Sebenarnya konsumen diuntungkan dengan harga dumping. Hanya saja, industri baja relatif padat modal dan dipersepsikan sebagai jati diri industri bangsa.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Industri baja turut mewarnai efek dahsyat pandemi Covid-19. Penurunan permintaan baja akibat kontraksi perekonomian menyemarakkan penjualan baja berharga dumping.
Ini sebutan bagi penjualan produk di bawah harga pasar. Isu dumping bukan hal baru dalam industri baja global. Sejak 2000, China yang memproduksi lebih dari 50 persen baja global jadi tertuduh utama. Terbaru, Vietnam, Malaysia, Uni Eropa, Kanada mengenakan tarif tambahan terhadap impor baja asal China, disebut countervailing duties, yang diizinkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Tarif ini bertujuan menetralkan serbuan baja impor berharga dumping.
Masalahnya, sekarang kisruh soal harga dumping baja sangat marak. Tuduhan tidak hanya tertuju pada China, tetapi juga meluas hingga ke Vietnam, Korea Selatan, Turki, Rusia, bahkan Indonesia. Hingga ada dugaan ekspor baja China memakai istilah reroute, diekspor lewat negara lain.
Inggris sempat menuduh impor baja dari China dan Indonesia berharga dumping. Untungnya, Pemerintah Inggris menghentikan penyelidikan terhadap Indonesia karena tak terbukti. Aturan WTO menyebutkan, pengenaan countervailing duties tak bisa dilakukan sembarangan dan harus lewat penyelidikan. Negara tertuduh bisa mengadu ke WTO jika dituduh sembarangan mengenakan harga dumping.
Akan tetapi, secara keseluruhan isu dumping masih marak. Ini dipicu penurunan global dalam produksi otomotif, permesinan, dan konstruksi. Berdasarkan informasi World Steel Association, sektor-sektor inilah yang paling banyak menggunakan baja dan sedang menurun dalam pemakaian baja. ”Efek pandemi mengencangkan proteksionisme,” kata Mireya Solis, Direktur Center for East Asia Policy Studies Brookings Institution, dalam The South China Morning Post edisi 11 September. Tuduhan dumping juga refleksi proteksionisme.
Data WTO juga turut menunjukkan anjloknya perdagangan global untuk sektor-sektor pengguna baja. Di luar perdagangan internasional, sektor konstruksi berbasis domestik sangat terpukul pandemi. Dari industri baja sepanjang 2020 muncul istilah malapetaka, seperti disebutkan Wakil Sekjen India Steel Association dalam The Economic Times, 24 Desember.
Ketua Komite Ekonomi Worldsteel Eng Saeed Ghumran Al Remeithi turut memakai istilah malapetaka akibat lesunya permintaan. ”Anggota kami terpukul hebat,” katanya.
Produksi baja mentah (crude steel) global pada 2019 sebesar 1.875.155 ton. Pada 2020 diperkirakan terjadi penurunan permintaan baja 6,4 persen. Untungnya, ekonomi pada 2021 diperkirakan bangkit sehingga bencana bisa sedikit teratasi dengan kenaikan permintaan 3,8 persen.
Sebenarnya konsumen diuntungkan dengan harga dumping. Hanya saja, industri baja relatif padat modal dan kadang dipersepsikan sebagai jati diri industri bangsa. Hal inilah yang membuat banyak negara sensitif terhadap praktik dumping dalam perdagangan baja global. Namun, kali ini masalahnya kembali lagi pada lockdown yang memang sangat dilematis.