Covid-19 dan Ekonomi Hijau
Sudah saatnya kita ikut berpikir dan berubah ke arah ekonomi hijau, merancag kehidupan di bumi secara baru sejak dari hulu. Kalau tidak, kita akan terus mengalami bunuh diri massal seperti kasus pandemi Covid-19 ini.
Kendati masih merupakan spekulasi tentang penyebab utama virus Covid-19, para ahli lingkungnan hidup berkeyakinan penyebab virus ini terkait erat dengan kehancuran ekosistem hutan dan pemanasan global.
Jauh sebelumnya, para ahli lingkungan hidup, termasuk Al Gore (An Inconvenient Truth), telah meramalkan bahwa krisis dan bencana lingkungan hidup global yang semakin parah belakangan ini merupakan ancaman serius terhadap kehidupan di bumi, termasuk kehidupan manusia.
Sudah diramalkan bahwa terutama karena kehancuran ekosistem hutan dan pemanasan global, tidak hanya berbagai penyakit lama akan bermutasi semakin kebal terhadap berbagai obat-obatan, tetapi lebih dari itu akan muncul berbagai penyakit baru yang semakin sulit dikendalikan (Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, 2010). Covid-19 kiranya merupakan salah satu di antara penyakit baru tersebut.
Covid-19 kiranya merupakan salah satu di antara penyakit baru tersebut.
Alam marah
Pandemi Covid-19 telah meluluhlantakkan kehidupan sosial, ekonomi dan politik dunia. Tidak ada negara kaya dan adikuasa yang mampu menghindar dari Covid-19 ini. Lalu apa pesan dari pandemi yang terjadi saat ini?
Pertama, peristiwa ini memberi kita pelajaran sangat berharga bahwa ketika alam sudah marah, karena terus dirusak demi kebutuhan (ekonomi) manusia, tidak ada negara yang bisa menghindar. Kemajuan ekonomi yang telah dicapai berantakan di hadapan kemarahan alam. Imperatifnya, alam dan lingkungan hidup jangan dianggap enteng dan diabaikan begitu saja. Alam tidak bisa disogok, alam tidak bisa diajak berdamai ketika sudah marah.
Kedua, sebagaimana sedang giat dilakukan para ahli di berbagai negara Barat, Covid-19 menyadarkan dunia untuk meninjau kembali model ekonomi kapitalistik dengan imperatif pertumbuhan tinggi, yang mengandalkan eksploitasi sumber daya alam sambil meninggalkan kehancuran ekosistem dan pemanasan global.
Ideologi kapitalisme big is better hanya akan membawa malapetaka dunia. Yang dibutuhkan dunia adalah small is beautiful, yang menyinkronkan kesejahteraan ekonomi yang secukupnya sekaligus merawat ekosistem yang ramah kehidupan, ramah lingkungan.
Salah satu model ekonomi ramah lingkungan tersebut adalah ekonomi hijau. Ada banyak komponen penting dari ekonomi hijau, tetapi empat komponen penting di antaranya adalah implementasi pendekatan produksi bersih dalam bisnis atau industri, produksi pangan lokal, dukungan pendanaan hijau (green atau sustainable finance), dan beralih ke energi terbarukan.
Produksi bersih
Salah satu pilar utama ekonomi hijau adalah implementasi pendekatan produksi bersih dalam industri atau bisnis. Intinya, sudah saatnya pendekatan the end of pipe treatment dalam seluruh proses produksi industri manufaktur ditinggalkan.
Pendekatan ini hanya menunggu di akhir proses produksi baru mengolah limbahnya. Akibatnya, limbah menumpuk, dibutuhkan investasi sangat besar untuk mengolahnya, dan karena itu lebih sering industri mencari jalan pintas membuang limbah ke media lingkungan. Akibatnya, justru merugikan bisnis dan merusak lingkungan.
Pendekatan ini hanya menunggu di akhir proses produksi baru mengolah limbahnya.
Sebaliknya, pendekatan produksi bersih justru telah memasukkan faktor pegelolaan lingkungan sejak dari proses perencanaan industri. Mulai dari: pemilihan lokasi pabrik, rancang bangun kostruksi pabrik, pemilihan bahan baku, teknologi proses produksi, pemanfaatan energi terbarukan, pengelolaan limbah dengan pola 3 R (reuse, reduce dan recycle) sepanjang rantai proses produksi untuk meniadakan atau mengurangi limbah dengan menjamin limbah akhir telah memenuhi baku mutu lingkungan.
Pendekatan ini juga sekarang ini sedang gencar dikembangkan dengan nama circular economy (ekonomi sirkuler). Fritjof Capra menyebutkannya sebagai eco-design dalam pengertian luas: rancang bangun ekologis mencakup keseluruhan siklus proses produksi untuk benar-benar ramah lingkungan, dengan prinsip dasar ”limbah adalah bahan baku” proses produksi (Sonny Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup, 2014).
Dalam ekonomi sirkuler atau eco-design-nya Capra, hampir tidak ada yang namanya sampah, limbah, waste. Dalam proses produksi konvensional, pola produksi yang baku adalah ”ambil, pakai, dan buang.”
Dalam sirkular ekonomi, justru hampir tidak ada yang dibuang karena seluruh proses produksi sudah dirancang sedemikian rupa agar (1) bahan bakunya menghasilkan limbah sekecil mungkin atau tidak ada limbah; (2) teknologinya hemat energi dan meninggalkan limbah sekecil mungkin; (3) lokasi pabrik tidak akan menimbulkan kerusakan ekosistem setempat baik karena lokasinya dekat dengan bahan baku maupun infrastrukturnya ramah lingkungan; (4) bangunan pabrik hemat energi dan ramah lingkungan; (5) menggunakan energi terbarukan; (6) sejak awal dibangun instalasi pengolahan limbah untuk dimanfaatkan kembali dan diproses sebelum dibuang ke media lingkungan; (7) bahan berbahaya dan beracun (dan limbahnya) dihindari atau dikurangi; (8) model bisnisnya sejak awal dirancang ramah lingkungan.
Pangan lokal dan energi terbarukan
Salah satu komponen penting lainnya dari ekonomi hijau adalah pangan lokal. Covid-19 menyadarkan semua negara bahwa kedaulatan pangan dengan pemenuhan kebutuhan pangan lokal oleh produksi pangan dari ekosistem setempat sudah merupakan sebuah keharusan.
Pangan lokal terutama menyediakan produksi pangan dari sumber daya setempat: lahan, sarana produksi, benih, tenaga kerja lokal, dan dengan menerapkan kearifan lokal yang telah turun temurun terbukti menjaga dan sesuai dengan ekosistem setempat. Jadi, pangan lokal akan menjamin lingkungan hidup yang lestari, terpenuhinya kebutuhan pangan setempat dengan gizi yang cukup, ekonomi lokal berkembang dengan baik, dan berarti juga kesejahteraan masyarakat setempat terjamin.
Impor pangan, selain melemahkan kedaulatan ekonomi dan kesejahteraan petani setempat, akan ikut memperparah pemanasan global karena trasportasi dan distribusi pangan dari luar—apalagi dengan energi fosil—menyumbang terhadap emisi karbon dioksida penyebab pemanasan global. Apalagi diproses dan dikemas dengan bahan kimia yang tidak sehat.
Selain pangan lokal, pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan sebagai salah satu penyumbang terbesar bagi penurunan emisi karbon dioksida, merupakan bagian integral dari ekonomi hijau. Terlalu lama, akibat Revolusi Industri, dunia dikotori oleh polusi energi fosil.
Sesuai dengan Kesepakatan Paris 2015, energi terbarukan perlu menjadi prioritas tingkat tinggi, baik dalam rangka pengembangan ekonomi hijau maupun dalam rangka mitigasi perubahan iklim. Ini pun penting dalam rangka menghindari dunia dan kehidupan di bumi dari berbagai bencana lingkungan hidup termasuk pandemi penyakit, seperti Covid-19.
Salah satu komponen penting lainnya dari ekonomi hijau adalah pangan lokal.
Untuk mendukung ekonomi hijau, perbankan perlu memprioritaskan penyaluran kredit bagi proyek dan model bisnis hijau, termasuk pangan lokal dan energi terbarukan.
Salah satu kendala utama pengembangan energi terbarukan adalah dukungan pendanaan. Padahal dukungan pendanaan adalah mutlak untuk memungkinkan energi terbarukan bisa bersaing dengan energi fosil yang kotor. Juga, sudah saatnya perbankan menghindari pemberian kredit kepada proyek dan model bisnis kotor, yang mengancam kehidupan di bumi.
Sudah saatnya kita ikut berpikir dan berubah ke arah ekonomi hijau bukan karena dipaksa oleh aturan (mandatory), melainkan karena kesadaran untuk secara sukarela (voluntary) merancang kehidupan di bumi secara baru sejak dari hulu: perubahan model ekonomi dan bisnis untuk mencegah bencana lingkungan, termasuk pandemi penyakit, seperti Covid-19. Kalau tidak, kita akan terus mengalami bunuh diri massal seperti kasus pandemi Covid-19 ini.
(A Sonny Keraf, Menteri Negara Lingkungan Hidup 1999-2001)