Seni tak pernah mati. Makin terasa dibutuhkan dan berdaya justru di saat situasi berat membelenggu dan mengimpit. Seni merawat kegembiraan.
Oleh
SILVESTER PETARA HURIT
·4 menit baca
Covid-19 mencekam dunia sepanjang tahun 2020. Selain jutaan nyawa hilang, kontraksi ekonomi, pengangguran, dan meningkatnya kemiskinan global, varian baru korona mendatangkan kecemasan tersendiri di awal tahun 2021 ini. Walau kecemasan tak kunjung henti, manusia tak tinggal diam dan selalu punya cara mengatasi dan mencicil rasa cemas atau gelisahnya. Salah satu yang dominan adalah lewat ekspresi seni.
Seni ’mewabah’ terutama saat lockdown pandemi Covid-19. Di media sosial bertebaran sekian ekspresi seni mulai dari yang vulgar (spontan) hingga tertata serius. Lagu, puisi, tarian, lukisan, video tumpah ruah. Seni jadi pilihan untuk mengekspresikan kecemasan, kegetiran, duka, kesuntukan, kejenuhan, dan harapan. Kanal pelepasan (sejenak) segala yang berkecamuk di pikiran dan hati, segala yang terasa menekan serta memerangkap ruang gerak manusia.
Dalam sejarah, seni pernah ada di jantung kehidupan manusia. Menjadi bagian penting dari ritus keagamaan masyarakat di masa lalu serta menemani duka dan kecemasan manusia. Dalam mitologi Yunani diceritakan bagaimana Orpheus mengisi kesedihan dengan bermusik. Bermodalkan kemampuan bermusiknya, ia menempuh perjalanan mengerikan ke Dunia Bawah mencari kekasihnya yang telah meninggal.
Ia menggugah para dewa dengan kepiawaiannya bermain lira. Atau tokoh mitologis suku Lamaholot, Nusa Tenggara Timur, yang bernama Wato Boki memikat Tonu Wujo, Sang Dewi Padi, dengan kepiawaiannya bermain suling ganda (ruren) sampai-sampai sang dewi jatuh cinta dan menyerahkan diri padanya.
Situasi Covid-19 membawa kembali seni sebagai milik masyarakat. Kapitalisme dan tatanan dunia modern telah menggiring manusia pada kehidupan yang serba berorientasi target (keuntungan material). Manusia tumbuh dalam sistem, prosedur, dan mekanisme yang dikendalikan oleh logika pasar.
Begitu halnya seni, dikerangkeng oleh kaidah, konvensi, gengsi, selera, dan kuasa pasar lantas mengimpit spontanitas dan kesegaran sebagai bagian dari ekspresi manusia. Sesulit apa pun hidup, setiap orang punya hak untuk bergembira dan mencipta. Kreativitas dalam seni, seprematur dan sementah apa pun, semestinya tumbuh sebagai bagian yang paling khas dari manusia.
Merebak serta tumpah ruahnya segala ekspresi (seni) tersebut merepresentasikan kesadaran dan kerinduan manusia untuk berinteraksi. Seni, walau banyak lahir dari dunia soliter, tetap merupakan buah dari proses pertemuan, refleksi, dan kontemplasi yang khas manusia. Seni merawat wajah kemanusiaan. Mengembalikan kehangatan relasi interpersonal manusia.
Pengalaman pertemuan yang indah dan hangat menenun jiwa dan kepekaan batin serta rasa manusia. Manusia yang takut, khawatir, dan sumpek butuh mencicil gelisahnya. Supaya sejenak lebih rileks. Seni jadi saluran pelepasan/pembebasan. Membalut luka masyarakat. Menyelamatkan manusia dari kekalutan, beban hidup, dan ketakutan yang menyesakkan.
Merawat kegembiraan
Masyarakat yang hidup dalam tekanan kecemasan biasanya memiliki kekayaan tradisi seni. Masyarakat ladang Lamaholot, misalnya, menghadapi curah hujan yang pendek dan alam yang keras selalu menciptakan nyanyian untuk segala aktivitasnya, mulai dari menanam benih, menyiangi rumput, memanen, melepaskan benih dari mayangnya, sampai dengan membawa benih ke lumbung.
Saat musim hujan, ketika hujan tak turun-turun, di sejumlah komunitas adat Lamaholot ada tradisi saling kunjung, menyanyi dan menari sepanjang malam. Demikian pun ketika ada kematian beruntun yang dianggap tak lagi wajar.
Seni menghibur manusia, memberi kekuatan, dan mendatangkan rasa gembira. Perasaan gembira menjauhkan manusia dari kebuntuan hidup. Menyelamatkan manusia dari frustrasi serta keputusasaan. Seni memberi daya hidup. Menenangkan dan menguatkan masyarakat.
Manusia yang bergembira lebih tenang dan tertata pemikirannya. Tak mudah reaktif, apalagi marah dan mengagresi orang lain. Walau situasi sulit menghimpit, tidak mudah kalap. Masih ada pandangan terang dan pikiran sehat untuk bertahan dan mencari jalan keluar. Kegembiraan menjelma menjadi energi. Memberi daya batin dan perspektif yang lebih sehat terhadap masalah atau tekanan hidup.
Pikiran dan perasaan gembira memproduksi sikap dan laku yang lebih sehat. Dengan demikian, mencipta lingkungan dan ruang hidup yang lebih solider, nyaman, dan manusiawi. Untuk itulah seni tak pernah mati. Makin terasa dibutuhkan dan berdaya justru di saat situasi berat membelenggu dan mengimpit.
(Silvester Petara Hurit, Sutradara Nara Teater, Tinggal di Lewotala, Flores Timur, NTT)