Gerak Cepat Pengesahan RUU Cipta Kerja
Perlu menjadi perhatian serius, jika peraturan yang ”asal jadi” itu dipaksakan untuk berlaku akan kontraproduktif dan berpotensi tak dapat dilaksanakan karena bertabrakan dengan ketentuan yang ada.
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja telah selesai dibahas oleh panitia kerja dan sedang dirapikan oleh Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi agar dapat segera disahkan dalam waktu dekat. Menengok ke belakang, apakah pasal-pasal yang telah disetujui dalam panja itu dijamin bebas dari masalah?
Sebagaimana diketahui, kluster pendidikan dikeluarkan dari RUU pada 24 September 2020 karena desakan berbagai pihak dengan alasan obyektif rasional. Tak lama kemudian, menyusul pasal-pasal tentang pers yang dikeluarkan dari RUU pada 27 September 2020. Ketentuan tentang pendidikan dan pers dikembalikan dalam UU asalnya.
Bagaimana dengan substansi pertanahan, khususnya terkait dengan bank tanah (BT), hak pengelolaan (HPL), tempat tinggal untuk orang asing, serta hak atas tanah di ruang bawah tanah dan ruang udara di atas tanah?
Menengok ke belakang, apakah pasal-pasal yang telah disetujui dalam panja itu dijamin bebas dari masalah?
Permasalahan mendasar
Dalam pembahasan di panja, pasal-pasal yang disetujui—bahkan diupayakan diubah perumusannya—itu ternyata tetap menyisakan permasalahan mendasar. Tampaknya usulan substansi pertanahan dalam RUU, kecuali tentang pengadaan lahan, dilandasi oleh kekurangpahaman menangkap semangat amanat Presiden untuk menyederhanakan regulasi yang menghambat kemudahan berusaha.
Penyederhanaan itu bisa dilakukan dengan ”memangkas” peraturan atau mata rantai perizinan yang tumpang tindih, bahkan tak sejalan satu sama lain. Pemangkasan itu tentu tak diharapkan dilakukan asal-asalan, tetapi taat asas pada konsepsi, filosofi, dan asas-asas dalam UU asalnya. Jadi, merupakan kekeliruan jika yang diusulkan dalam RUU adalah substansi baru yang jelas bukan dimaksudkan untuk menyederhanakan, tetapi menambah ruwet permasalahan yang ada.
Baca juga: RUU Cipta Kerja dan Pertanahan
Terlebih lagi, substansi pertanahan di RUU ternyata copy paste substansi dalam RUU Pertanahan (RUUP), dengan tambahan rumusan yang justru menimbulkan persoalan lebih gawat. Merupakan tindakan kurang bertanggung jawab jika RUUP yang ditunda pembahasannya 23 September 2019 karena hal-hal krusial yang belum terselesaikan itu substansinya justru dipindahkan ke RUU.
Usulan tentang BT itu ternyata dilandasi pertimbangan praktis untuk melaksanakan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 bahwa pada 2019 sudah harus dibentuk BT sebagai alternatif pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Alih-alih menyiapkan konsepsi secara matang dan komprehensif, disusunlah rumusan terkait BT secara tergesa-gesa, apa adanya.
Yang diamanatkan RPJMN adalah keberadaan suatu lembaga yang menjalankan ”fungsi” bank tanah, antara lain menyediakan dan mengelola untuk sementara tanah-tanah yang dihimpun sebelum disalurkan untuk berbagai tujuan sesuai peraturan berlaku. Oleh karena itu, walau sudah disepakati di panja, masalah-masalah mendasar terkait BT (antara lain falsafah/tujuan, landasan hukum, prinsip/ asas, kelembagaan, asal tanah, tata kelola) tetap tak terjawab.
Alih-alih menyiapkan konsepsi secara matang dan komprehensif, disusunlah rumusan terkait BT secara tergesa-gesa, apa adanya.
Jika memang perlu lembaga baru yang berfungsi sebagai BT, bisa dibentuk badan layanan umum (BLU) di bawah Kementerian Keuangan untuk menghimpun tanah-tanah negara (aset) yang kemudian disalurkan untuk berbagai tujuan. Landasan hukum BLU jelas, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara jo PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU dan berbagai peraturan pelaksanaan.
Peraturan tentang HPL pun bermasalah (Maria Sumardjono, Kompas, 22/2 dan 6/6/2020), terutama terkait perombakan konsepsi tentang kedudukan dan fungsi HPL dalam Hukum Tanah Nasional. Rumusan bahwa hak guna usaha (HGU) dapat diberikan di atas tanah HPL itu menyesatkan karena bertentangan dengan konstruksi hukum tentang HPL dan prinsip-prinsip UU Pokok Agraria. Ketentuan bahwa hak atas tanah di atas HPL diberikan jangka waktu 90 tahun jelas bertentangan dengan Putusan MK No 21-22/PUU-V/ 2007.
Baca juga: 60 Tahun UUPA, Masih Relevankah?
Terkait ”hilangnya” rumusan jangka waktu 90 tahun, diganti dengan rumusan baru yang disetujui panja 24 September 2020 yang menyebutkan bahwa ”jangka waktu HGB di atas HPL dapat diberikan perpanjangan dan pembaruan hak apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai tujuan pemberian haknya” itu, tetap berpotensi diajukan ke MK.
Baca juga: Mendesakkan HGU 90 Tahun
Yang bertentangan dengan konstitusi adalah pemberian perpanjangan dan pembaruan hak sekaligus. Dalih yang menyatakan bahwa yang dibatalkan MK itu jangka waktu hak atas tanah di atas tanah negara adalah mengada-ada. Keputusan MK soal jangka waktu hak atas tanah, tak ada kaitan apakah hak atas tanah itu diberikan di atas tanah negara atau tanah HPL.
Sejatinya, untuk kemudahan investasi sudah diatur dalam PP No 40/1996 yang intinya menyatakan bahwa atas permohonan pemegang hak, dapat diberikan perpanjangan dan pembaruan hak sekaligus melalui surat keputusan (SK). Jadi hak atas tanahnya baru lahir dengan dicatatnya perpanjangan dan pembaruan hak itu dalam sertifikatnya (tak serta-merta dengan terbitnya SK).
Jadi hak atas tanahnya baru lahir dengan dicatatnya perpanjangan dan pembaruan hak itu dalam sertifikatnya (tak serta-merta dengan terbitnya SK).
Dalih bahwa negara tak kehilangan pengawasan dirumuskan dalam RUU sebagai berikut: ”Penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah di atas HPL, pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian sesuai ketentuan perundang-undangan”. Hal ini justru menimbulkan keanehan karena seolah-olah pemerintah selama ini tak melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah yang merupakan tugas dan fungsinya sehingga perlu dirumuskan secara khusus di RUU ini.
Terkait kemungkinan WNA mempunyai hak milik atas satuan rumah susun (rusun) yang tanah bersamanya berstatus hak guna bangunan (HGB) itu merupakan pemelintiran konsepsi tentang rusun yang berdiri di atas tanah hak, yang mengenal kepemilikan individual atas unit, sekaligus kepemilikan bersama atas tanah, bangunan, dan bagian. Beda halnya jika rusun berdiri di atas tanah sewa, kepemilikan bangunan tidak ada sangkut pautnya dengan kepemilikan tanahnya.
Kesimpulannya, karena penyelundupan substansi RUUP yang bermasalah ke dalam RUU itu kontradiktif dengan tujuan penyederhanaan, seyogianya susbtansi tentang BT, HPL, kepemilikan tempat tinggal untuk orang asing, dan pemberian hak atas tanah di ruang bawah tanah dan ruang udara di atas tanah, dikeluarkan dari RUU dan dikembalikan (masih dimuat) dalam RUUP yang termasuk prolegnas prioritas 2020-2021.
Yang seharusnya dilakukan
Penyederhanaan regulasi pertanahan dapat dilakukan dengan, misalnya, menyederhanakan regulasi terkait penataan ruang, termasuk regulasi untuk mendorong terbitnya rencana detail tata ruang (RDTR) di setiap kabupaten/kota. Penyederhanaan dapat juga dilakukan terkait dengan penetapan hak, peralihan dan pembebanannya, baik regulasi maupun SOP-nya.
Jika ada kemauan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional sangat berpotensi menyelenggarakan kegiatan yang berfungsi sebagai BT dengan menyinergikan seluruh direktorat jenderal, termasuk Pusat Data dan Teknologi Informasi Pendidikan dan Kebudayaan, agar selalu tersedia data yang akurat terkait tanah-tanah negara atau yang berpotensi jadi tanah negara.
Tanah negara yang dihimpun dari berbagai sumber itu (Maria Sumardjono, Kompas, 27/12/2019) kemudian didayagunakan untuk berbagai tujuan, misalnya untuk Reforma Agraria (mendukung Perpres No 86/2018), Program Strategis Nasional, Tanah Cadangan Umum Negara, dan untuk tujuan lain sesuai peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Kompleksitas Tanah Negara
Tak perlu menciptakan lembaga baru, tetapi di dalam lingkup Ditjen Pengadaan Tanah, dapat ditambah dengan fungsi pengelolaan dan pendayagunaan tanah-tanah negara. Fungsi ini justru melaksanakan amanat Pasal 2 Ayat (2) Huruf a UUPA terkait dengan persediaan tanah, peruntukan dan penggunaannya.
Penyusunan peraturan perundang-undangan itu tak hanya mensyaratkan kejelasan tujuan, tetapi harus dilandasi pemahaman yang utuh dan benar terkait konsepsi filosofi dan asas-asas/prinsip dasarnya. Jika diabaikan, peraturan yang ”asal jadi” itu jika dipaksakan untuk berlaku akan kontraproduktif dan berpotensi tak dapat dilaksanakan karena bertabrakan dengan ketentuan yang ada.
Maria SW Sumardjono, Guru Besar Fakultas Hukum UGM dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.