Hari Santri perlu dijadikan momen untuk jihad mengembangkan peradaban yang humanistik sekaligus transendental untuk martabat serta kebahagiaan hakiki bangsa dan sesama.
Oleh
ABD A'LA
·4 menit baca
Hari Santri 22 Oktober 2020 diharapkan bermakna signifikan untuk umat, bangsa, dan NKRI. Saat Indonesia masuk ke era Revolusi Industri 4.0, dan akan memasuki usia 100 tahun, pesantren tentu perlu merumuskan kembali peran dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa dan mengawal NKRI.
Melalui reformulasi ini, pesantren diharapkan tetap jadi penyangga utama penyebaran Islam moderat, dan bersama unsur lain, bangsa dan negara mampu mengantarkan Indonesia sebagai negara yang benar-benar berdaulat dan bermartabat. Indonesia perlu diantar sebagai negara yang berperadaban unggul, setara dengan negara-negara maju, sekaligus menabur etik-moralitas luhur di jagat raya. Pesantren niscaya mengembangkan diri sebagai salah satu simpul peradaban Nusantara yang tidak hanya berkutat di bidang sosial-keagamaan, tetapi juga saintifik-teknologikal, bahkan industrial.
Modal sosial pesantren
Upaya peneguhan pesantren sebagai simpul peradaban Indonesia semacam itu bukan mengada-ada. Sejak awal kemunculannya, melalui institusi pendidikan Islam Indonesia (sering disebut tradisional, bahkan dituding konservatif) ini muncul tokoh ulama yang berperan dalam kebudayaan peradaban Islam di dunia internasional. Ini dapat dilacak dari jaringan dan peran tokoh ulama Nusantara di Timur Tengah sejak abad ke-17 dan masa-masa sesudahnya.
Upaya peneguhan pesantren sebagai simpul peradaban Indonesia semacam itu bukan mengada-ada.
Sederet ulama yang patut disebut, di antaranya, adalah Yusuf al-Maqassari (wafat 1699), Abdus Shomad al-Palimbani (wafat setelah 1789), Arsyad al-Banjari (1812), Syekh Nawawi al-Bantani (1897), dan Syekh Mahfudz Tremas (1920).
Mereka berasal dari pesantren, kemudian melanjutkan studi keagamaan di Haramain. Setelah itu mengajar dan menyebarkan keilmuannya di sana. Mereka memiliki posisi sentral dan peran signifikan dalam jejaring ulama internasional. Mengutip Bizawie (2016), ulama-ulama Nusantara di Mekkah ini telah meletakkan dasar bagi terciptanya jaringan ulama di Nusantara dan membentuk komunitas ulama yang kemudian membangun pesantren di Bumi Pertiwi.
Di antara tokoh komunitas ulama ini yang patut disebut adalah Syekh KH Soleh Darat, Semarang (wafat 1903); Syaikhona KH M Kholil, Bangkalan (1925); dan Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, Jombang (1947). Melalui mereka, pesantren di Nusantara berkembang cukup signifikan dalam penguatan ilmu Islam tradisional.
Pesantren jadi salah satu pusat kebudayaan-peradaban Islam di Indo-Melayu, yang dibangun—meminjam ungkapan Azra (1999)—berdasarkan perkembangan historis penting yang memiliki karakteristik kosmopolitanisme, apresiasi terhadap kekayaan material, kekuasaan, literasi, dan inklusivisme neosufisme. Karakteristik ini menjadikan kebudayaan-peradaban Islam pesantren mampu ditransformasikan ke dalam budaya dan kehidupan lokal sekaligus tetap menjaga nilai-nilai universal Islam.
Salah satu contoh konkret, penciptaan aksara Pegon: tulisan Arab bahasa Jawa. Menurut Bizawie, salah seorang tokoh yang sangat berjasa di sini adalah Syekh Sholeh Darat yang menuliskan sebagian besar karyanya dengan Arab Pegon. Melalui budaya literasi semacam ini, ajaran dan nilai Islam lebih mudah menyebar, dicerna, dan dipahami masyarakat luas.
Melalui budaya literasi semacam ini, ajaran dan nilai Islam lebih mudah menyebar, dicerna, dan dipahami masyarakat luas.
Peradaban Nusantara
Sejalan dengan itu, konsep politik Islam pesantren dikembangkan sesuai dengan alam Nusantara. Komunitas ulama pesantren menjadi jejaring antikolonial yang demikian kokoh. Islam pesantren adalah Islam antipenjajahan yang menolak setiap penjajahan dari siapa pun dan dalam bentuk apa pun. Maka, pesantren dari awal berdiri hingga kini jadi garda depan dalam menjaga NKRI.
Sejauh ini, keberadaan pesantren dalam pengembangan peradaban masih banyak berselancar di atas keilmuan Islam yang bersifat dasar; dari teologi, hukum Islam, akhlak/tasawuf, dan ilmu-ilmu pendukungnya. Ilmu-ilmu ini tentu sangat penting dalam perspektif Islam dan kehidupan. Pesantren niscaya untuk mengembangkan keilmuan ini agar dapat merespons seluk-beluk persoalan kontemporer dan menjadikan kehidupan lebih manusiawi dan bermoral.
Pesantren juga perlu menyiapkan diri berkembang sebagai simpul peradaban Islam Nusantara di bidang sains, teknologi, industri. Tentu bukan karena latah dan ikut-ikutan, tetapi untuk ikut menentukan arah kemajuan zaman agar tetap berdasar pada nilai-nilai etik-moralitas luhur dan humanisme universal.
Salah satu modal menuju ke sana, jumlah santri yang lumayan banyak yang sejak beberapa dekade terakhir kuliah di berbagai perguruan tinggi ternama di luar negeri. Tak sedikit mereka ambil studi bidang sains dan teknologi, mulai dari jenjang sarjana sampai program doktor.
Dengan modal SDM semacam ini, pesantren hendaknya berkomitmen menghadirkan peradaban Nusantara. Pengembangan manajemen profetik dan kerja sama dengan sejumlah pihak, antarpesantren, pemerintah, serta lembaga luar dan dalam negeri tentu merupakan aspek yang sama sekali tak bisa diabaikan. Kesamaan visi dan sejenisnya merupakan prasyarat mutlak kerja sama dengan pihak lain.
Dengan modal SDM semacam ini, pesantren hendaknya berkomitmen menghadirkan peradaban Nusantara.
Dengan kehadiran pesantren sebagai simpul peradaban Islam Nusantara, risalah Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam diharapkan dapat berwujud kokoh di NKRI dan dunia global. Pesantren sebagai salah satu simpul Islam moderat dapat menunjukkan keberadaan Islam yang kompatibel dengan kemajuan zaman melalui praksis nyata.
Hari Santri 2020 jangan hanya jadi sebatas peringatan Resolusi Jihad 1945. Lebih dari itu, Hari Santri perlu dijadikan momen untuk jihad mengembangkan peradaban yang humanistik sekaligus transendental untuk martabat serta kebahagiaan hakiki bangsa dan sesama.
Abd A’la, Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya, Abdi Pesantren Annuqayah Latee Sumenep.