Ketika ekspresi kemerdekaan berpendapat di ruang publik menjadi sangat bebas. Bahkan, liar tanpa batas. Pada titik inilah ujaran peribahasa ”seperti kuda lepas dari pingitan” menemukan momentum perwujudannya di medsos.
Oleh
SUMBO TINARBUKO
·4 menit baca
Pada era budaya layar, konten medsos menjadi medium kemerdekaan berpendapat. Aktivitas komunikasi visual seperti itu dilindungi payung hak asasi manusia (HAM). Selebihnya, konten medsos secara merdeka diposisikan sebagai ajang mendulang sejumlah pendapatan.
Ketika ekspresi kemerdekaan berpendapat di ruang publik menjadi sangat bebas. Bahkan, liar tanpa batas. Pada titik inilah ujaran peribahasa ”seperti kuda lepas dari pingitan” menemukan momentum perwujudannya di medsos.
Keberadaan sebaran konten di medsos, jika ditilik dari kacamata budaya visual, sama sebangun dengan fenomena fatamorgana. Dari kejauhan ia terlihat seolah-olah ada. Namun, saat didekati, tampak tidak ada.
Hebatnya, medsos sanggup menghadirkan penampakan visual yang tidak tampak, lalu disulap seolah terlihat ada. Ia juga berhasil memosisikan dirinya bagaikan kembang api. Realitas visualnya tampak indah menawan. Namun, ketika sang api tidak dapat dikelola menjadi kesatuan utuh atas filosofi kembang api, fenomena kembang api akan membakar apa pun yang menyediakan dirinya untuk dibakar sekaligus dihanguskan sang kembang api.
Hebatnya, medsos sanggup menghadirkan penampakan visual yang tidak tampak lalu disulap seolah terlihat ada.
Konten bergaya Karmawibhangga
Konten medsos bergaya visual Karmawibhangga seperti dipahatkan di dinding Candi Borobudur menjadi buku panduan bagi produsen konten. Di dalamnya berisi, antara lain, pertunjukan nafsu jahat manusia, tindakan mengadu domba, warta bohong, kabar fitnah, ujaran nyinyir, dan siasat prank.
Ketika konten bergaya visual Karmawibhangga mendapatkan respons positif (berupa like, comment, dan share) dari konsumen konten pada titik itulah sang produsen konten menjadi raja di jagat maya. Sabda visual sang raja konten mampu menyihir konsumen konten sekaligus pengikutnya. Mitosnya, apa pun sabda visual dari sang raja konten, keberadaannya dianggap sebuah kebenaran hakiki.
Harus diakui, konten medsos bergaya visual Karmawibhangga menjadi realitas sosial kehidupan normal baru. Penanda visualnya, ia hadir tanpa beban, bahkan mengabaikan perasaan sungkan. Ciri visual lainnya, semakin jauh dikejar, ia semakin bebas. Bahkan, kebebasannya itu diejawantahkan lewat ekspresi pesan verbal-visual yang menerabas sifat tabu dan bersikap amoral.
Konten anggitan warganet bergaya visual Karmawibhangga dihadirkan dalam baluran konsep jurnalistik sewaktu. Konten itu kemudian dibagikan kepada siapa pun. Berkelindannya embusan konten medsos bergaya visual Karmawibhangga senantiasa mendapatkan tanggapan positif. Berujud jempol biru warganet. Keberadaannya bersanding mesra dengan beragam komentar. Ujungnya akan terjadi kegaduhan sosial setelah konten itu dibagikan secara terstruktur dan masif.
Contoh kasus terjerembabnya produsen konten medsos bergaya Karmawibhangga sudah menjadi jejak digital yang abadi dan tidak terhapuskan. Mereka berhasil diburu pihak berwajib. Kemudian dijebloskan ke dalam hotel prodeo berlantai dingin untuk mempertanggungjawabkan perilaku buruknya.
Penanda visualnya, ia hadir tanpa beban, bahkan mengabaikan perasaan sungkan.
Ideologi prosumer
Fenomena merdeka berpendapat dan berburu pendapatan sejatinya merupakan representasi pemikiran Alvin Toffler. Seorang futuris asal Amerika. Ia mengumandangkan pemikirannya berjuluk: prosumer. Merujuk risalah Wikipedia berjudul Prosumer. Ideologi prosumer dicatat sebagai aktivitas seseorang yang mengonsumsi sekaligus menghasilkan produk. ”Prosumer istilah di jagat bisnis era dotcom yang berarti produksi oleh konsumen,’’ tulis Wikipedia di lamannya.
Dalam perspektif budaya visual, ideologi prosumer yang berkembang di jagat konten medsos menjanjikan kesetaraan kasta antara produsen dan konsumen. Hal itu masih ditambahkan pihak medsos yang menyedekahkan fasilitas tombol post, like, comment, dan share.
Pada kondisi seperti ini, ideologi prosumer memberikan ruang terbuka suka-suka. Ketika Anda suka dengan tayangan produsen konten sang jempol dengan riang gembira menanggapinya dengan menekan tombol follow. Hal itu dilakukannya sebagai bukti perikatan sosial dengan sang produsen konten. Semakin banyak tombol follow diklik oleh follower, keberadaan sang produsen konten dengan taburan tayangan iklan di dindingnya semakin flamboyan.
Dengan demikian, semakin dahsyat gendam visual yang ditebarkan produsen konten bergaya visual Karmawibhangga hasilnya memberikan dampak finansial yang signifikan bagi produsen konten. Fakta sosialnya terlihat dari bermekarannya iklan produk barang dan jasa yang hinggap di sela tayangan konten bergaya visual Karmawibhangga.
Siapa diuntungkan? Tentu sang produsen konten bergaya visual Karmawibhangga. Pada peristiwa seperti ini, mereka akan mendapatkan segepok fulus sebagai pendapatan finansial yang sah untuk menebalkan dompetnya. Hal itu diperolehnya lewat konversi jumlah perolehan follower dan tayangan iklan di dinding kontennya.
Semakin banyak tombol follow diklik oleh follower, keberadaan sang produsen konten dengan taburan tayangan iklan di dindingnya semakin flamboyan.
Lalu, konsumen konten yang sudah bekerja keras memberikan dukungan like, comment, dan share mendapatkan apa? Secara finansial, mereka jelas tidak mendapatkan apa pun. Yang mereka peroleh hanyalah pesebaran peristiwa kabar bohong. Dampak psikologisnya, mereka tertimpa semburan energi negatif. Sebuah energi jahat yang berkelindan di lubuk hati dan pikirannya. Keberadaannya senantiasa membakar nadi emosi serta meledakkan urat amarah siapa pun tanpa dapat diredam.
Agar konsumen konten tidak dirugikan dalam peristiwa ini, mereka dibekali senjata pamungkas berwujud tombol unfollow. Ketika tombol itu ditekan oleh konsumen konten, maka habis perkara! Produsen konten akan ambruk ditinggalkan penontonnya alias konsumennya.
(Sumbo Tinarbuko, Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta)