Penyempurnaan kamus sejarah ini perlu pula mengkaji kembali aspek-aspek seperti peranan ”ketokohan”, ”keterwakilan”, makna tokoh-tokoh, organisasi, lembaga, dan peristiwa dalam konteks sejarah panjang bangsa Indonesia.
Oleh
Eduard Lukman
·3 menit baca
Kamus Sejarah Indonesia terbitan Direktorat Sejarah Kemendikbud telah menimbulkan keprihatinan dan kritik. Kompas memuat dua ”Surat kepada Redaksi” mengenai hal ini (3 Mei 2021 dan 7 Mei 2021).
Saya sudah membaca, walaupun belum saksama, versi softcopy Kamus Sejarah Indonesia Jilid I (Nation Formation 1900-1950). Softcopy tersebut, yang tampaknya masih draf, sudah beredar luas, padahal kabarnya masih dalam pengkajian Kemendikbud.
Sebatas kapasitas saya sebagai peminat sejarah, ada beberapa catatan kecil sementara yang ingin saya sampaikan. Selain tidak ada entri tokoh-tokoh yang sudah diprotes beberapa pihak, termasuk di antaranya pendiri Nahdlatul Ulama, Hasyim Asy’ari, sejumlah tokoh penting negeri ini juga tidak menjadi entri tersendiri dalam kamus jilid I ini. Misalnya saja Sutan Sjahrir, Abdul Haris Nasution, demikian juga Soeharto.
Yang bisa dibahas lebih lanjut, tidak ada entri untuk Taman Siswa. Lain halnya dengan Sekolah Diniyah Puteri (hlm 260), Sekolah Raja (hlm 261), atau Sumatra Thawalib (hlm 294-295). Memang ada penjelasan tentang Taman Siswa, tetapi disatukan dalam entri Soewardi Soeryaningrat (Ki Hajar Dewantara), di halaman 279-280.
Saya juga menemukan banyak kesalahan penulisan. Misalnya ”Algemeene Middelbare School” ditulis ”Aglemeene Middlebare School” (hlm 13), atau dalam entri lain menjadi ”Aglemene” (hlm 14). ”Schakel School” tertulis ”Schalkel School” (hlm 257). Sekar Maji Kartosiwiryo (hlm 259) dan Tadashi Meda (hlm 313) adalah contoh kekeliruan lainnya.
Dalam daftar pustaka tidak tercantum karya Robert Cribb dan Audrey Kahin, Kamus Sejarah Indonesia (edisi bahasa Indonesia, 2012) yang mungkin bisa menjadi salah satu pembanding.
Penyempurnaan kamus ini, perlu pula mengkaji kembali aspek-aspek seperti peranan ”ketokohan”, ”keterwakilan”, makna tokoh-tokoh, organisasi, lembaga, dan peristiwa dalam konteks sejarah panjang bangsa Indonesia.
Karena itu, masukan publik secara luas menjadi sangat penting. Terima kasih.
EDUARD LUKMAN
Jl Warga, RT 014 RW 003, Pejaten Barat,
Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12510
Berpikir Negatif
Belakangan ini makin banyak orang yang terjangkit pikiran negatif, bahkan sudah menjadi perilaku.
Sejalan dengan berjalannya waktu, perilaku ini berubah menjadi kecanduan. Ada kecanduan alkohol, makan berlebihan, berjudi, korupsi, atau penyalahgunaan obat. Semua aspek dilihat dari sisi negatif, sebaik apa pun yang dilakukan oleh pihak lain.
Daya rusaknya terhadap sesama manusia luar biasa. Banyak orang yang menderita akibat ”penyakit” berpikiran negatif ini. Dampaknya adalah tiga hal kerusakan utama pada jiwa, tubuh, dan perasaan, yang dengan cepat bisa memengaruhi pihak lain.
Penyakit tersebut sedang mewabah di negeri kita, sudah masuk kategori ”gawat dan darurat”, karena sudah merasuki berbagai lapisan masyarakat. Termasuk banyak orang pintar dengan pendidikan tinggi, orang yang berlatar belakang sejahtera, hingga masyarakat lapisan paling bawah yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.
Kerusakan moral di negeri ini sudah memasuki tahap tidak bisa dianggap ringan. Oleh karena itu, pembangunan sumber daya manusia yang menjadi salah satu visi dan misi pemerintahan Presiden Jokowi seharusnya dimulai dari pembenahan serta perbaikan moral.
Bagaimana bisa kita memulihkan ekonomi dan melaksanakan pembangunan—apalagi pascapandemi—apabila moral sudah telanjur porak poranda?
Percuma saja bangsa Indonesia punya banyak orang cerdas dan pintar, tetapi dengan moral rusak.