Indonesia bisa dibilang menjadi ”andalan” negara-negara kecil dan miskin untuk bernegosiasi memperjuangkan akses terhadap vaksin yang sekarang menjadi rebutan beberapa negara besar.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
DOKUMENTASI KEMENTERIAN LUAR NEGERI RI
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi memimpin sidang Dewan Keamanan PBB melalui video konferensi dari Jakarta, 12 Agustus 2020.
Berakhirnya Perang Dingin tidak membuat prinsip diplomasi Indonesia, seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, kehilangan relevansi dan kredibilitas.
Meski dirumuskan para bapak bangsa (founding fathers) 75 tahun lalu, rumusan itu tetap relevan dengan perkembangan zaman. Prinsip diplomasi ”ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial” justru mendapat momentum ketika Perang Dingin berakhir, tetapi ketertiban dunia dan perdamaian yang diimpikan kian menjauh.
Seperti ditulis Kompas, Rabu (19/8/2020), kita tidak hidup di ruang kosong, tetapi berada di tengah dunia yang bergerak amat cepat dan dinamis. Ungkapan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi tepat bahwa kegigihan dan kemampuan adaptasi menjadi bekal utama para diplomat Indonesia dalam bernegosiasi di dunia internasional.
KEMLU RI
Deputi Wakil Tetap Indonesia untuk PBB di New York Muhsin Syihab mengangkat tangan dalam pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, 10 Januari 2020.
”Saya melihat, saat Indonesia mengajukan sesuatu, kenapa lebih mudah diterima, karena mereka tahu Indonesia tidak menyerang. Indonesia selalu berusaha menjadi jembatan dan menjadi bagian dari solusi. Indonesia memiliki rekam jejak diplomasi yang baik, yang tidak bisa dibuat dalam satu hari,” ujar Retno. Di bawah Retno Marsudi, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) fokus untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), melindungi warga negara Indonesia (WNI) dan badan hukum Indonesia di luar negeri, diplomasi ekonomi, serta kontribusi Indonesia bagi dunia internasional.
Dengan tingkat gradasi berbeda, keempat fokus ini dilaksanakan. Meski begitu, ada kritik bahwa di masa Presiden Joko Widodo, kebijakan luar negeri kita kurang bersemangat dan tidak memunculkan ide-ide strategis. Bahkan, dikatakan, belakangan ini minat Indonesia untuk menjadi pemimpin di regional dan global pun kian melemah.
Kritik semacam itu wajar, bergantung pada perspektif kita melihat dan memadukannya dengan kepentingan nasional yang harus diperjuangkan dan diraih. Kita melihat, di tengah pandemi Covid-19, semua kementerian, termasuk Kemenlu, juga ikut berupaya membantu penanganannya. Kemenlu telah memulangkan puluhan ribu WNI dan membuat pos-pos pengaduan yang tersebar di beberapa negara.
Indonesia selalu berusaha menjadi jembatan dan menjadi bagian dari solusi.
Di masa pandemi ini, Indonesia bisa dibilang menjadi ”andalan” negara-negara kecil dan miskin untuk bernegosiasi memperjuangkan akses terhadap vaksin yang sekarang menjadi rebutan beberapa negara besar di dunia. Bersama Ghana, Singapura, Norwegia, Liechtenstein, dan Swiss, Indonesia berhasil meloloskan resolusi Majelis Umum PBB bertajuk ”Solidaritas Global untuk Memerangi Covid-19”.
Memang, tetap perlu perbaikan untuk melihat postur politik luar negeri Indonesia yang sesuai zaman dan diinginkan bersama. Namun, arah yang diberikan Pembukaan UUD 1945 tetap relevan dan kredibel untuk menjadi pegangan, seperti telah dilaksanakan Kemenlu Indonesia yang tetap aktif berperan di berbagai forum dunia.