Materai dan Keotentikan Pembuktian
Pemberlakuan UU Materai akan dirasakan bermanfaat oleh publik, apalagi jika pemerintah menerapkan kebijakan depositori dokumen publik sebagai sarana simpan dan penelusuran dokumen bermaterai.
Tanggal 1 Januari 2021 akan berlaku UU No 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai (UU Materai).
Terlepas dari sejarahnya di beberapa negara—bahwa konsep pajak dokumen (duty-stamp) merupakan warisan kolonial masa lalu—faktanya beberapa negara masih memberlakukan untuk optimalisasi peningkatan pendapatan negara, tak terkecuali Indonesia.
Ada kekhawatiran pengenaan pajak ini akan menambah beban ekonomi dan inefisiensi dalam ekonomi digital, kecuali jika ada manfaat/fungsi lain yang dapat diperoleh publik dari kebijakan itu, antara lain pencegahan pemalsuan dokumen dan/atau dukungan fungsi keotentikan dokumen untuk kepentingan pembuktian di belakang hari.
Terlepas dari pro dan kontra, dalam kondisi sekarang negara memang butuh penerimaan pajak yang boleh jadi keberadaan bea materai cukup esensial menambah penerimaan negara.
Baca juga: RUU Bea Materai Diundangkan Paling Cepat pada 2020
Perubahan UU Materai sendiri dimaksudkan untuk memberikan simplifikasi dalam penerapannya dan hanya berlaku satu kali untuk dokumen tertentu. Sayangnya, ini tak menutup kemungkinan perluasan lingkup keberlakuannya pada dokumen lain sebagaimana dinyatakan Pasal 3 Ayat (2) Huruf (h) yang akan ditentukan kemudian dalam peraturan pemerintah (PP).
Sebagai konsekuensi hukum atas pernyataan ”demi kebutuhan masyarakat” dalam konsideran ketiga, keberadaan dukungan sistem keotentikan adalah keharusan. Hal ini sesuai Pasal 2 dan Pasal 1 UU Materai bahwa materai adalah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lain yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan Pemerintah RI, yang digunakan untuk membayar pajak atas Dokumen (Pasal 1 (4)).
Maka, sudah selayaknya sistem permateraian harus menerapkan kaidah hukum keamanan informasi (confidentiality, integrity, availability, authorization, authenticity dan non-repudiation) menyediakan fungsi sarana pengamanan dokumen dalam proses pengotentikasian sebagai bukti di muka persidangan, baik secara kertas maupun elektronik.
Baca juga: Kebijakan Kriminal dan UU ITE
Dengan kata lain, sistem permateraian harus didukung sistem registrasi elektronik yang baik sehingga menjelaskan rantai keotentikan (chain of authenticity) sejak ia diterbitkan, dibeli, dan dilekatkan pada dokumen oleh penggunanya. Juga harus sejalan dengan syarat akuntabilitas penyelenggaraan sistem elektronik menurut Pasal 15 UU Informasi dan Transaksi Elektronik/ITE (andal, aman, bertanggung jawab).
Definisi Tanda Tangan menurut UU Meterai sejalan dengan definisi Tanda Tangan Elektronik (TTE), sebagaimana dinyatakan di Pasal 1 Angka (3) UU Meterai bahwa Tanda Tangan adalah tanda sebagai lambang nama sebagaimana lazim dipergunakan, termasuk paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan atau cap nama, atau tanda lain sebagai pengganti tanda tangan, atau tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud di UU ITE.
Keberadaan Kode Unik dan keterangan tertentu pada materai secara elektronik (Pasal 14) sesungguhnya juga merupakan TTE, yaitu informasi untuk melakukan verifikasi dan otentikasi secara elektronik (Pasal 1 UU ITE). Oleh karena itu, penyelenggara materai secara elektronik (e-meterai) harus dikategorikan sebagai penyelenggaraan TTE dan/atau Sertifikat Elektronik (SE).
Baca juga: Jumlah Kasus Kriminalisasi UU ITE Meningkat
Kesahihan catatan waktu saat pembubuhan tanda tangan terhadap dokumen (signing) sebagai bukti saat terutangnya materai harus dapat ditelusuri dengan baik oleh para pengguna dokumen, baik secara tersentral maupun terdistribusi.
Cukup dengan mengecek Kode Unik (nomor) Materai akan jadi jelas secara hukum (i) kapan dan lokasi penandatanganan dokumen, (ii) bagaimana ia dikirimkan secara aman kepada penerimanya, (iii) asal-usul dokumen berikut keutuhan/integritasnya, dan (iv) siapa yang menandatangani sehingga bisa jadi alat bukti sah dan tak tertampik di persidangan.
Manfaat bagi publik
Pemberlakuan UU Materai tentu akan dirasakan sangat bermanfaat oleh publik, apalagi jika pemerintah juga menerapkan kebijakan depositori dokumen publik sebagai sarana simpan dan penelusuran dokumen yang menggunakan meterai. Tak hanya untuk kepentingan penelusuran keotentikan dalam negeri, tetapi juga untuk dokumen lintas negara.
Hal ini akan sejalan dengan ketentuan UU Arsip yang berfokus pada keotentikan dan keterpercayaan karena setiap dokumen yang menggunakan materai sebagai pendapatan negara selayaknya juga dapat dikatakan sebagai arsip negara.
Baca juga: Menyoal Arsip di Era Digital
Penerapan UU Meterai secara elektronik, dengan sendirinya akan mencegah pemalsuan dokumen elektronik dalam transaksi elektronik dengan mempermudah akses penelurusan terhadap riwayat keautentikan dokumen itu sendiri. Bahkan jika digunakan secara lintas negara, e-materai bisa jadi pendukung legalisasi dokumen publik lintas negara sebagaimana diatur dalam Hague Convention 1961.
Sesuai perkembangan isu perdagangan dunia terakhir pada forum UNCITRAL, demi memfasilitasi e-dagang global, tengah dibahas model pengaturan untuk pengidentifikasian dan pengotentikasian secara elektronik (e-IDAS) yang secara yuridis terpengaruh perubahan dari European Directive on e-Signature menjadi Regulation 910/2014 on e-ID dan Trust Services.
Tak terkecuali Indonesia yang juga telah mengakomodasi sebagian isu itu dalam PP 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik sebagai layanan yang dapat dilakukan oleh penyelenggara SE.
Selayaknya e-meterai dikenal sebagai penyelenggaraan e-seal, tetapi akibat pendefinisian yang kurang tepat di PP No 71/2019 di mana segel elektronik diartikan sebagai penggunaan e-signature oleh korporasi, akibatnya keberadaan e-meterai yang seharusnya merupakan penyelenggaraan e-seal terpaksa harus diterapkan dengan konsep yang berbeda di Indonesia.
Demi efektivitas UU Meterai, diharapkan PP tentang e-meterai mempertimbangkan adanya dua kemungkinan model penerapan e-meterai oleh penyelenggara TTE/SE.
Pertama, penyelenggara TTE dapat membeli nomor meterai elektronik secara lunas di muka dan menggunakannya kemudian setelah proses digital signing selesai dan dokumen disetorkan ke public document repository pemerintah.
Kedua, penyelenggara TTE melaksanakan signing dan transaksi lebih dulu lalu kemudian melakukan pelaporan pelunasan permateraian. Mereka akan mengalkulasi dan melakukan pembayaran sesuai jenis dokumen yang memerlukan pengenaan materai.
Kedua model relatif mudah bisa dilakukan oleh para penyelenggara TTE/SE ketimbang suatu usaha baru yang menjalankan jasa permateraian secara elektronik. Dengan demikian penerapan e-meterai oleh penyelenggara TTE/SE adalah sinkronisasi dari penerapan UU Materai dengan UU ITE serta UU Kearsipan.
Edmon Makarim, Dekan Fakultas Hukum UI