Balada Sejuta Guru PPPK
Perekrutan 1 juta guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja diharapkan dapat mengatasi masalah kekurangan guru ASN dan juga menyelesaikan masalah guru honorer. Namun, dalam pelaksanaannya ada sejumlah kendala.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) terdapat dua jenis ASN, yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Meski beda bentuk pegawai, kesejahteraan ASN dan PPPK hampir sama. Yang membedakan hanyalah PNS mendapat uang pensiun yang diterima setiap bulan, sedangkan untuk PPPK belum diatur mengenai perolehan pensiun.
Menurut data jumlah guru yang mengajar, sebagaimana dilansir dari laman Kemendikbud per November tahun 2020, terdapat 3.357.935 orang. Dari jumlah tersebut, 1.607.480 orang berstatus ASN dan sisanya sebanyak 1.750.455 orang berstatus non-ASN. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa keberlangsungan pengajaran di sekolah-sekolah sangat bertumpu pada keberadaan para guru non-ASN.
Sejak beberapa tahun terakhir, jumlah guru terus turun sekitar enam persen tiap tahun. Penurunan jumlah ini karena pensiun dan pergantiannya tidak dapat mengejar kebutuhan jumlah guru. Selain itu, kebutuhan guru yang terus naik disebabkan peningkatan jumlah peserta didik dan seperti kita ketahui bahwa kekurangan guru selama puluhan tahun ini ditutupi dengan pengabdian guru honorer.
Baca juga: Pendidikan Bertumpu pada Guru Honorer
Pemerintah menilai pemanfaatan guru honorer tanpa status yang jelas sangat merugikan yang bersangkutan. Sebab, tingkat kesejahteraan guru honorer berbeda jauh dengan guru PNS. Padahal, tidak sedikit honorer yang berprestasi dan telah mengabdi cukup lama sebagai guru. Menurut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim ada dua latar belakang dilakukannya seleksi guru PPPK.
Guru ASN yang tersedia di sekolah negeri hanya 60 persen dari jumlah seharusnya. Jumlah itu pun dalam empat tahun menurun terus dengan rata-rata 6 persen setiap tahun.
Pertama, mengacu pada kebutuhan guru saat ini. Berdasar data pokok pendidikan (dapodik), guru ASN yang tersedia di sekolah negeri hanya 60 persen dari jumlah seharusnya. Jumlah itu pun dalam empat tahun menurun terus dengan rata-rata 6 persen setiap tahun. Hal itu mengakibatkan sulitnya tercapai pelayanan yang optimal bagi siswa.
Kedua, terdapat banyak guru honorer yang memiliki kompetensi sangat baik, tetapi mereka belum terjamin kesejahteraan yang memadai. Agar keduanya terpenuhi, pemerintah memutuskan untuk memastikan ketersediaan pengajar yang kompeten dan menambah peluang perbaikan kesejahteraan bagi para guru honorer melalui skema PPPK.
Berdasarkan Surat Keputusan Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 5587/B-KS.04.01/SD/K/2021, dibuka pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan PPPK tahun 2021. BKN mengumumkan jumlah kuota penerimaan ASN 2021, yaitu sebesar 707.622 formasi yang terdiri atas formasi CPNS (80.961), PPPK Guru (531.076), dan kuota PPPK Non-Guru sebesar 20.960. Alur pendaftaran dan syarat PPPK mendasarkan pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan RB) Nomor 27 Tahun 2021, Permenpan Nomor 28 Tahun 2021, dan Permenpan Nomor 29 Tahun 2021 tentang seleksi CASN tahun 2021.
Berdasarkan hal tersebut di atas, kuota satu juta guru sebenarnya belum terpenuhi karena belum semua daerah mengisi dan mengajukan formasi sesuai kebutuhan. Kekuatiran pemerintahan daerah mengenai anggaran gaji PPPK sebenarnya sudah dijawab lugas oleh poin surat dari Kementerian Keuangan yang menjamin bahwa alokasi anggaran gaji PPPK ditanggung pemerintah pusat melalui dana alokasi umum (DAU).
Baca juga: Sengkarut Anggaran Guru PPPK
Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam berbagai kesempatan juga menyatakan gaji pegawai masuk dalam DAU. Tetapi, masing-masing daerah menghitung sendiri kecukupan anggaran yang teralokasi dalam DAU sesuai kecukupan untuk membayar gaji seluruh PPPK yang akan direkrut.
Kalau setelah dihitung alokasi anggaran DAU tidak mencukupi, dapat dimaklumi apabila pemerintah daerah tidak mengajukan formasi dalam jumlah yang banyak. Akibatnya, yang diusulkan pemerintah daerah hanya sesuai kemampuan dan tidak disesuaikan jumlah formasi yang disediakan pemerintah pusat. Konsekuensi logisnya tentu ada formasi yang tidak tersedia di daerah sesuai kebutuhan dan memenuhi animo pendaftar.
Kalau setelah dihitung alokasi anggaran DAU tidak mencukupi, dapat dimaklumi apabila pemerintah daerah tidak mengajukan formasi dalam jumlah yang banyak.
Baru beberapa hari portal pendaftaran melalui laman sscasn.go.id dibuka, para guru calon pendaftar PPPK sudah merasakan kesulitannya. Beberapa informasi yang beredar di media massa dan media sosial didominasi berisikan keluhan para guru calon pendaftar PPPK dari sejumlah daerah mengenai ketersediaan formasi untuk beberapa mata pelajaran. Beberapa formasi guru yang tidak tersedia di sejumlah daerah, seperti di Kabupaten Bogor, tidak ada sama sekali formasi untuk guru pendidikan agama Islam, di Kabupaten Flores Timur tidak ada sama sekali formasi untuk guru bahasa Inggris di tingkat SMP, di Riau pun demikian formasi untuk guru PAI belum tersedia.
Solusi yang dapat dilakukan pemerintah adalah membuka kembali formasi-formasi yang dibutuhkan di tahun anggaran mendatang agar dapat memenuhi kebutuhan kekurangan guru di berbagai daerah. Kebijakan penerimaan PPPK nampaknya harus terus berlangsung tiap tahun selama lima tahun mendatang.
Beberapa keluhan tersebut mungkin seperti fenomena puncak gunung es. Mungkin saja yang tidak terungkap ke publik jauh lebih banyak. Hal ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah terutama BKN dan kementerian teknis terkait agar ditanggapi dan dicarikan jalan keluarnya.
Kebijakan penerimaan PPPK nampaknya harus terus berlangsung tiap tahun selama lima tahun mendatang.
Pemetaan
Pertanyaan sederhananya, bagaimana pemetaan kebutuhan guru yang sebenarnya? Mengapa formasi masih banyak yang kosong untuk mengisi kebutuhan guru di sejumlah daerah? Jangan sampai program penerimaan sejuta guru PPPK ini ternyata tetap tidak mampu mengejar kebutuhan keterisian formasi guru yang memang saat ini masih banyak diisi dengan tenaga honorer dengan kesejahteraan minim.
Keluh kesah para guru calon pendaftar PPPK ini sebenarnya sudah muncul sebelum pendaftaran dibuka. Sejak awal para guru PPPK eks K2 yang belum terangkat formasi pada tahun 2019 agak resah sehubungan dengan surat edaran Dirjen GTK Kemendikbud Nomor 1460/B.B1/GT.02.01/2021 tentang Kualifikasi Akademik dan Sertifikat Pendidik dalam Pendaftaran Pengadaan Guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja tahun 2021. Dalam poin pertama surat itu disebutkan bahwa calon guru PPPK berasal dari guru dalam jabatan dan lulusan pendidikan profesi guru (PPG) yang belum menjadi guru.
Baca juga: Problematika Guru Honorer
Keresahan mereka dimaklumi karena bagi guru dalam jabatan eks K2 (berusia di atas 35 tahun mengikuti PPPK karena tidak bisa mendaftar CPNS) harus ”bersaing” dengan lulusan PPG yang belum menjadi guru. Lulusan PPG yang belum menjadi guru ini umumnya masih muda dan fresh graduate dari kampus Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Kekuatiran para guru honorer eks K2 ini beralasan. Para guru honorer K2 yang sudah bekerja dengan waktu pengabdian lama harus berkompetisi dalam seleksi dengan alumni LPTK yang masih fresh meskipun minim pengalaman di lapangan. Afirmasi yang diberikan kepada pendaftar dengan dua kategori ini juga tidak berimbang. Pengalaman dan pengabdian para guru honorer ini dihargai berbeda dengan afirmasi yang diberikan pada para lulusan PPG.
Seyogianya para guru honorer yang sudah sekian lama mengabdi selama puluhan tahun untuk mengisi kekosongan tenaga guru ini mendapatkan afirmasi lebih banyak daripada para calon guru yang nir pengabdian. Wajar apabila guru honorer eks K2 menuntut agar mereka diangkat tanpa harus beradu seleksi dengan calon guru. Sebaiknya pemerintah menuntaskan dulu sisa guru honorer K2 yang belum terangkat di periode sebelumnya tetap mendasarkan pada aturan yang berlaku dengan kriteria persyaratan penerimaan yang memenuhi rasa keadilan bagi mereka yang telah mengabdi sekian lama.
Memang tidak ada kebijakan yang dapat memuaskan semua pihak. Tetapi, kebijakan yang memanusiakan manusia sangat dibutuhkan untuk memberikan rasa keadilan bagi para guru honorer yang telah sekian lama menunggu tanpa kepastian dan kejelasan nasib baik yang berpihak pada mereka.
Baca juga: Jalan Masih Panjang bagi Guru Honorer
Mungkin beberapa dari anak didik guru honorer ini ada yang sudah menjadi ”orang penting” di negeri ini, tetapi nasib guru masih seperti nyanyian balada dan sepertinya belum menjadi bahasan utama ”orang penting” di negeri ini. Jadi, berbicara nasib guru jangan indah terdengar hanya dalam pidato-pidato seremoni, tetapi butuh solusi konkret dan komprehensif.
Catur Nurrochman Oktavian, Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PB PGRI; Guru SMP Negeri 1 Kemang, Kabupaten Bogor