Cita-cita Luhur Bangsa
Dengan berfokus pada gagasan, kekuatan tengah juga dapat membebaskan diri dari sangkaan sedang mengejar hal-hal yang berbau manfaat pragmatis. Dalam jalur inilah kita yakin konsolidasi akan berlangsung konstruktif.
Pada akhir 2020, Kompas membuat jajak pendapat menuju konsolidasi politik yang dilaporkannya pada 4 Januari 2021. Pembuka laporan tersebut menulis: ”Tahun 2021 menjadi momentum tepat memulai proses konsolidasi politik elite di pusat dan daerah. Tujuannya satu: agar Indonesia bangkit dari dampak multidimensi pandemi Covid-19.”
Hasil jajak pendapat menunjukkan besarnya harapan publik bagi berlangsungnya perbaikan sehingga kondisi kita di berbagai bidang dapat lebih baik dibandingkan dengan tahun 2020. Konsolidasi, tidak hanya di kalangan elite, tetapi hendaknya juga berjalan di kalangan masyarakat: ”Selain konsolidasi antarelite, kerja sama dengan masyarakat juga diperlukan agar sendi-sendi kehidupan tahun 2021 kembali bangkit dan berjalan normal”.
Tentu pertanyaan konstruktif yang layak untuk diajukan adalah bagaimana memungkinkan suatu konsolidasi dalam waktu segera, mengingat masalah yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19, telah membawa komplikasi kepada sektor-lain di luar kesehatan, juga membutuhkan penanganan segera, agar tidak semakin kompleks. Boleh dikatakan, tidak ada yang menolak pandangan bahwa masalah yang kini dihadapi bangsa hanya mungkin diatasi jika dan hanya jika bangsa berada dalam satu kesatuan langkah.
Presiden Soekarno, dalam kursus mengenai Pancasila di Istana Negara pada 28 Mei 1958, menguraikan tentang pentingnya persatuan dalam suatu perjuangan, ”… bahwa perjuangan bangsa Indonesia hanyalah dapat berhasil jikalau seluruh rakyat Indonesia masuk di dalam satu kancah perjuangan”. Frasa tersebut dapat dikatakan memuat tiga aspek penting, yakni (1) kejelasan arah yang hendak dituju; (2) kejelasan jalan yang hendak ditempuh; dan (3) kejelasan akan syarat dasar langkah yang hendak diselenggarakan.
Dalam konteks ini, kita terasa seperti mendapatkan panggilan sejarah, untuk pulang pada apa yang hendak dilukiskan di sini sebagai cita-cita luhur bangsa.
Jika konsolidasi dapat ditempatkan sebagai metode agar kita segera keluar dari krisis akibat pandemi, tentu pertanyaan yang tidak kalah penting dan perlu untuk dipersoalkan adalah apa yang menjadi dasar pembenar bagi terselenggaranya konsolidasi, selain dari argumentasi memperkuat kemampuan, karena tenaga bersama-sama yang disusun secara baik, akan jauh lebih besar ketimbang tenaga sendiri-sendiri tanpa orkestrasi.
Dalam konteks ini, kita terasa seperti mendapatkan panggilan sejarah, untuk pulang pada apa yang hendak dilukiskan di sini sebagai cita-cita luhur bangsa. Yakni apa yang tertulis dalam teks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pembukaan), ”berkehidupan kebangsaan yang bebas”.
Apabila ditinjau kedudukan frasa tersebut dalam teks Pembukaan, maka dapat dikatakan pula bahwa keinginan itu merupakan dasar dari pernyataan kemerdekaan rakyat Indonesia. Adakah dasar pembenar yang lebih kokoh di luar cita-cita luhur tersebut?
Kemerdekaan
Apakah kemerdekaan yang dimaksud bangsa Indonesia? Sebagai bangsa tentu selayaknya kita punya penjelasan resmi yang bersifat normatif tentang apa yang dimaksudkan dengan kemerdekaan. Mengapa? Karena gerak waktu akan meninggalkan yang lalu di belakang. Peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 tentu akan diam di sana, tetapi seharusnya narasi kemerdekaan terus hidup menyertai perjalanan bangsa.
Kita membayangkan pangkalan jauh ke depan, 2045. Apakah di terminal tersebut pikiran tentang kemerdekaan masih tetap sama, sebagai hal yang ideal seperti ketika ia menjadi hal yang ideal pada 1945? Jika tidak, apa yang akan terjadi?
Pertanyaan ini tentu akan sangat mengganggu mereka yang punya rasa sejarah. Seorang sahabat, jurnalis senior, dalam sebuah diskusi online, memvulgarkan kecemasan dengan mengajukan pertanyaan dengan nada berat: apakah Indonesia masih ada pada 2045? Adakah cara konstruktif menjawab pertanyaan tersebut?
Kita berpandangan bahwa masa depan bangsa atau kelangsungan bangsa akan sangat bergantung pada daya hidup jiwa kemerdekaan. Daya hidup itu merupakan fungsi dari: (1) pengertian; (2) penyelenggaraan; dan (3) rasa guna yang dinikmati bangsa. Hal fundamental yang amat perlu menjadi kesadaran kita bersama sebagai bangsa, bahwa nama Indonesia sendiri, pada masa perjuangan, dipahami lebih dari sekadar sebutan geografi dan atau etnologi, melainkan istilah dengan makna yang berlawanan dengan ide kolonialisme.
Dan secara demikian, kemerdekaan dalam konteks keindonesiaan, tidak saja suatu pengertian ’bebas dari’, tetapi juga ’bebas untuk’.
Dalam buku Maju Setapak, suntingan Pitut Soeharto dan A Zainoel Ihsan (1981), termuat artikel ”Sekelumit tentang nama”, disusun oleh Redaksi Jong Indonesia, yang dikatakan merupakan kutipan dari Indonesia Merdeka Maret-April 1927 dan Indonesia Moeda No 8, yang menguraikan asal dan makna nama Indonesia: ”… digunakan sebagai garis tanda tujuan luhur yang sedang mereka kejar itu: suatu tanah air yang bebas dan merdeka: Indonesia” (hlm 291).
Kita dapat mengatakan bahwa Indonesia merupakan gagasan yang di dalamnya memuat tujuan luhur, jiwa merdeka, dan suatu spirit kemanusiaan dan keadilan, sebagaimana yang dinyatakan dalam alinea pertama Pembukaan, bahwa penjajahan merupakan pengingkaran atas perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan secara demikian, kemerdekaan dalam konteks keindonesiaan, tidak saja suatu pengertian ”bebas dari”, tetapi juga ”bebas untuk”.
Suatu ”bebas untuk” adalah kemampuan bangsa melakukan apa yang harus dilakukannya agar hidup dan berkembang sebagai sebuah bangsa merdeka. Barangkali inilah maksud terdalam dari frasa: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dari frasa tersebut sangat jelas tergambar bahwa setelah merdeka (bebas dari), bangsa membutuhkan kebisaan tertentu, yakni kedaulatan. Dan kedaulatan merupakan tahap lanjut dari kebersatuan. Jadi, langkah bersatu merupakan tindakan untuk memastikan diperolehnya kedaulatan bangsa.
Yang dimaksud di sini adalah kedaulatan dalam maknanya yang kembar: ke luar berarti bangsa tidak berada dalam kendali bangsa lain, dan ke dalam berarti bahwa rakyat memiliki kedaulatannya, sedemikian rupa sehingga rakyat dapat mempergunakan seluruh peralatan yang dimiliknya untuk mencapai kehidupan baru yang diinginkan.
Dalam menafsirkan makna pernyataan kemerdekaan sebagaimana yang termuat dalam Pembukaan (maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya), Prof Notonagoro pada Dies Natalis Universitas Airlangga 10 November 1955 menyatakan bahwa pernyataan tersebut ”untuk meniadakan segala kesangsian tentang dukungan pernyataan kemerdekaan oleh seluruh rakyat, segala kesangsian bahwa maksudnya untuk kepentingan dan kebahagiaan seluruh rakyat”.
Lebih jauh dikatakan, ”… untuk menegaskan, bahwa kekuasaan tertinggi bagi Bangsa Indonesia dan Negara Indonesia yang dibentuk, adalah terletak pada seluruh rakyat sendiri, suatu dasar kehidupan Bangsa dan Negara, yang didalam bagian keempat disebut kedaulatan rakyat”.
Bagaimana memungkinkan penyelenggaraan kemerdekaan tersebut?
Demokrasi
Bagaimana memungkinkan penyelenggaraan kemerdekaan tersebut? Jika kita membaca dengan usaha penuh sesuai dengan alam pikiran para pendiri negara, sebagaimana tampak dari frasa: ” ..., maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu di dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, ...”.
Teramat terang bahwa format penyelenggaraan kemerdekaan yang dipilih, yakni: (1) Bahwa negara berdasar hukum, di mana konstitusi dibentuk dalam alam republik. Yang artinya (a) kekuasaan datang dari hukum, bukan sebaliknya; dan (b) hukum sepenuhnya merupakan ekspresi dari ”yang publik”.
Naskah penjelasan UUD 1945, sebelum dihapus oleh proses amendemen, memuat keterangan: (1) Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan (machtsstaat); dan (2) Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolut (kekuasaan tidak terbatas). (2) Bahwa untuk memastikan agar hukum tidak menjadi alat kekuasaan, maka kedaulatan rakyat (demokrasi) harus dijalankan.
Ketentuan ini mestinya dibaca sebagai pesan historis bahwa konsepsi demokrasi yang dianut bukan konsepsi yang hanya mengutamakan prosedur, melainkan juga (i) sumber; dan (ii) manfaat atau tujuan yang hendak dicapai. Suatu prosedur bukan tidak penting, melainkan tidak cukup.
Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa pemilihan yang diklaim berlangsung secara demokratik, tidak serta-merta menghasilkan pemerintahan demokrasi, bahkan mungkin yang terjadi sebaliknya.
Prof Boediono ketika menyampaikan Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM, 24/2/2007), Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia, mengingatkan pentingnya melihat demokrasi dari dua aspek, yakni mekanisme formal dan nilai-nilai dasar yang memberi sukma.
Bagi Prof Boediono, ”… tidak jarang kita merasa bahwa hampir semua persyaratan formal demokrasi telah kita penuhi, tetapi kita kecewa karena dalam kehidupan nyata kita belum merasakan suasana demokrasi seperti yang dijanjikan …”. Suatu demokrasi tanpa sukma.
Jauh sebelum itu, pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), pada 15 Juli 1945, M Hatta, menyampaikan pandangan yang dapat dikatakan mewakili suatu kecemasan pada kemungkinan terbitnya keadaan dimana yang berlangsung adalah negara kekuasaan: ”… janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan” (Risalah, 1995: 262).
Frans Magnis-Suseno SJ, dalam kolomnya pada buku Hatta, Jejak yang Melampaui Jaman (2017), yang merupakan edisi khusus Tempo (18 Agustus 2002), menafsirkan bahwa apa yang dikatakan Hatta sebagai cermin kesadaran yang melihat hubungan antara kedaulatan rakyat dan kesejahteraan rakyat.
Frans Magnis-Suseno menulis: ”Hatta di sini menyadari sesuatu yang amat penting: Keadilan sosial, dan sebagai akibatnya, kesejahteraan rakyat, justru mengandaikan kedaulatan rakyat. Agar perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakkan” (hlm 148).
Jika rakyat menyaksikan gerak demokrasi yang berlawanan dengan kepentingannya, apa yang akan terjadi?
Jika rakyat menyaksikan gerak demokrasi yang berlawanan dengan kepentingannya, apa yang akan terjadi? Sejauh rakyat hanya melihat bahwa keadaan merupakan bentuk penyimpangan kinerja dari lembaga-lembaga demokrasi, tentu tidak terlalu bermasalah, meskipun hal tersebut juga akan membawa dampak tersendiri.
Apa yang hendak dikatakan bahwa apabila rakyat masih percaya pada demokrasi, maka ruang kesempatan untuk suatu perbaikan masih sangat terbuka. Soalnya adalah jika pada diri rakyat telah tersimpan benih-benih ketidakpercayaan kepada demokrasi.
Hal ini akan menghadirkan tantangan yang lebih kompleks karena ada kemungkinan situasi tersebut membuat yang publik masuk dalam jebakan dua kutub ekstrem, yakni kutub serba politik (apa pun ideologinya) dan kutub pragmatis-transaksional. Mungkinkah konsolidasi dilakukan dalam situasi tersebut?
Kekuatan tengah
Ketika postur demokrasi diam-diam dipersoalkan dan struktur kemakmuran menimbulkan masalah strategis, maka konsolidasi sesungguhnya memikul beban ganda. Pada satu sisi diharapkan dapat menjadi cara menghimpun seluruh kekuatan untuk berada dalam satu kesatuan upaya bangsa dan di sisi yang lain menjadi cara untuk mengatasi pelemahan kohesi sosial, baik yang didorong oleh faktor ekonomi maupun politik.
Kita berpandangan bahwa terbuka peluang untuk suatu konsolidasi politik. Namun ,proses tersebut tidak mungkin jika hanya mengandalkan satu jalur formal. Amat perlu dipertimbangkan munculnya jalur nonformal.
Jalur formal tentu memiliki kapasitas dalam menggerakkan seluruh instrumen yang ada, terutama melalui regulasi dan apparatus koersi, agar untuk dilakukan suatu tindakan ataupun untuk tidak dilakukan suatu tindakan.
Selama hampir satu tahun pandemi, kita menyaksikan bagaimana suatu dinamika berlangsung. Kita dapat mengatakan bahwa dinamika tersebut ikut memberi dampak pada upaya akselerasi memutus mata rantai penyebaran virus.
Berbagai tantangan yang muncul di lapangan menunjukan bahwa untuk suatu upaya yang lebif masif dan ”efektif” tampaknya masih dibutuhkan dukungan sosial. Justru di sini persoalan muncul. Masih adanya residu politik pascakontestasi mengakibatkan tidak semua rencana berjalan sesuai harapan.
Hal yang tetap memberikan optimisme adalah bahwa dalam situasi yang demikian itu, prakarsa civil society tumbuh, dengan ragam aksi di lapangan, dengan arah yang sama, yakni memperkuat kapasitas warga. Artinya, seluruh kekuatan sosial, politik dan ekonomi, bergerak dengan metode dan kapasitasnya masing-masing dalam menghadapi pandemi, dengan maksud menyegerakan pemulihan keadaan.
Namun kini, masalah yang berkembang telah jauh lebih kompleks karena soal-soal yang muncul akibat infeksi virus ke sektor lainnya di luar sektor kesehatan mulai beririsan dengan masalah-masalah mendasar bangsa yang telah berkembang sebelum pandemi hadir.
Oleh sebab itulah, dibutuhkan konsolidasi, yang bukan saja agar terselenggara langkah efektif, melainkan juga agar berlangsung suatu keadaan yang disebut di sini sebagai tumbuhnya ”keindonesiaan” yang kepadanya dapat diharapkan kesanggupannya memikul cita-cita luhur bangsa.
Kita hendak memaknai konsolidasi bukan sebagai peristiwa (politik) ad hoc, melainkan peristiwa kebangsaan, yang bersifat jangka panjang.
Kita hendak memaknai konsolidasi bukan sebagai peristiwa (politik) ad hoc, melainkan peristiwa kebangsaan, yang bersifat jangka panjang. Pada titik inilah dibutuhkan apa yang disebut sebagai kekuatan tengah. Istilah ini muncul dalam tulisan Budiman Tanuredjo (Kompas, 9/1/2021), ”Rindu ’Muazin’ Bangsa”, yang dikatakannya bahwa ”Bangsa ini membutuhkan ”para muazin” dengan tradisi intelektual yang berakar dan memiliki visi mengenai kebangsaan Indonesia. ”Para muazin” yang konsisten bersama kekuatan rakyat membangun kekuatan tengah”.
Bagi kita, kekuatan tengah bukan kekuatan politik, atau suatu kekuatan massa, melainkan suatu himpunan pikiran. Prof Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo, salah seorang anggota BPUPK, dalam ceramahnya berjudul ”Peranan Ide-ide dalam Gerakan Kemerdekaan Indonesia”, 29 Juli 1974, menggambarkan bagaimana peran ide dalam kancah perjuangan.
Tentu yang dimaksud ”bukan sembarang ide yang dapat menggerakkan manusia untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi negara dan masyarakat. Hanya ide-ide yang mengandung kebenaran dan keadilan yang dapat menyentuh jiwa manusia yang dapat merasakannya”.
Bahkan, dapat dikatakan bahwa ide-ide dimaksud, pada gilirannya mengisi teks resmi negara, menjadi pedoman dalam mengelola negara, agar dapat bekerja sebagaimana maksud daripada ide-ide yang menggerakkan keberadaannya.
Oleh karena itulah, kekuatan tengah merupakan kekuatan ide yang bersifat non-formal, yang karena kekuatannya mampu menstimulasi nalar bangsa, sehingga bangsa sepenuhnya mengawal kinerja negara, agar senantiasa berada dalam jalur cita-cita luhur bangsa.
Dengan berfokus pada gagasan, kekuatan tengah juga dapat membebaskan diri dari sangkaan sedang mengejar hal-hal yang berbau manfaat pragmatis. Dengan demikian, dalam jalur inilah kita yakin konsolidasi akan berlangsung konstruktif dan pada gilirannya menjadi penopang keberlangsungan bangsa menyongsong satu abad kemerdekaannya.
(Sudirman Said, Ketua Institut Harkat Negeri)