Bagi laki-laki, pulang ke rumah hanya untuk beristirahat. Sementara bagi perempuan, rumah adalah segalanya: tempat berbagi suka-duka dan mendapatkan suasana kekeluargaan.
Oleh
Hadisudjono Sastrosatomo
·3 menit baca
Pentingnya data sahih sebagai dasar pengambilan suatu kebijakan adalah suatu keniscayaan. Maka, adanya perbedaan angka kematian terkait pandemi Covid-19 harus diatasi agar tidak menurunkan kredibilitas pihak yang seharusnya menjadi tolok ukur kebijakan.
Dalam suatu penerbitan dicontohkan adanya perbedaan data yang diperoleh sistem Bersatu Lawan Covid-19 (BLC) dengan pengumuman resmi pemerintah. Sebagai contoh adalah data kematian akibat Covid-19. Menurut BLC, data pada 3 Juli 2020 mencapai 13.885 jiwa dan yang diumumkan resmi 3.036 jiwa.
Kompas.id melaporkan bahwa dengan mengacu pada model epidemiologi, didapat angka yang berbeda mencolok dengan data resmi pemerintah. Angka resmi pemerintah ada 7.354 kasus baru, sementara perhitungan dengan model epidemiologi mencapai 88.904 kasus baru pada 17 Desember 2020. Kalau di Inggris kasus harian melonjak 24.000-an sekarang, maka pemodelan epidemiologi ini masuk akal. Penduduk Inggris 67 jutaan, penduduk Indonesia 268 jutaan.
Oleh karena itu, perlu penjelasan dari pihak pemerintah demi kredibilitas Indonesia karena BLC menggunakan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dalam alam keterbukaan informasi seperti sekarang, tidak ada lagi peluang untuk merekayasa informasi. Masyarakat pun makin cerdas untuk memilah, mana berita benar mana hoaks. Kredibilitas dipertaruhkan, yang akan tecermin dari perlakuan dunia terhadap warga negara Indonesia.
Semoga Kementerian Kesehatan di bawah komando menteri baru dapat bekerja sama lebih baik lagi dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 ataupun pelbagai lembaga lain untuk kemaslahatan bangsa.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jalan Pariaman, Pasar Manggis, Setiabudi, Jakarta Selatan, 12970
Makna Rumah
Beberapa bulan lalu saya membuat penelitian kecil tentang makna home (rumah) bagi keluarga Indonesia.
Karena ini bukan survei berbayar dan berorientasi kualitatif, saya hanya bisa mengedarkan pertanyaan kepada orang-orang yang saya kenal atau berada dalam komunitas di mana saya bergabung.
Responden berjumlah 30 orang. Pada pertanyaan apa arti ”rumah” (home) bagi Anda, ternyata hal pertama yang menarik adalah respons dari bapak-bapak sangat minim. Hanya sedikit yang secara terbuka memberi jawaban.
Mungkin mereka tidak memikirkan hal ini karena berpandangan bahwa lebih penting bisa menyediakan rumah seisinya bagi keluarga. Kalaupun ada yang merespons, sebagian terbesar jawaban mengacu pada aspek fisik (bangunan) dan ”tempat untuk pulang dan istirahat”. Hanya satu-dua yang menyebut kehidupan keluarga.
Berbeda dengan respons para ibu. Mereka memberikan jawaban panjang dan bervariasi, secara umum mengacu pada aspek psikososial dari rumah dengan mengetengahkan atmosfer psikologis tenang, damai, nyaman, bisa berbagi suka dan duka, juga kesempatan belajar-mengajar tentang arti hidup, nilai-nilai budaya, dan sebagainya. Mereka ”rindu” pulang setelah menjalani berbagai macam kegiatan. Home sweet home.
Data di Amerika Serikat juga lebih banyak perempuan yang memberi jawaban terhadap pertanyaan serupa. Pola jawaban serupa, walau ”menjadi diri sendiri” secara lebih tegas diutarakan dalam konteks ”kebebasan individual”.
Dari gambaran di atas terkesan kuat bahwa budaya maskulinitas-feminitas masih mendunia. Ada pemisahan jelas antara peran laki-laki dan perempuan, yang berimbas pada kehidupan sehari-hari.
Bagi laki-laki, pulang ke rumah hanya untuk beristirahat, sementara bagi perempuan, rumah adalah segalanya: tempat berbagi suka-duka dan mendapatkan suasana kekeluargaan.
Mungkin temuan ini bisa menjelaskan, mengapa di saat pandemi terlihat banyak laki-laki berada di luar rumah daripada di dalam rumah. Selain untuk menyambung hidup dan menafkahi keluarga, sebagian ternyata keluyuran.