Kasus tanah longsor di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Sabtu (9/1/2021), sangat memprihatinkan. Korban yang meninggal, luka-luka, ataupun yang belum ditemukan cukup banyak. Bencana ini disusul bencana banjir di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jawa Timur, dan seterusnya.
Bukankah Januari 2021 adalah puncak musim hujan? Seharusnya daerah yang menjadi langganan bencana banjir dan tanah longsor sudah siap menghadapinya. Di sisi lain, muncul pertanyaan, apakah skala dan luasan bencana makin membesar dan meningkat?
Sayangnya, prakiraan cuaca yang seharusnya menjadi bagian dari sistem peringatan dini dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BKMG) kurang ditindaklanjuti. Padahal, prakiraan cuaca BMKG dikirim ke seluruh mitra kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan para pihak, juga masyarakat luas.
Intinya mengajak semua pihak untuk waspada terhadap ancaman bencana hidrometeorologi dalam periode Natal dan Tahun Baru 2021. Diprakirakan, curah hujan mencapai lebih dari 300 milimeter per bulan, bahkan sampai Maret masih akan banyak hujan. Kesimpulannya, akan turun hujan dengan intensitas yang tinggi.
Kita sering meremehkan peringatan BMKG dan tidak terbiasa membaca tanda-tanda. Menganggap bencana dalam skala kecil sebagai rutinitas tahunan. Padahal, dari yang kecil tersebut, kalau tidak segera ditanggulangi, segera membesar. Ini karena daya dukungnya akan melebihi batas toleransi akibat kerusakan lingkungan yang terjadi terus-menerus dan masif skalanya.
Mitigasi bencana yang dilakukan daerah saat ini masih bersifat temporer dan jangka pendek sehingga belum memberikan solusi nyata. Akibatnya, belum mampu menekan korban jiwa dan harta benda.
Solusi penanganan bencana hidrometeorologi yang sifatnya permanen dan jangka panjang adalah penanganan pada daerah hulu dan daerah tangkapan air di daerah aliran sungainya dengan penanaman vegetasi kayu-kayuan yang mempunyai perakaran dalam.
Pemulihan dan rehabilitasi daerah hulu dan tangkapan air daerah aliran sungai masih krusial karena dilakukan bertahun-tahun, tetapi hasilnya belum dapat diharapkan.
Pemerintah (pusat dan daerah) harus membuat strategi yang efektif tentang penanggulangan bencana hidrometeorologi secara simultan, baik jangka pendek maupun jangka panjang, dengan mengkaji ulang pola penataan tata ruang yang salah kaprah. Semoga dengan demikian bencana hidrometeorologi dapat diatasi.
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan KLHK, Vila Bogor Indah, Ciparigi, Bogor
Perubahan UU Konservasi
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya telah masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 (Kompas, 16/1/2021). Setelah direvisi, harapannya UU tersebut benar-benar lebih berdaya guna untuk menyelamatkan keanekaan hayati di Indonesia.
Dapat disaksikan di lapangan bahwa perburuan ilegal satwa liar masih marak. Populasi satwa liar menjadi berkurang dan terancam punah.
Perburuan terus berlangsung karena satwa liar laku diperdagangkan. Jadi, ada pesanan dari para bandar satwa lewat media elektronik ke pelbagai pelosok Nusantara.
Di sisi lain, ada ketimpangan ekonomi yang membuat penduduk desa mudah diiming-imingi untuk berburu. Mereka bisa dengan mudah memperoleh uang dan pendapatan bagi keluarga.
Upaya melakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya sungguh baik. Namun, yang lebih penting lagi adalah bagaimana UU tersebut dapat diimplementasikan secara konsisten dan berkelanjutan di lapangan.
Tindak tegas para pelanggar tanpa pandang bulu. Hal penting lain adalah usaha untuk menumbuhkan kesadaran seluruh lapisan masyarakat, sekaligus membangun sosial ekonomi masyarakat perdesaan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Dengan demikian, mereka terbebas dari impitan kemiskinan dan dapat ikut serta membantu upaya konservasi sumber daya alam.
Johan Iskandar
Jl Permai, Kompleks Cipadung Permai,
Kota Bandung 40614