaikan. Negara bertumpu pada kekuatan perusahaan asing untuk menaikkan produksi migas. Naik-turunnya lifting migas sangat bergantung pada perusahaan asing. Sejauh perusahaan asing bekerja baik, produksi baik, tetapi jika tidak negara harus impor. Dengan alih-kelola blok migas potensial bolehlah kita menuntut Pertamina harus menjadi motor penggerak menuju kedaulatan energi.

Data produksi siap jual (lifting) minyak dan gas bumi di Indonesia sampai semester I-2019.
Andalan produksi
Blok Rokan adalah ujian bagi Pertamina untuk menjadi perusahaan profesional dengan good corporate governance (GCG) dan perhitungan tepat dalam mengolah lapangan migas potensial. Visi bisnis jajaran direksi di sektor hulu akan benar-benar diuji. Proses evaluasi dan supervisi proyek besar ini perlu dilakukan dengan baik oleh jajaran komisaris agar tak dianggap pajangan politis semata.
Ini menjadi pertaruhan bagi Pertamina karena Presiden Jokowi mematok target tinggi tahun 2030 produksi minyak nasional mencapai 1 juta barrel oil per day (BOPD). Sementara total produksi Pertamina sampai tahun 2021 hanya berkisar 390.000-400.000 BOPD. Dengan kata lain, pengolahan Blok Rokan memerlukan energi kolektif insan Pertamina.
Selama dikelola Chevron, Blok Rokan menjadi andalan produksi minyak nasional. Blok Rokan memiliki dua lapangan migas potensial, yaitu lapangan Duri dan Minas dengan ratusan sumur. Selama lima tahun terakhir, produksi Blok Rokan memang terus turun. Tahun 2013 sebesar 315.000 BOPD, tahun 2014 turun menjadi 305.000 BOPD, tahun 2015 turun lagi 280.000 BOPD, dan tahun 2019 turun tajam hanya tersisa 160.000 BOPD.
Penurunan produksi Blok Rokan ini harus menjadi tantangan bagi Pertamina. Pertamina memang telah memasang target akan melakukan pengeboran 160-200 sumur minyak pascaalih kelola agar menaikkan kembali produksi.
Baca juga: Senja di Ladang Minyak Nusantara
Apabila selama dikelola Pertamina produksi Blok Rokan turun, reputasi Pertamina akan dipertaruhkan karena impor minyak menjadi tak terhindarkan. Sebaliknya, jika Pertamina mampu menaikKan produksi Blok Rokan, akan menambah kepercayaan terhadap Pertamina dan meminimalkan impor. Pertamina kemudian menjadi perusahaan energi yang mampu diandalkan menjaga ketahanan energi nasional. Apabila produksi Blok Rokan ditingkatkan menjadi 200.000 barel per hari, Pertamina berkontribusi hampir 70 persen dari produksi minyak nasional.
Untuk mencapai target 1 juta BOPD seperti yang disampaikan Presiden, Pertamina memang tidak hanya mengandalkan Blok Rokan, tetapi juga peningkatan produksi Blok Mahakam (Kalimantan Timur), Offshore North West Java, Blok Cepu (mitra dengan Exxon Mobil Cepu), dan ekspansi lapangan-lapangan migas di luar negeri. Dengan begitu, maju mundur lifting migas bergantung pada kompetensi dan profesionalitas Pertamina mengolah ladang-ladang migas.
Pertamina bisa meningkatkan produksi Blok Rokan asalkan saja Pertamina memiliki tata kelola bagus, kekuatan sumber daya manusia, teknologi tepat, dan pendanaan (financing). Tanpa kekuatan itu, omongan target kenaikan produksi Blok Rokan hanya macan kertas.
Pertamina bisa meningkatkan produksi Blok Rokan asalkan saja Pertamina memiliki tata kelola bagus, kekuatan sumber daya manusia, teknologi tepat, dan pendanaan.
Dana investasi Blok Rokan memerlukan dana besar. Jika dibandingkan investasi INPEX Corporation (INPEX) di Blok Masela, untuk pembangunan LNG Abadi (Maluku) membutuhkan dana senilai 14 miliar dollar AS (hampir Rp 300 triliun).
Lapangan minyak memiliki karakter dan kesulitan masing-masing. Pengeboran minyak di laut dalam (depth water) seperti Blok Masela tentu sangat sulit dan membutuhkan teknologi canggih. Itu berbeda dengan Blok Rokan di onshore.
Kesulitan wilayah Blok Rokan dipengaruhi luas wilayah (6.453 km persegi) sehingga membutuhkan pemeriksaan fisik sumur secara teliti dan audit lingkungan ketat karena biaya penutupan tanah terkontaminasi minyak tak sedikit. Teknologi yang digunakan juga tentu berbeda dengan offshore (laut). Banyak informasi dari pakar-pakar perminyakan mengatakan, di Blok Rokan membutuhkan teknologi khusus injeksi kimia untuk pengurasan minyak tahap lanjut (enhanced oil recovery/EOR).

Kegiatan hulu migas PHE Offshore North West Java di laut lepas bagian utara Jawa Barat, Jumat (10/4/2020). Anak usaha PT Pertamina (Persero) ini memilih tetap beroperasi di tengah pandemi Covid-19.
Selama masa transisi (tahun 2018-2021), Pertamina sudah membentuk tim khusus untuk persiapan pengolahan Blok Rokan, termasuk penyediaan teknologi dan bagaimana mencari pendanaan proyek. Meskipun demikian, saya pesimistis jika hanya mengandalkan dana internal Pertamina karena cash flow terlalu kecil (7,3 miliar dollar AS/Baca; Pertamina: 2020) untuk mendanai proyek ambisius yang membutuhkan dana besar dan teknologi canggih.
Sebagai jalan keluar, Pertamina harus menjalankan opsi yang ditawarkan Kementerian ESDM, merekomendasikan Pertamina mencari mitra strategis. Mitra strategis tidak hanya memiliki dana, tetapi juga kemampuan menaikkan produksi dan membawa teknologi EOR. Jika sudah ada mitra, risikonya porsi kepemilikan Pertamina berkurang. Boleh jadi, mitra strategis meminta jatah atau porsi saham di atas 30 persen karena dengan cara itu menarik mitra untuk masuk.
Baca juga: Industri Hulu Migas Masih Diperlukan pada Masa Transisi Energi
Pencarian mitra strategis di tengah penyebaran Covid-19 saat ini menjadi tantangan bagi Pertamina. Akibat pandemi, korporasi migas global banyak merugi, mengurangi investasi, melakukan banyak efisiensi agar bertahan. Tak mudah mencari mitra di tengah kesulitan korporasi-korporasi migas akibat Covid-19. Ini tergantung pintar-pintarnya direksi dan jajaran komisaris Pertamina meyakinkan mitra strategis.
Meskipun demikian, masih ada harapan di ujung terowongan karena secara perlahan harga minyak dunia kembali pulih. Akhirnya, jika Presiden Jokowi memiliki ambisi besar menaikkan produksi nasional, tugas pemerintah kemudian adalah mempercepat proses vaksinasi nasional agar public herd immunity tercapai sehingga korporasi global tertarik datang ke Indonesia dan Pertamina kembali beraktivitas normal.
Ferdy Hasiman, Peneliti Pada Alpha Research Database Indonesia