Darurat Pancasila
Kerusakan fondasi ideologis saat ini akibat pengingkaran terhadap nilai-nilai Pancasila dalam amendemen UUD 45 tahun 2002 dan menyusupnya nilai-nilai asing ke dalam bangunan ideologis negara-bangsa.
Hari-hari terakhir ini, pikiran dan energi anak bangsa terkuras habis dalam menghadapi aneka persoalan bangsa.
Belum pulih energi dalam perang melawan Covid-19 yang ujungnya masih gelap, kegaduhan terkait ideologi Pancasila kini kian menguras energi anak bangsa yang sudah menipis. Pancasila sebagai ideologi negara kembali menjadi isu panas karena upaya lembaga tertentu untuk menafsir ulang Pancasila berujung silang pendapat, pertentangan, dan kegaduhan. Disinformasi dan miskomunikasi abad media sosial-digital ikut memperburuk keadaan. Sementara gerakan masyarakat sipil menentang tafsir Pancasila sudah telanjur mengeras.
Dalam Seminar Forum Guru Besar ITB pada 28 Agustus 2020 tentang Pancasila dan masalah bangsa, dengan pembicara Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Jimly Asshiddiqie, dan saya sendiri, ada kesepakatan Pancasila tengah terancam eksistensinya, bahkan sejak era Reformasi. Amendemen UUD 45 tahun 2002—sebagai amanah reformasi—yang tak dikawal baik dan tanpa kajian mendalam—justru jadi akar keterbelahan dan kegaduhan bangsa. Kehidupan sosial-politik—yang dilandasi UUD 45 yang sudah cacat itu—dari hari ke hari kian keras, beringas, sangar, bengis, vulgar, kriminal, dan korup, jauh dari nilai Pancasila.
Ironisnya, semua nilai itu membentuk watak anak bangsa, minus jiwa kritis.
Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan, permusyawaratan, dan keadilan sebagai warisan Pancasila kini secara sistematis dilucuti dari sistem negara-bangsa, diganti nilai-nilai materialisme anti-Tuhan, keserakahan, ketakpedulian, individualisme, dan egoisme. Ironisnya, semua nilai itu membentuk watak anak bangsa, minus jiwa kritis.
Sungguh, begitu banyak komponen bangsa yang mengambil keuntungan ekonomi, sosial, dan politik dan menikmati ”zona nyaman” dalam model kehidupan a-Pancasilais itu. Gelimang material dan kepuasan hasrat berkuasa telah mengancam eksistensi Pancasila ke depan sebagai ideologi negara—inilah ”darurat Pancasila”.
Unisitas dalam pluralitas
Kegaduhan demi kegaduhan yang menerpa bangsa ini dari hari ke hari kian memekatkan perseteruan, permusuhan, dan konflik di antara anak-anak bangsa. Ia mendorong pada perpecahan, keterbelahan, dan disintegrasi bangsa. Apabila tidak ada upaya sistematis meredam konflik dan menghalangi keterbelahan, tak saja persatuan dan kesatuan bangsa yang terancam, tetapi juga eksistensi bangsa Indonesia sendiri.
Pemikiran dan gerakan untuk merajut ulang kebersamaan, persaudaraan, persatuan, dan kesatuan bangsa adalah tugas sangat penting ke depan. Persatuan dan kesatuan adalah warisan luhur Pancasila yang tak saja harus dirawat, tetapi juga direvitalisasi.
Baca juga : Refleksi 75 Tahun Pancasila
Para founding fathers telah mewariskan konsep ”persatuan” dan ”kesatuan” sebagai sebuah paket konseptual tak terpisahkan. Konsep ”persatuan” menunjuk ”kehadiran bersama” berbagai kelompok suku, ras, budaya, adat istiadat, dan keyakinan yang berbeda-beda dan plural, tetapi diwadahi satu wadah kebangsaan yang satu.
Di pihak lain, konsep ”kesatuan” menunjuk pada realitas yang dihasilkan dari persatuan, yaitu sebuah bangsa yang satu, bersifat tunggal, utuh, dan terintegrasi. Apabila persatuan menunjuk ”wadah”, kesatuan menunjuk ”isi wadah”. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika merepresentasikan persatuan dan kesatuan secara terintegrasi.
Baca juga : Muslim Puritan Pembela Pancasila
Terkait persatuan dan kesatuan, ada dua cara menghimpun unsur-unsur beragam dengan dua sifat berbeda. Pertama, ”kemen-satu-an” atau unitas (unity), yaitu prinsip menghimpun untuk menghasilkan sintesis tunggal dari yang beragam, apakah berupa esensi, prinsip, atau identitas.
Kedua, ”kemenyatuan” atau unisitas (unicity): menghimpun dalam satu wadah atau bingkai, tetapi membiarkan yang berbeda-beda hadir dalam identitasnya masing-masing, tanpa perlu disatukan oleh sebuah esensi, prinsip, atau sifat tunggal. Unsur-unsur berbeda membentuk unisitas, tanpa perlu identitas tunggal (Nancy 2000: 185). Bhinneka Tunggal Ika kombinasi cerdas antara konsep unitas dan unisitas.
Bhinneka Tunggal Ika kombinasi cerdas antara konsep unitas dan unisitas.
Apabila kita berbicara tentang bangsa sebagai ”wadah”, kita berbicara tentang unitas, yaitu kondisi ke-satu-an bangsa yang ditunjukkan melalui simbol-simbol kesatuan: lambang, bendera, dan simbol-simbol lain. Apabila kita berbicara tentang bangsa sebagai ”isi wadah”, kita berbicara tentang unisitas, yaitu sebuah himpunan unsur-unsur yang beraneka ragam, yang tak dapat diekspresikan melalui konsep tunggal apa pun.
Maka, ketika kita berbicara tentang identitas nasional, kita menunjuk pada ”puncak-puncak kebudayaan daerah”. Identitas nasional tak diungkapkan dalam modalitas tunggal, tetapi modalitas-modalitas beragam. Keragaman modalitas itu sendiri yang menjadi identitas—inilah unisitas (Deleuze, 1994: 36).
Baca juga : Pancasila Pembebas dari Dua Perang Dunia
Unisitas menuntut penghargaan akan pluralitas suku, ras, agama, dan budaya (Bhinneka) dalam semangat inklusivitas, sebagai jaminan terjaganya persatuan dan kesatuan bangsa (Tunggal Ika). Ironisnya, penghargaan akan pluralitas itu kini yang secara masif tergerus dari arsitektur kehidupan berbangsa, yang dicatut oleh semangat permusuhan dan jiwa eksklusivitas.
Amendemen UUD 45 tahun 2002—sebagai manifestasi legal reformasi—yang diharapkan menjadi tumpuan dalam menegakkan arsitektur bangsa di atas fondasi Pancasila, nyatanya menjadi prima causa perpecahan dan kegaduhan anak bangsa, khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Amendemen kelima
Dalam UUD 45 hasil amendemen 2002 setidaknya ada tiga ayat dalam satu pasal (Pasal 6A, Ayat 1-3) yang jadi sumber penggerusan nilai-nilai Pancasila. Ayat 1—yang mengatur pemilihan presiden dan wakil secara langsung oleh rakyat—secara vulgar mengingkari asas permusyawaratan/perwakilan, sebagai amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 45.
Ayat 2 yang mengatur kewenangan parpol dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil, di satu pihak telah mengebiri fungsi dan peran MPR, di pihak lain menggelembungkan fungsi dan peran partai dalam menentukan nasib negara-bangsa. Sementara Ayat 3 yang mengatur tentang presidential threshold telah menjadi pintu gerbang bagi merajalelanya kekuasaan oligarki.
Baca juga : Refleksi Pancasila dalam Keagamaan Kini
Ketiga ayat itu pula yang menanggung ”dosa” atas tumbuh suburnya nilai-nilai ”individualisme” dalam budaya politik, yang seiring waktu mencetak perilaku dan gerak-gerik vulgar aktor-aktor politik. Dunia politik kini akrab dengan istilah-istilah yang mengebiri jiwa permusyawaratan: pertarungan, mesin politik, tim sukses, elektabilitas, pooling, pencitraan, kawan/lawan, menang/kalah.
Semua itu melucuti habis istilah-istilah yang bertumpu pada nilai inti Pancasila, yaitu ”komunalitas”: ketuhanan, persatuan, kekeluargaan, musyawarah, muktamar, persaudaraan, nilai moral benar/salah. Kini, yang dirayakan adalah kemenangan, biar dengan cara salah, yang melakukan cara benar justru sering kalah—inilah darurat Pancasila.
Kini, yang dirayakan adalah kemenangan, biar dengan cara salah, yang melakukan cara benar justru sering kalah—inilah darurat Pancasila.
Selain itu, dalam perjalanan negara-bangsa, juga ada lima komponen bangsa yang berperan penting dalam lahirnya negara-bangsa, tetapi tak diberi fungsi dan peran memadai dalam kehidupan bernegara: kaum agamawan; cendekiawan; TNI dan bala tentara cadangan; raja, sultan, dan pemangku adat; dan kaum profesional. Para raja dan sultan—yang telah berkorban menyerahkan tanah dan wilayahnya untuk membangun negara-bangsa—hingga kini tak diberi fungsi dan peran signifikan dalam pembangunan negara-bangsa.
Begitu juga kaum cendekiawan, yang termarjinalkan dan suaranya tak pernah didengar, terpasung kecenderungan ”anti-intelektualisme” dalam kehidupan bernegara. Merawat arsitektur bangsa ke depan—yang terancam terkoyak dalam keterbelahan lebih dalam—tak dapat melalui perbaikan struktur permukaan karena yang rusak adalah fondasi ideologisnya.
Baca juga : Pancasila
Pemolesan tata kehidupan berbangsa dan bernegara secara parsial pada tingkat relasi sosial-politik keseharian tak akan memperbaiki kerusakan arsitektur negara-bangsa apabila kerusakan fondasi tak diperbaiki. Kerusakan fondasi ideologis itu adalah akibat pengingkaran terhadap nilai-nilai Pancasila dalam amendemen UUD 45 tahun 2002, dan menyusupnya nilai-nilai asing ke dalam bangunan ideologis negara-bangsa. Kerusakan fondasi ideologis menyebabkan goyahnya struktur arsitektur negara-bangsa, yang rapuh terhadap perpecahan dan disintegrasi.
Untuk itu, Seminar Forum Guru Besar ITB merekomendasikan lima langkah bagi perbaikan bangsa ke depan. Pertama, mengembalikan prinsip musyawarah sebagai nilai inti Pancasila, dengan menghapus sistem pemilihan langsung. Kedua, mengembalikan fungsi dan peran MPR sebagai lembaga tertinggi negara untuk tegaknya kembali prinsip musyawarah dan perwakilan. Ketiga, merasionalisasi fungsi dan wewenang parpol agar terbangun prinsip checks and balances.
Keempat, memberi fungsi dan peran proporsional pada kaum agamawan; cendekiawan; TNI dan bala tentara cadangan; raja, sultan, dan pemangku adat; dan kaum profesional dalam kehidupan bernegara. Kelima, melakukan amendemen ke-5 UUD 45 agar sesuai jiwa dan nilai luhur Pancasila. Hanya melalui langkah ini, bangsa ini bisa terbebas dari darurat Pancasila.
Yasraf A Piliang, Pemikir Sosial dan Kebudayaan ITB