Urgensi Mata Pelajaran Sejarah
Jangan lupa bahwa sejarah memiliki peran ideologis, mewariskan sejarah bangsa untuk memperkuat ”nation and character building”, inilah karakteristik yang melekat pada mata pelajaran Sejarah Indonesia.
Belakangan ini kita dihebohkan oleh wacana atau rencana pereduksian atau penghapusan mata pelajaran Sejarah dari jenjang pendidikan menengah atas. Rencana itu terungkap dari draf Sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional yang diterbitkan Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tertanggal 25 Agustus 2020.
Pada bagian struktur kurikulum, khususnya jenjang SMA dan SMK, terdapat tiga masalah serius yang menjadi perhatian publik: (1) bergesernya posisi mata pelajaran Sejarah di jenjang SMA dari semula kelompok wajib menjadi kelompok pilihan di kelas XI dan XII; (2) mata pelajaran Sejarah di jenjang SMA direduksi menjadi bagian dari IPS di kelas X; (3) penghilangan mata pelajaran Sejarah di jenjang SMK.
Situasi ini kemudian memicu para guru Sejarah yang tergabung dalam Asosiasi Guru Sejarah Indonesia menginisiasi tuntutan dalam bentuk petisi daring, ditandatangani 26.000-an guru. Mengapa kita harus lantang menyuarakan aspirasi tentang posisi dan urgensi Sejarah sebagai mata pelajaran wajib yang harus diajarkan ke seluruh anak bangsa di semua tingkatan kelas (X, XI, XII) dan jenjang (SMA, SMK, MA, MAK)?
Belakangan ini kita dihebohkan oleh wacana atau rencana pereduksian atau penghapusan mata pelajaran Sejarah dari jenjang pendidikan menengah atas.
Problematika kebangsaan
Dewasa ini bangsa Indonesia (terutama generasi muda) sedang dilanda ”amnesia” sejarah. Globalisasi seolah melunturkan dan membawa pengaruh buruk bagi generasi muda. Sikap xenofobia, apatis, individualis, hedonis, materialis, dan maraknya intoleransi menjadi fenomena memprihatinkan. Generasi sekarang sepertinya lebih mengenal artis-artis dari Korea ketimbang pahlawan nasional di daerahnya masing-masing.
Sebagian dari elite kita dengan mudahnya mengucapkan sejarah sebatas alat pembenaran diri dan kelompoknya. Munculnya klaim kerajaan baru dalam bentuk Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire, dan sebagainya merupakan bukti betapa pemahaman sejarah masih minim dikuasai oleh masyarakat kita.
Baca juga : Sejarah untuk Mencerdaskan Bangsa
Tindakan sekelompok orang yang menggugat Pancasila dengan cara membentur-benturkannya dengan agama, budaya, ataupun ideologi lain, atau ingin mengubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi bentuk lain, semisal kerajaan, kekhalifahan, dan federasi, adalah tindakan atau pikiran ahistoris.
Selama ini orang selalu terpaku pada kajian-kajian ilmu alam sehingga banyak yang berpikir sekarang adalah masa kejayaan sains. Padahal, di tengah perkembangan Revolusi 5.0, kedudukan ilmu sosial juga patut diperhatikan. Jika ilmu eksak mampu menghasilkan penemuan alat-alat canggih, peran ilmu humaniora adalah membentuk manusia-manusia beradab dan memiliki nilai-nilai sosial tinggi agar penciptaan serta penggunaan alat digunakan untuk menunjang peradaban manusia.
Sejarah merupakan fondasi dari semua ilmu humaniora. Mempelajari sejarah sama artinya mempelajari kehidupan, terutama kehidupan manusia di tengah masyarakat dan zamannya. Sebuah bangsa akan menjadi kuat jika memiliki kesadaran sejarah, bagaimana sejarah itu berupaya membentuk bangsa Indonesia menjadi ”Bangsa-Wan”, bangsa yang berdaulat di atas tanah sendiri serta memiliki kemampuan menjalani realitas dan menyelesaikan berbagai tantangan yang dihadapi dengan becermin atau mengambil pelajaran dari masa lalu.
Mempelajari sejarah sama artinya mempelajari kehidupan, terutama kehidupan manusia di tengah masyarakat dan zamannya.
Dalil-dalil kebangsaan
Menghancurkan sebuah bangsa tak harus melalui pertempuran fisik, tetapi hilangkan ingatan mereka akan sejarahnya, masa kehancuran tinggal menunggu waktunya saja. Sartono Kartodirdjo, sejarawan yang memelopori penulisan sejarah dengan cara pandang Indonesia dengan pendekatan multidimensional, pernah mengungkapkan, bangsa yang tak mengenal sejarahnya dapat diibaratkan seorang individu yang kehilangan memorinya, ialah orang pikun atau sakit jiwa, di mana ia kehilangan identitas atau kepribadiannya.
Tentu kita tak ingin generasi muda jadi amnesia sejarah, lupa bahkan tidak tahu dari mana dirinya berasal, terkikis jati dirinya, serta gagal menjadi manusia yang berkarakter dan berbudaya.
Baca juga : Sejarah sebagai Alat Pembebasan
Dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno sempat mengemukakan pandangan mengenai sejarah bangsa dengan mengambil intisari pikiran dari Ernest Renan dan Otto Bauer tentang hasrat bersatu (le desir d’etre ensemble) dan persamaan nasib (aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charakter-gemeinschaft), yang diarahkan pada cita-cita, yaitu mendirikan negara (nationale staate).
Cita-cita ini dibangun dari inspirasi terhadap masa lalu, di mana di kesempatan yang sama, Soekarno mengungkap bahwa bangsa ini pernah dua kali mengalami nationale staate, yaitu zaman Sriwijaya dan Majapahit. Pidato Soekarno ini memang sarat dengan konsepsi, di mana ia mau menyadarkan kita bahwa bangsa Indonesia lahir bukan dari persamaan suku, budaya, ras, ataupun agama, melainkan fakta bahwa bangsa ini adalah bangsa yang majemuk, yang berangkat dari sejarah yang sama, untuk bisa terus menjaga dirinya dalam bingkai persatuan melalui sebuah kesadaran.
Baca juga : Bila Bangsa Melupakan Sejarah
Cita-cita mengenai persatuan bangsa sesungguhnya bukan sebatas konsepsi, apalagi imajinasi semu Soekarno. Faktanya, sejarah memberikan catatan bahwa pada 28 Oktober 1928 para pemuda dari sejumlah daerah berkumpul di Jakarta untuk menghasilkan sebuah konsensus, yaitu bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia; dan berbahasa satu, bahasa Indonesia.
Cita-cita mengenai persatuan bangsa sesungguhnya bukan sebatas konsepsi, apalagi imajinasi semu Soekarno.
Puncaknya adalah pada 17 Agustus 1945, ketika sekumpulan orang yang sudah merasa menjadi bagian dari bangsa Indonesia secara heroik mampu merebut kemerdekaan dari tangan Jepang untuk mendirikan sebuah negara berdaulat melalui pembacaan naskah proklamasi oleh Soekarno dan Hatta.
Selain bangsa dan cita-cita negara, jangan lupakan juga Pancasila sebagai philosofische grondslag yang menjadi dasar jiwa serta pikiran kita sebagai bangsa untuk mendirikan Indonesia yang kekal dan abadi. Pancasila sendiri dilahirkan melalui proses panjang, yang hanya bisa dijelaskan secara utuh melalui sejarah, mulai dari Pancasila yang sejak mula sudah hidup di bumi kebudayaan masyarakat Indonesia, berjalan selaras dengan nilai-nilai agama, sampai kemudian Soekarno memperkenalkan rumusan Pancasila secara formal melalui sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) 1 Juni 1945.
Rumusan ini mengalami perkembangan hingga menghasilkan naskah Piagam Jakarta 22 Juni 1945, sampai kemudian disepakati sebagai rumusan final oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 18 Agustus 1945. Masih banyak narasi masa lalu yang bisa kita angkat sebagai dasar pijakan untuk memperkuat identitas dan mempersatukan kita sebagai bangsa.
Pemahaman dan kesadaran mengenai keindonesiaan wajib diketahui segenap bangsa Indonesia. Pertanyaan dari mana kita berasal, bagaimana keadaan kita sekarang, dan ke depan mau berjalan ke arah mana adalah pertanyaan mendasar yang harus dijawab, menyangkut eksistensi kita sebagai bangsa atau bahkan manusia pada umumnya.
Keindonesiaan yang kita dapati sekarang tersimpan harapan agar dapat terwariskan dan jaga keberadaannya hingga masa yang akan datang. Karena sesungguhnya sejarah adalah imajinasi kebangsaan yang dibangun dari bacaan terhadap masa lalu, ia tampil sebagai referensi di kehidupan kekinian, sekaligus bahan proyeksi untuk berjalan menuju masa depan.
Pemahaman dan kesadaran mengenai keindonesiaan wajib diketahui segenap bangsa Indonesia.
Mata pelajaran Sejarah dalam kurikulum
Sejarah perkembangan mata pelajaran Sejarah di Indonesia berkaitan erat dengan perkembangan kurikulum. Perhatian dan cara pandang pemerintah dalam melihat sejarah ditentukan dinamika politik dan orientasi pembangunan nasional.
Periode 1945-1959, kebijakan pendidikan didominasi program yang berlandaskan semangat mencari identitas pendidikan nasional dan pembangunan kebudayaan. Ketika Kurikulum 1947 diluncurkan, sejarah diajarkan di jenjang SD kelas IV, V, dan VI. Di SMP, sejarah diajarkan bagian dari IPS. Di SMA, sejarah kembali diajarkan dalam bentuk mata pelajaran Sejarah. Pada Kurikulum 1954, Sejarah diajarkan di SMP dan SMA.
Baca juga : Mengevaluasi Pengajaran Sejarah
Periode 1959-1968, kebijakan pendidikan didominasi oleh pemikiran Soekarno tentang pembangunan manusia Indonesia masa depan, yang diterjemahkan dalam istilah Panca Wardhana: (1) cinta bangsa dan Tanah Air, moral, nasional/internasional, keagamaan; (2) perkembangan intelegensia; (3) emosional, artistik, keindahan lahir dan batin; (4) perkembangan kerajinan tangan; (5) perkembangan jasmani.
Pada Kurikulum 1964, sejarah ditempatkan sebagai bagian dari mata pelajaran Civic di SD. Di jenjang SMP dan SMA, sejarah dimasukkan sebagai mata pelajaran kelompok dasar: Sejarah Indonesia diajarkan di SMP, lalu di SMA Sejarah Indonesia dan Dunia. Pada Kurikulum 1968, sejarah ditempatkan sebagai bagian dari Pendidikan Kewarganegaraan.
Di SMP dan SMA, sejarah dikategorikan sebagai kelompok pembinaan pengetahuan dasar. Mata pelajaran Sejarah diajarkan di SMP. Di SMA kelas X diajarkan Sejarah Indonesia dan Sejarah Dunia, kelas XI dan XII diajarkan Sejarah Indonesia, Sejarah Dunia, dan Sejarah Kebudayaan.
Periode 1968-1998, kebijakan pendidikan ditujukan untuk menyebarluaskan pandangan Soeharto agar terbentuk manusia Pancasilais. Pada Kurikulum 1975, sejarah dimasukkan sebagai bagian dari IPS di SD dan SMP. Di SMA, sejarah dipelajari dan diposisikan ke dalam kelompok pendidikan akademis. Pada Kurikulum 1984, lahir mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) yang diajarkan mulai dari SD, SMP, sampai SMA. Substansi PSPB menyerupai Sejarah Indonesia. Sejarah ditempatkan sebagai bagian dari IPS di SD. Di SMP dan SMA diajarkan sebagai mata pelajaran.
Pada Kurikulum 1994, di jenjang SD dan SMP, sejarah dimasukkan sebagai bagian dari IPS. Lalu, di jenjang SMA diajarkan dalam bentuk mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum. Kemudian pada rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi, di jenjang SD sejarah kembali menjadi bagian dari IPS. Di SMP, diintegrasikan dalam Kewarganegaraan dan Sejarah serta Ilmu Sosial. Di SMA, sejarah berdiri sendiri sebagai mata pelajaran.
Periode 1998-2020, kebijakan pendidikan terlihat lebih dinamis, mengikuti siklus politik (pergantian presiden dan pergantian menteri). Hampir tak ada kebijakan ajek yang bisa dijadikan rujukan sampai hari ini. Pada Kurikulum 2006, di SD dan SMP, sejarah tetap jadi bagian dari IPS. Di SMA diajarkan berdiri sendiri.
Pada Kurikulum 2013, di SD dan SMP, sejarah ditempatkan sebagai bagian dari IPS. Lalu, di SMA/SMK/MA masuk kelompok wajib berupa mata pelajaran Sejarah Indonesia. Sejarah juga diposisikan dalam kelompok peminatan akademik berupa mata pelajaran Sejarah yang diajarkan khusus di peminatan IPS.
Melihat sejarah perkembangan kurikulum sejak 1947 sampai 2020, mata pelajaran Sejarah selalu dapat posisi yang penting dan porsi yang cukup, terutama di jenjang menengah atas.
Filsafat mata pelajaran Sejarah
Berbicara mengenai sejarah, maka kita dapat melihatnya melalui dua dimensi, dimensi ilmu dan dimensi pengajaran. Dimensi ilmu dibangun dari sebuah metodologi yang bertujuan mencari, menemukan, dan menyampaikan kebenaran secara apa adanya. Sementara dimensi pengajaran dibangun dari pertimbangan-pertimbangan, terutama berkaitan dengan nilai-nilai ideologis yang dianut sebuah negara.
Tampak terjadi persinggungan ketika sesuatu yang seharusnya disampaikan secara apa adanya justru tak tersampaikan karena pertimbangan tertentu. Situasi yang semula obyektif bergeser menjadi subyektif.
Mengingat masih terdapat beda pandangan antara kelompok sejarah sebagai ilmu (esensialisme) dan kelompok sejarah sebagai kebanggaan atas kegemilangan masa lalu (perrenialisme), maka bisa dimengerti ketika dalam struktur Kurikulum 2013 sejarah ditempatkan pada porsi masing-masing, ada sejarah Indonesia yang dibangun dari filsafat perrenialisme dan sejarah peminatan yang berpijak pada filsafat esensialisme.
Menyikapi draf Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional, tampak pemerintah ingin menempatkan sejarah dalam pandangan filsafat esensialis dengan memasukkannya di kelompok pilihan. Namun, jangan lupakan juga bahwa sejarah memiliki peran ideologis, mewariskan sejarah bangsa untuk memperkuat nation and character building, inilah karakteristik yang melekat pada mata pelajaran Sejarah Indonesia.
Pertanyaannya, apakah pemerintah tetap pada rencananya untuk menempatkan sejarah sebagai pilihan dengan dalih menggunakan landasan ilmu (esensialisme) ataukah pemerintah meninjau kembali posisi sejarah dalam draf itu untuk ditempatkan dalam kelompok wajib, mempertimbangkan problematika yang menimpa bangsa ini serta dalil-dalil kebangsaan yang menyertainya?
Sumardiansyah Perdana Kusuma
Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia