Sejumlah pahlawan tidak tercatat namanya dalam buku sejarah, dan beberapa di antara mereka gugur atau menderita justru di tangan bangsanya sendiri.
Oleh
Linda Christanty
·4 menit baca
Menjelang 17 Agustus tahun ini, kita meyakini pentingnya kemerdekaan di saat COVID-19 mengancam. Puncak perayaannya adalah upacara peringatan detik-detik proklamasi dan pengibaran sang saka merah putih di Istana Merdeka. Bukan hanya jasa pahlawan yang dikenang, juga pengorbanan pejuang dan rakyat.
Namun, siapa pun yang tak kenal lelah menelusuri fakta sejarah mengetahui bahwa sebagian jasad, tulang ataupun debu yang bersemayam di taman makam pahlawan itu seharusnya tidak di sana. Sejumlah pahlawan tidak tercatat namanya dalam buku sejarah, dan beberapa di antara mereka gugur atau menderita justru di tangan bangsanya sendiri.
Di masa bergolak itu kita kehilangan Amir Hamzah, penyair terkemuka dan pejuang kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia selesai diproklamasikan, negara baru ini menghadapi tantangan berat. Penjajah Belanda kembali dengan dukungan pasukan Sekutu yang melucuti tentara Jepang, sedangkan operasi-operasi pembalasan terhadap kolaborator penjajah berlangsung penuh kekerasan.
Di masa bergolak itu kita kehilangan Amir Hamzah, penyair terkemuka dan pejuang kemerdekaan. Ia juga pejuang Bahasa Indonesia, memelopori penggunaannya dalam sastra dan memperkaya khasanahnya.
Kematian Amir sering dianggap sebagai dampak revolusi. Ia pangeran Kesultanan Langkat dan kekuatan feodal waktu itu dinilai sebagai sekutu penjajah, yang turut menindas rakyat. Amir dieksekusi guru silatnya di masa kecil dan pekerja kebun istana kesultanan. Perbedaan kelas menempatkan ia dan sang algojo saling berhadapan, yang satu tuan dan yang lain pelayan.
Ironisnya Amir pun korban feodalisme. Ia dipaksa menikahi putri sulung pamannya Sultan Langkat Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah, sedangkan ia mencintai seorang perempuan Jawa, yang juga lahir dari keluarga feodal, yang menentang hubungan mereka.
Sejarawan M.C. Ricklefs menulis latar peristiwa itu dalam bukunya A History of Modern Indonesia since c.1200. “Ratusan bangsawan yang dianggap kolaborator Jepang dan Belanda dibantai, termasuk penyair Amir Hamzah,” tulisnya.
Faktanya, tidak semua kekuatan feodal mendukung kekuatan kolonial. Sultan Hamengku Buwono IX, Paku Alam VIII, dan Sultan Siak Syarif Kasim II menyatakan wilayahnya adalah wilayah Republik Indonesia. Raja Badung di Bali juga memihak republik.
Raja Bone terakhir, Andi Mappanyukki Karaengta Ma’ Gauka Datu Silaja Tumenanga Ri Jongayya Sultan Ibrahim pun pendukung setia republik ini di Sulawesi. Sebelum kemerdekaan, ia dibuang Belanda ke Pulau Selayar, dekat Laut Masalembo. Pascaproklamasi ia dibuang dan dipenjarakan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di Rantepao, Tanah Toraja. Putranya, Andi Abdullah Bau Masseppe Datu Suppa, dibunuh Westerling.
Naskah memoar Bachtiar Siagian menjadi satu-satunya sumber yang mengungkap detail dan kronologi yang terkait dengan nasib Amir. Bachtiar adalah sutradara teater dan film, juga pejuang kemerdekaan. Meski memoarnya belum terbit sampai hari ini, sejumlah orang dan media memperoleh salinannya bertahun lalu.
Pada Februari 1946, Bachtiar yang menjabat Sekretaris Umum Persatuan Perjuangan (Volksfront) Kabupaten Langkat dan wakil Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) bersama beberapa pengurus Volksfront, termasuk H. Abdul Wahab dari Masyumi, Alaudin Samah dari Partai Nasional Indonesia, dan Yusuf Malik—adik Adam Malik, menemui Amir, yang menjabat Asisten Residen Langkat dalam pemerintahan Republik Indonesia.
Djamil tidak melaksanakan tugas itu. Ia ternyata agen dinas rahasia Belanda.
Sesama kaum Republiken ini membahas usul Volksfront kepada Sultan Langkat agar ia mematuhi Undang Undang Dasar Republik Indonesia dengan membentuk sebuah Badan Perwakilan Rakyat dan mendampingi Pemerintah (Indonesia) melaksanakan pemerintahan. Amir menyampaikan usul tersebut kepada mertuanya, yang menugaskan sekretaris kesultanan, O.K. Djamil, untuk bertemu dengan wakil-wakil rakyat.
Djamil tidak melaksanakan tugas itu. Ia ternyata agen dinas rahasia Belanda. Sultan dianggap menentang usul Volksfront. Markas utama Volksfront yang dipimpin ketua umumnya merangkap Ketua Umum Pesindo Kabupaten Langkat, Usman Parinduri, memutuskan tidak mengakui seluruh kesultanan di Sumatera Timur. Istana Sultan Langkat diserbu pada 3 Maret 1946.
Bachtiar terkejut mengetahui kabar itu. Ia segera mencari Amir dan membawanya untuk dilindungi di markas laskar Kebun Lada, di Binjai Utara. Usman malah menyekap dan memperkosa putri Sultan Langkat. Bachtiar melaporkan perbuatan Usman kepada sejumlah pengurus Volksfront, yang memutuskan menangkap ketua umum mereka sendiri, karena dianggap menodai revolusi dan menjatuhinya hukuman mati. Penangkapan Usman memicu kemarahan laskar pendukungnya dan berimbas pada situasi di markas Kebun Lada, yang berujung pada pembunuhan Amir.
Memerkosa atas nama revolusi sungguh keji. Tiada bedanya dengan perilaku tentara Jepang yang memperkosa dan menjadikan budak seks (jugun ianfu) ratusan ribu perempuan Indonesia. Pemerkosaan dan perbudakan ini terjadi di seluruh wilayah pendudukan Jepang di Asia Tenggara (Malaysia, Filipina, Burma, dan Thailand), Indochina (Vietnam dan Laos), Manchuria, China dan Formosa (sekarang Taiwan). Korban terbesar di Korea. Jutaan jumlahnya. Setiap tanggal 14 Agustus, Hari Jugun Ianfu Internasional diperingati.
Nasib Bachtiar sendiri tragis. Pada 1965, ia dituduh terlibat G30S. Karya-karyanya yang cemerlang dan banyak dipuji dimusnahkan tentara. Ia dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan lalu dibuang ke Pulau Buru. Setelah bebas, ia melanjutkan membuat film dengan nama samaran untuk bertahan hidup di masa Orde Baru.
Empat belas tahun sesudah kematiannya, pada 2016, Bachtiar menerima Anugerah Kebudayaan untuk Kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Pada 1975, Amir diberi gelar pahlawan nasional. Sebuah masjid dibangun di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, untuk mengenang jasanya di dunia sastra dan dinamai Masjid Amir Hamzah.