Jika dihitung sejak RUU PKS ini masuk prioritas prolegnas tahun 2016, maka sudah enam tahun RUU PKS ini terombang-ambing pembahasannya. Ada kesan RUU ini sangat susah untuk diselesaikan. Mengapa?
Oleh
SALI SUSIANA
·5 menit baca
Minggu lalu Badan Legislasi DPR mulai melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Proses ini ditandai dengan kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat dengan mengundang berbagai pakar dan narasumber yang terkait dengan isu ini melalui mekanisme Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).
Menoleh kembali ke belakang, menarik sekali untuk menelusuri perjalanan panjang RUU ini yang naik-turun (up and down) dan penuh drama. RUU ini awalnya diinisiasi oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2012. Beberapa tahun kemudian, RUU ini berhasil masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2016, sebagai RUU Inisiatif DPR yang ditandatangani oleh 70 orang.
Meskipun demikian, hingga akhir 2016 RUU ini tidak kunjung dibahas, hingga akhirnya tiga orang anggota DPR mengirimkan surat kepada pimpinan Badan Legislasi (Baleg) meminta agar RUU ini segera dibahas. Dan Baleg kemudian mulai melakukan pembahasan pada Oktober 2017.
Pada awal 2019, sempat muncul petisi menolak RUU PKS yang dibuat oleh Maimon Herawati, pengajar di Universitas Padjajaran, di situs Change.org. yang menilai RUU PKS permisif terhadap perzinahan atau pro-zina. Per 27 Januari 2019, petisi ini ditandatangani oleh 120.000 orang.
Merespons petisi tersebut, muncul petisi yang mendorong disahkannya RUU PKS, yaitu “Sahkan UU Penghapusan kekerasan Seksual #MulaiBicara #GerakBersama” yang dibuat Lentera Indonesia dan ditujukan kepada ketua dan para wakil ketua DPR, Komisi VIII, Presiden Jokowi, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Per 16 Mei 2019, 254.375 orang telah menandatangani petisi ini.
Hingga akhir periode DPR 2014-2019, RUU ini tidak berhasil diselesaikan. Tahun 2020 bahkan RUU ini tidak masuk ke dalam prolegnas prioritas, karena termasuk salah satu dari 16 RUU yang ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020. Namun akhirnya pada 2021, RUU PKS masuk kembali ke dalam Prolegnas Prioritas 2021.
Jika dihitung sejak RUU ini masuk prioritas prolegnas tahun 2016, maka sudah enam tahun RUU PKS ini terombang-ambing pembahasannya. Ada kesan RUU ini sangat susah untuk diselesaikan. Mengapa?
Faktor penentu
Menurut penulis, ada beberapa faktor yang menentukan sebuah RUU berhasil menjadi UU, termasuk RUU yang mengusung isu perempuan dan berperspektif gender.
Pertama, politik legislasi. Diakui atau tidak, dengan banyaknya fraksi yang ada di DPR dengan beragam ideologi yang mereka usung, pertarungan ideologi di parlemen menjadi sebuah hal yang tidak dapat dihindari. Bagaimanapun, UU adalah sebuah produk politik.
Untuk isu tertentu, isu lingkungan misalnya, fraksi-fraksi di DPR mungkin bisa bersepakat. Namun untuk isu-isu tertentu, basis ideologi fraksi menjadi faktor yang menentukan sikap terhadap isu itu.
Kita dapat mengambil contoh RUU tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender yang pernah dibahas di DPR beberapa periode yang lalu. Bahkan untuk judul RUU ini saja, masih terjadi perdebatan sengit antar fraksi di parlemen, yang ujung-ujungnya RUU ini gagal dibahas dan diselesaikan.
Dan isu kekerasan seksual tampaknya mengalami nasib yang serupa. Ada kesan isu kekerasan seksual tidak menjadi isu yang penting, bahkan dianggap tidak pernah ada.
Kedua, perspektif gender legislator. Latar belakang anggota parlemen yang beragam juga menentukan perspektif mereka, termasuk perspektif gender. Tidak ada jaminan bahwa anggota DPR berjenis kelamin perempuan memiliki perspektif gender. Sebaliknya banyak anggota DPR laki-laki yang perspektif gendernya bagus.
Semua sangat tergantung individu anggota tersebut. Perbedaan perspektif gender ini kemudian sangat menentukan pandangan mereka dalam merespons isu kekerasan seksual.
Ketiga, entitas yang membahas. Dalam mekanisme pembahasan RUU di DPR, ada RUU yang dibahas oleh panitia khusus (pansus), ada pula yang dibahas panitia kerja (panja). Isu yang bersifat lintas komisi biasanya dibahas oleh pansus, sementara isu yang lebih bersifat sektoral dibahas oleh panja.
Idealnya RUU PKS dibahas pansus, karena isu ini tak hanya berkaitan dengan perempuan, namun juga memiliki substansi hukum yang sangat kental. Oleh karena itu seharusnya pembahasan RUU ini tidak hanya melibatkan Komisi VIII yang bermitra kerja dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, melainkan juga Komisi III yang menangani bidang hukum. Yang terjadi pada periode 2014-2019, RUU PKS dibahas oleh panja di Komisi VIII.
Keempat, sifat pembahasannya, apakah terbuka atau tertutup. Memang tidak ada ketentuan kaku (rigid) yang mengatur bahwa pembahasan RUU harus terbuka atau tertutup, namun pengalaman menunjukkan bahwa RUU berperspektif gender yang pembahasannya dilakukan secara terbuka, “tingkat keberhasilannya” lebih tinggi dibanding dengan RUU yang pembahasannya dilakukan secara tertutup.
Sebagai contoh, UU No 23 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang menerapkan proses pembahasan terbuka dari awal hingga akhir. Masyarakat dapat mengakses secara penuh rapat-rapat yang dilakukan di parlemen untuk membahas RUU tersebut.
"Push factor"
Keempat faktor tersebut di atas merupakan faktor yang bersifat internal. Artinya ada di parlemen. Lalu, bagaimana dengan faktor eksternalnya? Penulis tetap melihat adanya peluang untuk memanfaatkan faktor eksternal di luar DPR sebagai push factor.
Belajar dari pengalaman pembahasan UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu yang berhasil memasukkan isu affirmative action melalui pasal yang mencantumkan keterwakilan 30 persen untuk perempuan untuk pertama kalinya, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan aktor di luar parlemen.
Pertama, membangun koalisi. Koalisi yang kuat antar-organisasi masyarakat dan elemen-elemen lainnya yang selama ini mendukung RUU PKS tentu akan berpengaruh secara signifikan dibanding jika mereka jalan sendiri-sendiri.
Pada masa digital ini, koalisi tak hanya dapat dilakukan secara fisik, melainkan juga melalui dunia maya. Petisi-petisi online yang mendesak pengesahan RUU PKS perlu digaungkan kembali.
Kedua, melakukan dengar pendapat (hearing) dengan entitas yang nanti akan membahas RUU, apakah itu pansus atau panja. Elemen-elemen di luar parlemen tetap harus dapat meyakinkan dan menjelaskan urgensi RUU ini. Merujuk pada Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020, dari 3.062 kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan komunitas, 58 persen merupakan kekerasan seksual.
Ketiga, melakukan lobi ke DPR, baik lobi yang bersifat formal kepada pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi, maupun lobi secara personal kepada key persons, yaitu legislator yang berpotensi untuk mendukung RUU PKS.
ARSIP PRIBADI
Sali Susiana
Dan terakhir, melakukan monitoring pembahasan RUU secara kontinu. Lagi-lagi pengalaman dalam pembahasan UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu yang melahirkan “fraksi balkon”, yaitu elemen masyarakat, baik individu maupun organisasi masyarakat sipil yang setia mengikuti pembahasan RUU ini dari balkon ruang rapat, dapat diterapkan.
Semoga kali ini RUU PKS dapat berubah menjadi UU PKS sebagai sebuah warisan (legacy) DPR Periode 2019-2024.
Sali Susiana, Peneliti Masalah Perempuan dan Gender