Bahasa Indonesia
Besar harapan kami bahwa lembaga resmi negara berkenan menggunakan keahlian dari para sarjana bahasa dan sastra dalam kerja kebahasaan yang lebih luas. Kenyataannya, banyak sarjana bahasa bekerja bukan di bidangnya.
Membaca surat Samesto Nitisastro berjudul ”Tentang Bahasa Indonesia” dalam rubrik ini (Kompas, 21/6/2021), sebagai seorang sarjana sastra saya merasakan keresahan yang sama. Penggunaan bahasa Indonesia dalam ranah publik dan formal, baik penulisan maupun penuturan, banyak yang memprihatinkan.
Saya perlu mengaku bahwa saya tidak pandai, walau lulus jurusan bahasa dan sastra. Namun, saya berharap semoga tulisan ini menggugah kita semua untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Menurut saya, yang menjadi persoalan berkenaan dengan bahasa, baik secara lisan maupun tulisan, adalah berkembangnya pandangan bahwa bahasa adalah hal mudah dan sudah bawaan. Tak perlu dipelajari secara sungguh-sungguh dan mendalam.
Pandangan tersebut sering muncul dalam ungkapan ”kan dah bisa ngomong” atau ”kan dah bisa nulis sama baca”. Padahal, kemampuan berbahasa, baik secara lisan maupun tulisan, bukanlah sesuatu yang ”sekadar”. Kesalahan nalar berbahasa dapat berakibat fatal. Misalnya dalam hal penyampaian peraturan.
Saran Samesto Nitisastro, meminta negara atau lembaga bahasa memberi penyuluhan dan pelatihan merupakan suatu hal yang baik dan tepat. Akan tetapi, mesti dibarengi dengan kesadaran dari yang dilatih.
Di samping itu, mewakili diri sendiri dan kawan-kawan saya di jurusan bahasa dan sastra, besar harapan kami bahwa lembaga resmi negara berkenan menggunakan keahlian dari para sarjana bahasa dan sastra dalam kerja kebahasaan yang lebih luas. Kenyataannya, justru dijumpai sarjana bahasa dan sastra yang malah tidak bekerja dalam ranah kebahasaan, antara lain karena keterbatasan lapangan kerja di bidang tersebut.
Sebagai penutup, pembelajaran bahasa di sekolah, baik dasar maupun menengah, hendaknya juga menjadi tempat pengajaran dan pembiasaan bahasa Indonesia—tanpa melupakan muatan lokal dan global.
Perlu pula dibangun kesadaran bahwa keahlian berbahasa (menulis, membaca, berbicara, menyimak) merupakan kepandaian, pencapaian intelektual. Dengan demikian, pepatah ”bahasa menunjukkan bangsa” tidak hanya menjadi ungkapan bijak, tetapi juga dipraktikkan.
Polanco S Achri
Pengajar di SMK Assalafiyyah, Sleman, DI Yogyakarta
Tanya
Di Kompas edisi Sabtu (18/7/2021), ada tulisan tentang panahan. Tulisan itu tepat-waktu (timely), menjelang Olimpiade Tokyo, lagi pula jelas dan disertai ilustrasi yang bagus.
Namun, ada beberapa pertanyaan yang saya harap bisa dijawab Redaksi Kompas atau para pembaca.
Pertama soal istilah. Peserta panahan putri Indonesia disebut ”Srikandi”. Mengapa selalu Srikandi, tak pernah ”Mustokoweni”? Bukankah Mustokoweni lebih hebat?
Kedua tentang anak panah. Di bagian anak panah, antara pangkal dan ujungnya, disebut shaft. Mengapa tidak disebut batang saja?
Di pangkal anak panah ada bagian (tambahan) yang disebut hiasan. Apakah tak ada fungsi lain dari bagian itu selain sebagai hiasan? Mungkinkah ada efek aerodinamisnya? Mengapa tak disebut sirip saja?
Lingkaran yang pusatnya dibidik disebut target. Mengapa tidak diindonesiakan jadi lèsan saja? Lèsan artinya yang ’dilès’ atau ’dibidik’.
L Wilardjo
Klaseman, Salatiga
Catatan Redaksi:
Sebenarnya lebih karena kebiasaan kalau pepanah perempuan diberi julukan Srikandi. Terima kasih atas usulan Mustokoweni.
Ihwal shaft, masukan kami terima. Dalam grafis shaft memang tidak diterjemahkan.
Tentang hiasan akan kami pelajari lagi kegunaannya. Masuk akal jika dikaitkan dengan efek aerodinamis. Usulan kata sirip juga menarik.
Terima kasih atas perhatian dan masukan yang disampaikan. Sangat menarik dan membuat kami berpikir.
TFG Belum Cair
Saya adalah guru SMA swasta dengan sertifikasi guru bidang studi Matematika. Data saya sebagai berikut.
NUPTK (nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan) 2643-7506-5211-0062. Nomor registrasi guru 141801597002. Nomor peserta sertifikasi 14016218011038.
Sampai saat ini, dana tunjangan fungsional guru (TFG) tahun 2021 saya belum cair, sejak April 2021 sampai dengan Juni 2021.
Mohon pihak-pihak terkait, khususnya Subbidang Pencair Dana TFG Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menindaklanjuti.
Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih.
Hardik Sunanto
Srengseng Kembangan, Jakarta Barat
Gerebek Hotel
Menyaksikan program televisi yang menayangkan polisi merazia hotel dan menginterogasi pasangan penyewa kamar dengan alasan bukan suami istri yang sah, sungguh miris. Apalagi kemudian memaksa dan menggiring mereka ke kantor polisi.
Jika alasan razia untuk mencari penyalahgunaan narkoba, mungkin bisa dipahami. Namun kalau targetnya hanya pasangan yang ingin santai dengan menyewa kamar hotel, apa salah mereka?
Mengapa bukan pihak hotel saja yang diberi sanksi. Seharusnya ketika ada pasangan lelaki-perempuan mau menyewa kamar, petugas penerima tamu selain meminta bukti identitas para calon tamu juga minta surat nikah.
Kalau ternyata tidak memiliki, dipastikan bukan suami istri. Untuk itu, tolak saja. Sekalian yang berwenang membuat aturan tertulis, pasangan penyewa kamar hotel harus pasangan menikah sah.
Polisi tidak boleh semena-mena menuntut. Siapa pun mereka, jika tidak ada pihak yang merasa dirugikan dan mengadukan ke polisi, tidak ada larangan lelaki perempuan menyewa kamar hotel.
Jika memakai pasal telah terjadi perbuatan asusila, juga tidak cukup bukti, sebab tempatnya tertutup. Justru untuk menghindarkan tuduhan tindakan asusila atau cabul di tempat umum, pasangan tersebut menyewa kamar hotel.
Zina, berdasarkan Pasal 284 KUHP, adalah persetubuhan yang dilakukan laki-laki atau perempuan yang telah menikah dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Dilakukan atas dasar suka sama suka, tanpa paksaan dari salah satu pihak.
Memperhatikan berbagai rumusan pasal delik kesusilaan dalam KUHP, pada dasarnya, tidak ada satu pun pasal tindak pidana yang dapat dikenakan kepada pasangan di luar perkawinan, berusia dewasa, dalam keadaan sadar, tanpa paksaan, berduaan atau bermesraan di tempat tertutup. Kecuali jika dilakukan secara sengaja dan terbuka di muka umum, dapat dijerat dengan Pasal 281 KUHP.
Dalih polisi bahwa penggerebekan untuk memerangi penyakit masyarakat juga diragukan. Sebab masyarakat pun tenang-tenang saja, tidak ada pengaduan atau anggapan bahwa pengelola hotel yang dirazia membuat keresahan.
Cara polisi menginterogasi dan memaksa pasangan bukan suami istri—sebelum digiring ke kantor polisi—justru terkesan arogan kalau tidak mau disebut kasar. Apalagi mereka sengaja merekam menggunakan kamera video.
Menonton hasil rekaman yang kemudian menjadi konten program televisi itu, sungguh tidak menimbulkan kebanggaan. Apalagi kemudian tidak pernah ditayangkan sidang dan keputusan pengadilan atas pasangan hasil penggerebekan polisi tersebut.
A Ristanto
Jatimakmur, Pondokgede, Kota Bekasi
Covid-19 dan Demokrasi
Rambut sama hitam, pikiran lain-lain. Dalam laut dapat diduga dalam hati siapa tahu.
Kita tidak tahu apa yang dipikirkan seseorang ketika menyatakan sesuatu. Kita juga tidak tahu apa niatnya menyatakan hal itu. Kita baru akan mengetahuinya apabila ia mengungkapkan terang-terangan dan dalam bahasa yang dapat kita pahami.
Namun, kita tidak bisa memaksakan hal itu. Di negeri kita orang bebas berpikir dan memiliki isi hati sendiri. Perbedaan bisa memperkaya pengetahuan dan pengertian kita tentang sesuatu, tetapi perbedaan juga bisa menimbulkan kesalahpahaman dan sengketa. Apalagi jika setiap pihak berkeras dengan pemikiran masing-masing, enggan membuka diri terhadap pemikiran orang lain.
Hingga kini ada saja pihak-pihak yang berkukuh bahwa Covid-19 tidak ada, menganggap hanya rekayasa. Karena tidak percaya, lalu menolak mematuhi protokol kesehatan. Tidak mau memakai masker, masih berkerumun, dan tidak menaati pembatasan aktivitas keluar rumah.
Ada pula yang merasa sehat, kuat, dan kebal penyakit. Beranggapan keluar rumah kena sinar matahari dan meningkatkan ketahanan tubuh. Vaksinasi pun ditabukan. Petugas dimaki. Pemerintah dicaci.
Informasi jumlah kematian yang meningkat tak ada artinya. Berita kesulitan mendapatkan lahan kubur tak mengubah pendirian. Bergugurannya tenaga kesehatan diremehkan. Berkukuh bahwa mereka meninggal karena penyakit bawaan dan usia. Bukan Covid-19. Sudah waktunya.
Orang-orang semacam ini, tentu saja enggan bertenggang rasa dan menolong sesama. Semua dianggap salah sendiri.
Ketika diingatkan tenaga kesehatan berkurang dan menurunkan pelayanan yang bisa diberikan, jawabnya spontan dan ringkas! ”Cetak tenaga baru! Hasilkan dokter dan perawat sebanyak-banyaknya.” ”Begitu saja tidak bisa! Kalau memang tak sanggup, bubar saja.” Semua dipandang serba mudah dan serba enteng.
Sirene ambulans meraung-raung minta jalan. Jalan, walau disekat di sana-sini, tetap saja dipenuhi beragam kendaraan. Tidak perlu ada yang dirisaukan. Kalau ”tersambar” penyakit, belum tentu Covid-19. Alat pendeteksinya pun diragukan. Kalau memang ternyata benar Covid-19, itu kehendak Tuhan! Sudah nasib! Tak perlu diratapi.
Seribu kepala, seribu pemikiran. Seribu hati, seribu niatan. Pemikiran dan niat bahkan bisa bercabang, menjadi ranting, melebar dan meluas. Dari seribu menjadi ribuan dan tak keruan.
Sayangnya, walau pikiran dan hatinya bercabang-cabang, bersilangan tak menentu, mereka tak sudi diingatkan, dilarang, apalagi diarahkan dan diluruskan. Masuk akal atau tidak masuk akal, suka-suka mereka.
Inikah antidemokrasi?
Zainoel B Biran
Pengamat Sosial, Ciputat Timur, Tangerang Selatan