Mengapa Pertamina Rugi?
Kerugian Pertamina digiring menjadi komoditas politik. Padahal penurunan laba dipicu oleh guncangan yang bersumber kejatuhan harga minyak global, penurunan konsumsi domestik akibat Covid-19 dan fluktuasi kurs.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati bersama Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjawab pertanyaan wartawan seusai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (9/10/2019).
Jagat maya ramai dengan polemik seputar kerugian yang dialami perusahaan minyak dan gas negara, PT Pertamina (Persero) senilai Rp 11,13 triliun pada semester I-2020.
Kerugian Pertamina ini digiring menjadi komoditas politik untuk menyerang Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ahok katanya tak tangkas mengemban tugas mengontrol kinerja Pertamina. Tugas komisaris Pertamina memang mengevaluasi kinerja direksi dan proposal bisnis Pertamina.
Namun, dalam situasi Covid-19 yang meluas saat ini, kinerja direksi dan komisaris Pertamina tak bisa dianggap gagal. Setangguh apapun kinerja direksi dan komisaris mengolah bisnis hulu-hilir, di hadapan Covid-19 mereka tak berdaya. Strategi paling tepat adalah bertahan (survive) agar tak merugi terlalu dalam.
Covid-19 membuat dunia seakan berhenti berputar. Negara-negara terkunci dan melakukan kebijakan karantina untuk meminimalkan risiko. Di Indonesia, sebelum new normal, pemerintah telah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Strategi paling tepat adalah bertahan (survive) agar tak merugi terlalu dalam.
Aktivitas bisnis pun terhenti sejenak, mobilitas barang-jasa antar negara terhenti, transportasi darat, udara dan laut tak berjalan. Produksi perusahaan-perusahaan besar tak berjalan. Ini berpengaruh pada penurunan tingkat konsumsi dan permintaan (demand) minyak global. Sementara di sisi supply (persediaan) negara-negara penghasil minyak terus memompa produksi.
Arab Saudi, misalnya, pada bulan April memproduksi minyak 12 juta barrel per hari (bph). Sepanjang Maret-April 2020, rata-rata minyak negara-negara penghasil minyak yang dilempar ke pasar mencapai 20 juta bph. Ini menyebabkan harga minyak tertekan sangat dalam. Raksasa-raksasa minyak global yang selama ini menikmati untung dari tingginya harga minyak mengalami kerugian, tak terkecuali Pertamina. Kerugian Rp 11,13 triliun Pertamina sangatlah kecil, dibanding kerugian raksasa-raksasa minyak global.
Baca juga: Pemerintah Maklumi Kerugian Pertamina
Semester I-2020, menurut Forbes, raksasa migas Amerika Serikat, Exxon Mobil rugi 1,3 miliar dollar AS (setara Rp 19 triliun), British Petroleum/BP (Inggris) rugi 6,7 miliar dollar AS (setara Rp 98,1 triliun), Total E&P (Perancis) rugi 8,4 miliar dollar AS (setara Rp 123 triliun) dan Shell (Belanda ) mengalami kerugian terbesar mencapai 18,4 miliar dollar AS (setara Rp 270 triliun).
Hanya perusahaan migas Arab Saudi, Saudi Aramco, yang mencatatkan laba 6,6 miliar dollar AS (setara Rp 96,6 triliun). Itu karena Saudi Aramco telah sukses melakukan diversifikasi bisnis dengan mengakuisisi 70 persen saham SABIC, perusahaan petrokimia lokal. Petrokimia sendiri salah satu produk hilir industri migas, yang menjadi bahan baku beragam produk lainnya. Jadi, kerugian Pertamina bukan karena kinerja direksi atau komisaris buruk, tetapi karena kondisi abnormal akibat Covid-19.

PT Pertamina meninjau stok elpiji di pangkalan elpiji SPBU Muri, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Jateng, Rabu (26/8/2020).
"Triple Shock"
Penurunan laba Pertamina lebih dipicu oleh guncangan yang bersumber dari tiga hal, yakni kejatuhan harga minyak global, penurunan konsumsi domestik akibat Covid-19 dan fluktuasi kurs. Di hulu, Pertamina memiliki tugas mengeksplorasi lapangan-lapangan minyak, sebagaimana perusahaan-perusahaan minyak lainnya, seperti Exxon Mobil Cepu. Hingga 2020, produksi minyak Pertamina mencapai 400.000 barrel per hari (bph). Jatuhnya harga minyak global tentu berdampak sangat signifikan pada bisnis hulu Pertamina.
Publik di Tanah Air berharap dengan penurunan harga minyak global, Pertamina seharusnya bisa menurunkan harga BBM karena Indonesia adalah importir neto (net importir). Indonesia mengimpor BBM sebesar 700.000 barrel minyak per hari (barrel oil per day/BOPD). Dengan penurunan harga minyak global, Pertamina seharusnya bisa membeli banyak minyak di pasar global, sehingga menghemat banyak anggaran dan harga BBM sejenis Pertamax atau Pertalite di SPBU Pertamina bisa turun.
Namun, Pertamina tak bisa menurunkan harga BBM. Pada bulan April Pertamina memang berencana membeli 10 juta barrel minyak mentah dan 9,3 juta barrel gasoline. Namun, hal itu sulit dilakukan karena kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mengantisipasi Covid-19 membuat konsumsi tertekan. Permintaan bensin, solar, diesel dan avtur Pertamina turun, sehingga di sisi hilir ikut terdampak. Risikonya, Pertamina harus mencari strategi untuk bertahan (survival) agar neraca keuangan tak negatif.
Risikonya, Pertamina harus mencari strategi untuk bertahan (survival) agar neraca keuangan tak negatif.
Pertamina juga terikat kewajiban membeli minyak mentah dari Kontrak Kerja Sama Migas (KKS) untuk menjaga defisit neraca perdagangan. Pertamina tetap mengutamakan penyerapan minyak mentah dalam negeri yang didapat baik dari bagian pemerintah (government intake) dengan harga tinggi. Pada April, misalnya, pada saat harga minyak global jatuh ke angka 22 dollar AS, Pertamina harus membeli minyak dari KKKS seharga 24 dollar AS per barrel.
Baca juga: BUMN Harus Menjadi Solusi

Bendungan yang dibangun Pertamina di kawasan Hutan Lindung Sungai Wain di Kelurahan Karang Joang, Kecamatan Balikpapan, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat (30/8/2019). Hutan Lindung Sungai Wain seluas 11.000 hektar berfungsi sebagai daerah resapan air untuk pasokan air minum masyarakat Balikpapan dan pengolahan minyak Pertamina.
Tercatat sampai akhir Februari 2020, total minyak domestik yang diserap dan diolah Pertamina 669 juta barrel per hari atau sekitar 92 persen dari produksi minyak mentah nasional. Jika Pertamina memborong banyak minyak impor dari pasar global percuma juga karena tingkat konsumsi menurun dan tempat penampungan terbatas. Ini semua yang membuat Pertamina sulit menurunkan harga BBM di tengah pandemi.
Di bisnis hilir pun demikian. Penurunan permintaan (demand) dan konsumsi domestik akibat kebijakan PSBB membuat penjualan Pertamina ikut turun. Hal itu bisa terlihat dari penurunan permintaan konsumsi BBM secara nasional yang sampai Juni 2020 hanya sekitar 117.000 kiloliter per hari atau turun 13 persen. Padahal, pada periode yang sama tahun 2019, konsumsi nasional mencapai angka 135.000 kiloliter per hari. Bahkan pada saat PSBB, di beberapa kota besar terjadi penurunan permintaan 50-60 persen.
Penurunan permintaan (demand) dan konsumsi domestik akibat kebijakan PSBB membuat penjualan Pertamina ikut turun.
Penurunan permintaan menyebabkan penjualan tertekan, sehingga pendapatan dari kegiatan penjualan turun dibandingkan periode normal. Penjualan Pertamina turun 19,84 persen menjadi 20,48 miliar dollar AS. Padahal, periode yang sama 2019, Pertamina masih menikmati keuntungan dari penjualan sebesar 25,55 miliar dollar AS.
Dari sisi fluktuasi kurs, Pertamina tentu mengalami pukulan luar biasa. Persoalannya adalah, harga jual eceran produk minyak dan gas Pertamina menggunakan mata uang rupiah, sementara pencatatan laporan keuangan menggunakan dollar AS. Selain itu, pemerintah belum juga membayar utang kompensasi Rp 96 triliun dan subsidi Rp 13 triliun ke Pertamina. Ini berkontribusi sekitar 60 persen terhadap kerugian kurs Pertamina. (Baca: Laporan Keuangan Pertamina, 2020).
Triple shock yang dibawa Covid-19 inilah yang bisa menjelaskan mengapa Pertamina menderita kerugian.
Baca juga: Pertamina Antisipasi Kerugian Lebih Besar

Kilang minyak milik Pertamina di pinggir teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (30/1/2013). Kilang ini merupakan kilang tua yang dibangun tahun 1922.
Momentum pembenahan
Covid-19 menjadi momentum pembenahan bagi Pertamina melakukan reformasi internal. Juni 2020 lalu Menteri BUMN Erick Thohir melalui Rapat Umum Pemegang Saham telah mengangkat kembali Nicke Widyawati menjadi nakhoda (direktur utama/dirut) Pertamina.
Pertamina adalah tulang punggung negara untuk mengamankan energi nasional. Jika kinerja Pertamina jatuh, daya tahan energi nasional pun ikut jatuh. Pertamina menguasai bisnis hulu migas sampai hilir. Di hulu, Pertamina memiliki tugas memproduksi migas dan di hilir bertugas mengolah minyak mentah menjadi bensin, solar, diesel dan mendistribusi BBM ke seluruh Tanah Air. Maka, tanggung jawab menjadi dirut Pertamina berat.
Dirut Pertamina wajib memikirkan secara serius bagaimana mengamankan produksi minyak nasional. Faktanya sekarang ini, produksi minyak dan gas Pertamina turun. Padahal, Presiden Jokowi sudah memberikan hak kelola blok migas potensial, Blok Mahakam (Kalimantan Timur) dari Total E&P ke Pertamina tahun 2015.
Defisit neraca perdagangan akibat impor BBM juga menjadi faktor pemicu. Kegagalan membangun dan meremajakan kilang pengolahan, seperti peremajaan kilang Cilacap dan Kilang Balongan juga menjadi alasan mengapa defisit neraca perdagangan melebar.
Pertamina adalah tulang punggung negara untuk mengamankan energi nasional.
Presiden Jokowi sudah berulang-ulang berbicara ke publik bahwa pembangunan kilang penting untuk mengurangi impor migas yang membuat neraca perdagangan kita terpukul.

Nicke sedikit menjawab tantangan itu. Dibantu Komisaris Utama Basuki Tjahaja Purnama, Nicke sukses melanjutkan pembangunan kilang Tuban (Jawa Timur) bersama mitra Rusia, Rosneft Oil Company untuk memproduksi gasoline 14 juta liter per hari dan produksi diesel 16 juta liter per hari. Nicke juga telah memutuskan melanjutkan peremajaan kilang Cilacap untuk menghasilkan BBM sebesar 18.600 barrel per hari dan menekan impor Pertamax sebesar 600.000 barrel per bulan.
Selain memilih dirut, pemegang saham telah merombak jajaran dewan direksi (Board Of Director/BOD) menjadi hanya enam anggota BOD saja mulai dari Direktur Utama, Direktur Penunjang Bisnis, Direktur Keuangan, Direktur Sumber Daya Manusia, Direktur Logistik dan Direktur Strategi.
Secara struktural-organisasi, Pertamina itu perusahaan yang tidak sehat dan memiliki rantai birokrasi panjang. Selama ini, Pertamina memiliki 11 anggota BOD, mulai dari Direktur Utama, Direktur Operasional, Direktur Pengolahan, Direktur Sumber Daya Manusia, Direktur Logistik, Supply Chain dan Infrastruktur, Direktur Manajer Aset, Direktur Pemasaran, Direktur Hulu, Direktur Perencanaan Investasi. Ini semacam kesebelasan sepak bola.
Rantai birokrasi yang panjang biasanya mempersulit ekspansi bisnis Pertamina.
Di bawah BOD masih ada lagi rantai birokrasi yang cukup panjang. Masing-masing BOD memiliki empat Senior Vice President (SVP). Para SVP juga memiliki 2-4 Vice President dan manajer operasional. Tugas SVP sesuai dengan bidang masing-masing. Jika SVP hulu, dia bertugas mengolah bisnis hulu. Pejabat internal Pertamina yang berkarier cukup panjang memiliki karier maksimal sampai ke SVP. Jika dihitung dari keseluruhan karyawan Pertamina sebanyak 8.000 karyawan (2019), pejabat struktural mencapai 500-700 pejabat atau 7 persen dari total karyawan Pertamina dengan standar gaji global.

Mobil tangki yang membawa stok bbm sedang mengisi persediaan bbm ke tempat penyimpanan bbm di SPBU Coco Pertamina di Fatmawati, Jakarta, Selasa (14/1/2020).
Ini membuat rantai birokrasi menjadi sangat panjang di Pertamina. Untuk menuntaskan sebuah proyek hulu dan hilir, harus melewati birokrasi panjang. Ini menyebabkan keputusan menjadi sangat lamban, sementara negara membutuhkan produksi migas besar. Rantai birokrasi yang panjang biasanya mempersulit ekspansi bisnis Pertamina.
Dengan perombakan jajaran direksi, Pertamina diharapkan bisa melakukan transformasi budaya kerja agar lebih produktif, mampu mengemban tanggung jawab investasi di sektor hulu-hilir migas dan mampu berkompetisi dengan perusahaan sekelasnya, seperti Petronas (Malaysia).
Maka, dirut Pertamina harus benar-benar cekatan melakukan reformasi menyeluruh internal Pertamina. Reformasi ini perlu ditopang oleh komisaris utama yang berani.
Basuki Tjahaja Purnama sebagai wakil pemerintah di Pertamina perlu menyokong kerja direksi melakukan reformasi internal. Komisaris perlu membuat kerja direksi Pertamina lebih nyaman mengolah bisnis hulu-hilir. Komisaris perlu awas jika ada orang-orang internal bermain mata dengan mafia. Dengan cara itu, Pertamina memulai merintis tata kelola perusahaan yang profesional.

Stasiun Utama Pengumpulan PT Pertamina EP Asset 3 di Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Jumat (27/12/2019).
Untuk jangka panjang, Pertamina perlu menyelesaikan peremajaan Kilang Balongan, Kilang Dumai, Kilang Cilacap dan Kilang Tuban agar bisa mengolah minyak mentah menjadi BBM dan mengurangi impor.
Peremajaan kilang butuh dana besar. Untuk pengembangan Kilang Tuban (Jawa Timur) saja membutuhkan dana sebesar Rp 225 triliun untuk memproduksi 300.000 barrel per hari untuk diolah menjadi BBM sejenis gasoline, diesel, avtur (4 juta liter avtur per hari) dan petrokimia (4,25 juta ton per tahun). Pengerjaan kilang memang membutuhkan mitra bisnis asing yang memiliki cukup dana dan teknologi mumpuni.
Pengerjaan kilang memang membutuhkan mitra bisnis asing yang memiliki cukup dana dan teknologi mumpuni.
Jika Pertamina sudah membangun kilang, perlu memikirkan minyak mentahnya dari mana, karena produksi minyak nasional terus menurun. Ini memerlukan cadangan-cadangan minyak baru dan Pertamina bisa ekspansi mengakuisisi lapangan-lapangan minyak luar negeri agar memenuhi kebutuhan kapasitas kilang yang akan dibangun.

Ferdy Hasiman
Presiden Jokowi perlu memberikan hak kelola blok minyak potensial seperti Blok Rokan โyang akan habis masa kontraknya dari Chevron Pacific Indonesia โ ke Pertamina untuk mengamankan pasokan energi.
Sudah saatnya juga Pertamina melakukan diversifikasi bisnis dengan cara masuk menjadi pemain Petrokimia di Tanah Air.
Ferdy Hasiman, Peneliti Pada Alpha Research Database, Indonesia.