Geregetan Jeihan dan Sapardi
Seperti Jeihan, Sapardi juga menyimpan rasa geregetan sebagai sastrawan dan pemikir kesenian.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F02%2Fkompas_tark_2498308_100_0.jpeg)
Sapardi Djoko Damono dan Jeihan Sukmantoro (28 September 2013)
Geregetan itu geram, bisa juga gemas banget, tatkala kita sudah jengkel sekali tentang suatu hal yang, menurut kita, disalahpahami orang dan telah kita ajukan berbagai argumen bahwa mereka semestinya mengoreksi pandangan mereka, namun kesalahpahaman itu tetap dijadikan pegangan. Inilah yang saya tangkap dari Jeihan Sukmantoro dan Sapardi Djoko Damono, dua sahabat yang sama-sama meraih nama besar di dunia seni.
Kala itu, 2015, saya cukup intensif kontak dengan Jeihan di galerinya, Jalan Padasuka, Bandung, sehubungan dengan program desain buku dan mengalami percakapan-percakapan panjang yang seakan tiada habisnya. Sang pelukis sudah menapak jenjang kemapanan, masa-masa menikmati kesuksesan tanpa ambisi yang hendak dikejar lagi.
Semua yang diimpikan seorang pelukis sudah dia raih. Nama besar yang identik dengan kemasyhuran, pengakuan dunia, penghargaan material serta kekayaan. Seperti yang dia tuturkan, dia duduk saja di studionya, sekelompok nyonya muda datang dari Jakarta minta dilukis. Dia siapkan kanvas, kuas, dan cat. Sret-sret-sret, lukisan potret yang khas Jeihan pun rampung. Harga dibayar. Mereka pulang. Lukisan akan dikirim ke alamat klien setelah catnya kering.
Sang pelukis sudah menapak jenjang kemapanan, masa-masa menikmati kesuksesan tanpa ambisi yang hendak dikejar lagi.
Dengan gaya menggelora yang khas dan berlimpah kata-kata, dia menandaskan berulang-ulang, dengan gemas dan geram sekali, pengertiannya terhadap mereka yang keliru menafsirkan makna seni komersial dan seni pasaran. Suatu karya yang jelek, sekalipun dibayar mahal, tetap saja itu karya yang jelek dan bukan karya seni. Sementara karya yang baik dengan nilai estetika tinggi menurut standar dan kriteria tertentu, sekalipun dikomersialisasi, tetap menempati posisinya dan memiliki gengsi sebagai karya seni. Komersialisme tidak menjatuhkan nilai estetikanya.
Jeihan menertawakan seniman dan pelukis yang terjebak idealisme yang salah kaprah. Karya belum mencapai standar nilai estetika tinggi alias belum jadi apa-apa, mereka sudah mengklaim penolakan terhadap selera pasar, ”ogah didikte pasar”, yang disalahpahami sebagai penolakan terhadap komersialisasi karya seni. Ia menegaskan bahwa komersialisasi berbeda pengertian dengan kepasrahan didikte pasar. Manakala pasar sudah menerima suatu karya seni, maka pasar bersedia membayar berapa pun harganya, tanpa mencemari hakikat nilai intrinsiknya.
Jeihan geregetan. Jeihan ngakak. Pada usia 77 kala itu dia menampakkan gairah dan kebugaran fisik. Wajahnya selalu berbinar. Studionya tetap dipenuhi sketsa dan kanvas-kanvas yang siap mewadahi lukisan baru. Di salah satu sudut lantai dua, ada karya seni instalasi atau patung figur Sapardi Djoko Damono, sahabat kentalnya. Bagian alat vitalnya, yang sempat membuat heboh publik, disarungi. Patung Sapardi dengan kelamin gede itu memang sempat membetot perhatian publik. Sang penyair juga ngakak menanggapi hasil keprigelan tangan sang maestro.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F02%2Fkompas_tark_2513636_59_0.jpeg)
Lima maestro dari kiri ke kanan, A Mustofa Bisri, Acep Zamzam Noor, Zawawi Imron, Sapardi Djoko Damono, dan Jeihan Sukmantoro, berbincang saat pembukaan pameran ”Lima Rukun” di Jeihan Studio Bandung, Sabtu, 28 September 2013.
Seperti Jeihan, Sapardi juga menyimpan rasa geregetan sebagai sastrawan dan pemikir kesenian. Dalam rentang waktu 27 tahun, bermula pada 1988 hingga awal 2015, ia geregetan atas satu hal, yaitu pola analisis sastra Indonesia oleh A Teeuw, khususnya pada buku Sastra dan Ilmu Sastra yang dijadikan buku teks di Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya) UI, dan mungkin juga di perguruan tinggi lain.
Tahunnya 1988. Saya ingat pagi itu Sapardi mengenakan jas hitam menutup kemeja putihnya. Kami duduk di sofa ruang Jurusan Sastra Indonesia. Saat diledek Harimurti Kridalaksana, ”Lho, tumben pakai jas?” ia bilang badannya sedang ”greges-greges”—menggigil akibat masuk angin.
Kala itu kami memperbincangkan metode strukturalisme dalam kajian karya sastra. Ia langsung menyebut nama Teeuw, sarjana Belanda yang sangat produktif melakukan kajian dan menulis tentang sastra Indonesia klasik dan modern. Dengan nada geregetan yang khas, keluarlah istilah itu: ”Ngawur”. Ungkapan yang satu ini, ketika dia perlukan, selalu diucapkan Sapardi dengan gestur kocak, tetapi ia sendiri sebetulnya sedang serius.
Dengan nada geregetan yang khas, keluarlah istilah itu: ”Ngawur.
”Ngawur itu A Teeuw. Mana mungkin melakukan pendekatan dan analisis terhadap karya sastra Indonesia dengan metode strukturalisme! Tradisi sastra kita tak cocok untuk dibedah dengan cara seperti itu tanpa dipisahkan dari lingkungannya.” Begitulah kira-kira argumennya.
Kala itu saya tidak sependapat. Maklum, sebagai mahasiswa saya sedang antusias pada teori-teori sastra Barat yang tidak terpisahkan dari tren filsafat Barat sejak Aristoteles hingga periode para filsuf Marxis dan kaum eksistensialis yang, dalam minat saya ketika itu, memuncak pada Umberto Eco dengan teori semiotika, ditambah dengan teori resepsi estetika yang sangat menarik.
Sanggahan saya terhadap Sapardi, jika diringkas kira-kira begini: ”Apa salahnya dengan metode? Itu, kan, hanya pilihan.” Bahkan, diam-diam, saya sempat menuduh dia hanya tak nyaman dengan kompleksitas filsafat Barat, termasuk cara mendekati karya seni dengan konsep-konsep filosofis, sebab dia hanya cenderung pada narasi dan deskripsi sederhana. Tuduhan ini sebenarnya ada di benak sebagian mahasiswanya, paling tidak di kalangan yang saya kenal kala itu. Tudingan yang kekanak-kanakan, tentu saja.
Seingat saya, dia ingin mengatakan bahwa dia tidak rela mahasiswa kita diracuni dengan contoh analisis yang ditunjukkan Teeuw atas karya sastra kita berdasarkan metode ilmiah Barat. Dengan pisau bedahnya karya sastra dicacah sesuka hati, atau ibarat seonggok obyek yang diasingkan dari hakikat dan asal-usulnya di bawah organon optik di meja preparat. Akibatnya, karya sastra malah tak bisa bicara kepada publiknya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F01%2Fkompas_tark_14241797_74_0.jpeg)
Sastrawan dan seniman Sapardi Djoko Damono bercerita tentang dunia sastra di Indonesia beserta kehidupan-kehidupan sastra kepada sejumlah mahasiswa dari sejumlah kampus di Bandung saat acara Lego Ergo Scio di Kotabaru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Sabtu (30/5/2015).
Sapardi sendiri mengajar mata kuliah Pengkajian Puisi, Sosiologi Sastra, dan Sastra Bandingan. Dari Sastra Bandingan dia kelak mengembangkan mata kuliah baru yang diajarkan di IKJ, yaitu Alih Wahana. Buku teks Alih Wahana membuktikan kepiawaiannya menaklukkan kompleksitas naratif dalam teori kritik ke dalam deskripsi yang sederhana, tetapi tetap menukik.
Bertahun-tahun lamanya apa yang digerutukan Sapardi tidak pernah lenyap dari benak saya. Ada juga pertanyaan, kenapa dia tak juga menulis buku untuk ”menggusur” Teeuw dari ruang kuliah Sastra Indonesia?
Pada 2015, saya bertemu dengan Sapardi di rumah Jeihan di Cigadung, Dago. Hari itu, 19 Februari, adalah hari lahir Asih, istri sang pelukis. Ada acara sederhana dengan mengundang beberapa teman. Pulangnya, saya menumpang mobil yang mengantarkan Sapardi—fasilitas dari IKJ. Di sepanjang Jalan Tol Cipularang-Jagorawi, Sapardi kembali mengkritik Teeuw. Keluar lagi ungkapan ”ngawur” yang jenaka setelah lama tak saya dengar. Panjangnya perjalanan senja itu membuat percakapan tentang ngawur itu punya cukup waktu untuk menggapai kedalaman.
Panjangnya perjalanan senja itu membuat percakapan tentang ngawur itu punya cukup waktu untuk menggapai kedalaman.
Kali ini tampaknya Sapardi lebih siap mengkritik Teeuw secara lebih sistematis. Seakan-akan di benaknya telah terbentuk semacam kubah pemikiran komprehensif mengenai topik ini. Mungkin karena adanya sistematika yang luas dan elaboratif itulah dia hanya menyebutkan ragangannya saja kepada saya, antara lain, tentang genesis dan kesadaran akan sejarah sastra Nusantara yang membentuk tradisi yang panjang. Juga, tentang teori kritik yang membumi. Dengan ”pengantar” ringkas tentang poin-poin tersebut, saya menangkap suatu konsep tentang metode kritik sastra Nusantara yang seharusnya dikoreksi.
Kali ini saya sependapat dengan tuduhan ngawur Sapardi. Apalagi, sebelumnya, saya sendiri sudah menangkap sisi lemah kajian sastra Teeuw. Analisis puisinya di dalam buku Tergantung pada Kata, salah satu bacaan wajib bagi para mahasiswa Sastra Indonesia, menurut saya, gagal memaknai imaji puisi kontemporer Indonesia. Tafsir budaya yang dia terapkan atas sajak-sajak para penyair Indonesia, pada sejumlah kasus, keliru dan menyesatkan, tapi dia nekat jalan terus.
Pengenalan Teeuw tentang kultur lokal yang melatari imaji para penyair kita tampaknya minim sehingga ketika memaksakan metode kritik ilmiah dari Barat, ia gagal total. Sarjana sastra klasik Nusantara dari Leiden ini rupanya terlalu asyik dengan buku-buku sastra sampai-sampai dia alpa mendalami antropologi dan etnologi Nusantara sebagai ilmu bantu yang vital.
Ganjalan batin yang membuat Sapardi geregetan selama puluhan tahun telah mewujud sebagai narasi yang terstruktur. Dia tinggal menyiapkan waktu dan konsentrasi untuk mengemas kubah abstrak itu jadi sebuah buku yang konkret.
Saat saya tanyakan kenapa tak disusun saja pemikirannya itu menjadi buku yang komprehensif, Sapardi mengelak. Saya kira sementara itu alasannya cukup jelas: keterbatasan waktu. Pada usia senja, masih aktif sebagai guru besar tetap di IKJ, dengan tubuhnya yang ringkih, Sapardi tetap bekerja keras mengisi hari-harinya.
Bukan hanya menulis, dia juga menerbitkan sendiri karya-karyanya, termasuk buku Tirani Demokrasi dan Slamet Rahardjo. Asistennya, Sulaiman, dengan tangkas mengurus ISBN di Perpustakaan Nasional, bolak-balik ke percetakan, mendistribusikan buku ke pasar, dan lain-lain. Hingga tersiar berita wafatnya sang penyair sekaligus profesor ini, tak saya dapati buku penting itu terwujud.
Seakan-akan dia biarkan rasa geregetan itu tetap terkurung dan meronta-ronta di relung batinnya dan dibawa ke alam kekal tanpa pernah dilepaskan kepada publik. (KURNIA JR, PUJANGGA)