Bakteri Usus Diwariskan
Ekosistem mikroba di usus atau mikrobioma diwariskan dari orangtua ke anak. Hal itu menentukan risiko kesehatan. Untungnya, mikrobioma tidak statis, bisa berubah lewat pengaruh lingkungan dan pola makan.
Tak hanya kode genetik sel, bakteri usus tepatnya mikrobioma dalam usus juga diwariskan dari orangtua ke anak. Risiko penyakit seperti autoimun dan obesitas, diturunkan melalui mikrobioma.
Penelitian Laura Grieneisen dari Universitas Minnesota dan kolega dari sejumlah universitas dan lembaga penelitian di Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Kenya, terhadap 16.000 profil mikrobioma usus dari 585 babun di Taman Nasional Amboseli Kenya selama 14 tahun menunjukkan, sebagian besar bakteri dalam mikrobioma usus diwariskan.
Baca juga: Pada Pencernaan Sehat Ada Tubuh yang Kuat
Lingkungan berperan lebih besar dalam membentuk variasi mikrobioma usus dibanding genetik. Dalam laporan di Science, 9 Juli 2021, disebutkan, heritabilitas berubah seiring waktu, musim, dan pertambahan usia. Heritabilitas mikrobioma 48 persen lebih tinggi di musim kemarau daripada di musim hujan, karena pola makan babun lebih beragam di musim hujan. Heritabilitas juga meningkat seiring pertambahan usia.
Tim menemukan, beberapa sifat mikrobioma yang diwariskan pada babun juga berlaku pada manusia.
Tim menemukan, beberapa sifat mikrobioma yang diwariskan pada babun juga berlaku pada manusia. Penelitian tentang mikrobioma usus manusia menunjukkan, hanya 5-13 persen mikroba diwariskan. Penyebabnya, menurut tim, penelitian hanya dilakukan pada satu titik waktu. Karena itu, penting mempelajari sampel mikrobioma dari inang yang sama dalam jangka panjang.
Dalam penelitian, mikrobioma babun diambil dari waktu ke waktu hingga lebih dari 20 sampel per ekor. Sampel mencakup informasi rinci tentang inang, keturunan, data tentang kondisi lingkungan, perilaku sosial, demografi, dan pola makan kelompok saat pengumpulan.
Penentu kesehatan
Mikrobioma merupakan ekosistem semua mikroba, baik bakteri, jamur, protozoa, maupun virus, yang hidup di tubuh manusia. Namun yang dominan diteliti dan dibahas adalah bakteri.
Menurut laman Pusat Ekogenetik dan Kesehatan Lingkungan Universitas Washington, AS, ada lebih dari 100 triliun mikroba atau mikrobiota dari ribuan spesies berbeda di tubuh. Ini jauh lebih besar dari jumlah sel manusia. Mayoritas hidup di usus, terutama usus besar. Berat mikrobioma bisa mencapai 2.3 kilogram.
Mikrobioma berperan menentukan kesehatan. Bakteri dalam mikrobioma membantu mencerna makanan, merangsang sistem kekebalan tubuh, melindungi dari bakteri patogen (penyebab penyakit), mensintesis asam amino dan vitamin termasuk vitamin B12, tiamin, riboflavin, juga vitamin K yang diperlukan untuk pembekuan darah.
Penyakit autoimun seperti diabetes tipe 1, arthritis reumatoid, distrofi otot, sklerosis ganda, dan fibromialgia dikaitkan dengan disfungsi mikrobioma. Dalam hal ini, mikroba penyebab penyakit yang menumpuk dari waktu ke waktu, mengubah aktivitas gen dan proses metabolisme serta menimbulkan respons imun abnormal terhadap zat dan jaringan yang biasa ada di tubuh.
Laman Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Harvard, AS, menyebutkan, seseorang pertama kali terpapar mikroorganisme saat persalinan dan melalui air susu ibu. Jenis mikroorganismenya bergantung pada spesies di tubuh ibu. Selanjutnya, paparan lingkungan dan pola makan dapat mengubah mikrobioma menjadi bermanfaat bagi kesehatan atau menimbulkan risiko penyakit.
Mikrobioma terdiri dari mikrobiota bermanfaat dan sebagian lagi bersifat patogen. Dalam tubuh yang sehat, mikrobiota bermanfaat dan patogen hidup berdampingan. Jika ada gangguan, disebabkan oleh infeksi, pola makan tertentu, penggunaan antibiotik atau obat yang dapat menghancurkan bakteri dalam jangka panjang, maka keseimbangan terganggu. Akibatnya, tubuh lebih rentan terhadap penyakit.
Baca juga: Jaga Keseimbangan Mikroorganisme Pencernaan
Mikrobioma usus dapat membantu mengontrol gula darah dan memengaruhi risiko diabetes tipe 1 dan 2. Aleksandar D Kostic dari Universitas Harvard dan tim peneliti dari sejumlah negara Eropa melaporkan hasil penelitian terhadap 33 bayi yang secara genetik memiliki risiko tinggi terkena diabetes tipe 1 di Cell Host Microbe, 11 Februari 2015. Ditemukan, keragaman mikrobioma turun tiba-tiba dan jumlah bakteri patogen meningkat tepat sebelum timbulnya diabetes tipe 1.
Mikrobioma usus juga memengaruhi kesehatan jantung. Penelitian Jingyuan Fu dan kolega dari Universitas Groningen, Belanda, bersama tim peneliti dari Polandia dan AS di Circulation Research, 9 Oktober 2015, mendapatkan, mikrobioma usus berperan dalam meningkatkan kadar kolesterol lipoprotein densitas tinggi (kolesterol baik).
Sebaliknya, spesies tertentu dalam mikrobioma usus dapat menyebabkan penyakit jantung dengan mengubah kolin dan L-karnitin, zat dalam daging merah dan sumber makanan hewani lain, menjadi trimetilamina N-oksida yang berkontribusi pada penyumbatan arteri sehingga menyebabkan serangan jantung atau stroke. Demikian laporan Zeneng Wang dari Klinik Cleveland, AS, dan kolega dari sejumlah universitas di Nature, 7 April 2011.
Penelitian Jessica M Yano dari kolega dari Institut Teknologi California, AS, di jurnal Cell, 9 April 2015, menunjukkan, spesies bakteri tertentu membantu menghasilkan bahan kimia di otak yang disebut neurotransmitter. Serotonin adalah neurotransmitter antidepresan yang sebagian besar dibuat di usus.
Mikrobioma usus dapat memengaruhi kesehatan otak dengan mengontrol pesan yang dikirim ke otak melalui saraf dengan bantuan serotonin. Sejumlah penelitian menunjukkan, orang dengan berbagai gangguan psikologis memiliki spesies bakteri berbeda di usus dibandingkan dengan orang sehat. Demikian kajian SM O’Mahony dan kolega dari Universitas College Cork, Irlandia, di Behavioural Brain Research, 15 Januari 2015, tentang hubungan mikrobioma usus dan otak.
Baca juga: Depresi Berkait Erat dengan Kondisi Mikroba Usus
Probiotik dan prebiotik
Upaya menyeimbangkan mikrobioma bisa memanfaatkan makanan probiotik yang mengandung mikroba hidup seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli tertentu. Antara lain makanan fermentasi seperti kefir, yogurt, acar sayuran, tempe, teh kombucha, kimchi, miso, dan sauerkraut.
Pola makan tinggi serat mempengaruhi jenis dan jumlah mikrobiota di usus. Serat makanan hanya dapat dipecah dan difermentasi oleh enzim dari mikrobiota di usus besar. Hasil fermentasi berupa asam lemak rantai pendek (SCFA) akan menurunkan derajat keasaman (pH) usus besar, pada gilirannya menentukan jenis mikrobiota yang bertahan di lingkungan asam. pH rendah membatasi pertumbuhan beberapa bakteri berbahaya seperti Clostridium difficile.
SCFA juga digunakan tubuh sebagai sumber nutrisi serta berperan penting dalam fungsi otot dan pencegahan penyakit kronis, termasuk kanker dan gangguan usus. Studi klinis menunjukkan, SCFA berguna dalam pengobatan kolitis ulseratif, penyakit Crohn, dan diare terkait antibiotik.
Baca juga: Probiotik Menjaga Kesehatan
Makanan yang mendukung peningkatan kadar SCFA adalah karbohidrat dan serat yang tidak dapat dicerna seperti inulin, pati, gum, pektin, dan fruktooligosakarida. Serat-serat ini disebut prebiotik karena memberi makan mikrobiota yang bermanfaat. Sumber prebiotik antara lain kacang-kacangan, buah-buahan, sayuran termasuk bawang putih, bawang merah, daun bawang, asparagus, artichoke, rumput laut. Juga biji-bijian seperti beras, gandum, oat, dan barley.