Menyiapkan Obituarium Diri Sendiri, Mengapa Tidak?
Kita dapat menulis obituarium tentang diri sendiri selagi hidup. Sebab, hanya kita yang paling tahu diri kita. Tulisan obituarium dari kita dapat menjadi tulisan yang lengkap sejak kecil sampai jelang kematian.

Mohammad Nasir, wartawan Kompas 1989-2018
Bagi kita, menyiapkan obituarium untuk diri sendiri mungkin masih tergolong aneh. Alasannya karena kematian itu bukan manusia yang merancang dan menentukan. Namun, apa bedanya dengan menyiapkan kuburan untuk diri sendiri beserta keluarga, memilih lokasi yang berpanorama pemandangan pepohonan pilihan yang rindang, rumput hijau bak gelaran permadani, dengan lanskap yang menyenangkan, dan tidak semua jenazah bisa diusung ke sana karena syarat dan ketentuan berlaku. Tidak ada yang salah menyiapkan segalanya untuk kematian diri sendiri, termasuk merancang tulisan obituarium diri sendiri yang berguna sebagai kenangan tertulis yang mengesankan.
Menyiapkan kuburan sendiri sekarang menjadi biasa-biasa saja. Bahkan, di pemakaman umum Sirna Raga, di Bandung, Jawa Barat, yang disiapkan bukan hanya tanah makam, melainkan juga liang lahat untuk suami-istri, berdampingan. Persoalan kemudian ada yang ingkar tidak mau dikubur di sebelahnya, itu urusan lain. Namun, liang lahat itu sudah mereka siapkan ketika dalam keharmonisan.
Banyak orang mengibaratkan hidup ini bagaikan setetes embun yang menempel di daun pada pagi hari. Begitu matahari beranjak naik, setetes embun bening itu sudah tidak tampak. Obituari yang pendek diharapkan dapat memperpanjang kenangan, bukan sesaat seperti embun, sebagai sejarah singkat tentang kita yang masih bisa dibaca selama catatan obituarium itu masih ada.
Banyak hal yang bisa kita siapkan untuk menulis obituarium karena mayoritas hidup ini sudah kita lalui. Hidup itu sendiri adalah karya besar tersendiri, setidaknya bagi diri sendiri. Tinggal informasi tentang kematian saja yang pastinya belum jelas.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2F649fd716-7d5c-4e24-a774-0bf086c38e0b_jpg.jpg)
Siswa-siswi SDN Joglo, Solo, Jawa Tengah, membuat pesawat dari kertas lipat sebagai bentuk penghormatan terakhir untuk Bacharuddin Jusuf Habibie di halaman SDN Joglo, Kamis (12/9/2019) .
Menyiapkan obituarium diri sendiri rasanya jauh lebih mudah daripada menyiapkan lahan kubur karena tidak ada dana khusus yang harus disiapkan, kecuali menyiapkan perasaan yang ”agak sedih”. Sedih karena mengandaikan diri kita sudah meninggalkan keluarga, kerabat, kawan-kawan dekat yang selama ini yang selama ini saling memberi arti.
Mari kita ringankan tangan untuk menulis obituarium diri sendiri, seperti menulis komentar di grup Whatsapp, Facebook, Instagram, dan aplikasi media sosial lainnya, mumpung banyak waktu luang di masa pandemi Covid-19 tahun 2020, yang mengakibatkan banyak orang meninggal, dan belum diketahui kapan penyebaran virus tersebut berakhir. Mari kita mulai menulis obituari, sekalian merefleksikan perjalanan hidup, mumpung masih ada waktu untuk mengatur dan memilih arah.
Mungkin ada pertanyaan, dengan menulis obituarium sendiri, apakah kita tidak percaya kepada teman-teman yang akan menuliskannya jika kelak kita sampai pada ujung perjalanan hidup? Pertanyaan berikutnya, apakah kawan-kawan kita akan sempat dan mau menuliskan obituarium tentang diri kita? Bukankah itu pekerjaan yang sulit buat kawan-kawan karena mereka tidak paham betul tentang kita?
Apakah tidak merepotkan? Tentu saja pertanyaan yang tidak kalah penting adalah sepenting apakah diri kita bagi orang lain sampai orang lain harus peduli membuat obituarium untuk kita? Pertanyaan itu tidak akan dijawab dalam tulisan ini. Jawablah sendiri, karena diri masing-masing yang lebih tahu.
Sepenting apakah obituarium untuk kita? Tergantung yang bersangkutan dan yang berkepentingan. Obituarium berfungsi juga sebagai pengumuman kematian supaya semua orang yang selama ini berhubungan dengan mendiang mengetahuinya. Seperti yang disebut di atas, obituarium selain menjadi catatan singkat yang menunjukkan bahwa kita pernah ada, juga membuat rasa bangga pihak keluarga, kerabat, dan teman-teman terhadap mendiang yang hidupnya memang patut dibanggakan. Di era digital, obituarium menjadi catatan sejarah yang tersimpan dalam bentuk digital di berbagai aplikasi media sosial dan media pers cetak dan daring kalau dimuat di media pers. Bagaimana kalau ditulis jelek oleh orang lain dalam obituarium?

Sapardi Djoko Damono, penyair penting Indonesia yang belum lama ini meninggal.
Jangan merasa takut, kita bukan tokoh penjahat, kita bukan seperti Adolf Hitler, pemimpin Partai Nazi di Jerman yang kekejamannya ditulis banyak orang tanpa merasa takut digugat oleh keluarganya. Di Indonesia sudah mentradisi kalau menulis tentang orang meninggal hanya diambil dari sisi yang baik-baik. Sisi gelapnya abaikan dulu. Kita menulis obituarium diri sendiri bukan karena takut ditulis kejelekan oleh orang lain, bukan juga karena dalam dunia penulisan obituarium disarankan menampilkan keseimbangan fakta kebaikan dan kekurangan orang yang ditulis.
Penulis obituarium biasanya pandai mengemas kata-kata. Keseimbangan dalam menuangkan fakta dengan ukuran tertentu sehingga tidak membuat keluarganya marah atau menggugat lewat jalur hukum dengan tuduhan pencemaran nama baik. Dengan niat baik sebagai penulis obituarium, tidak akan melukai hati keluarga mendiang, kecuali penulisnya berniat jahat dan memosisikan mendiang sebagai musuh. Itu jarang sekali terjadi, kecuali ”obituarium” kematian penjahat sadis kelas kakap yang sudah diakui kejahatannya oleh masyarakat luas.
Dalam menulis obituarium diri sendiri sudah pasti kita bisa mengontrol ceritanya, mau dibuat seperti apa, itu di dalam kontrol kita sendiri. Mana yang mau dibuka untuk masyarakat, dan mana yang tetap dibiarkan berada dalam sisi gelap. Tentu saja tidak terlalu panjang dalam membuat obituarium, secukupnya saja supaya dibaca sampai habis.
Di Amerika, sudah banyak orang membuat obituarium diri sendiri, dengan alasan hanya diri merekalah yang tahu persis siapa mereka. ”Orang terbaik menulis obituarium adalah diri kita sendiri,” demikian kata Margaret (Marge) Aitken Holcombe yang menulis obituarium dirinya sendiri sebelum meninggal. Marge, demikian panggilan akrabnya, lahir di Paterson, New Jersey, AS, tahun 1930 dan meninggal di rumah sakit Hilton Head Hospital, 12 Agustus 2014. Kemudian juga aktor film Amerika, James Rebhorn, yang meninggal di usia 65 tahun karena kanker juga meninggalkan obituarium sebelum meninggal pada 21 Maret 2014 di New Jersey, AS. Obituari yang ia tulis sendiri berjudul His Life According to Jim.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F08%2F20180831bro-KIDglinka3.jpg)
Kenangan tentang imam Katolik sekaligus Guru Besar Emeritus Antropologi Ragawi Universitas Airlangga Prof Dr Habil Josef Glinka, SVD saat jenazah disemayamkan di Biara Societas Verbi Divini atau Soverdi, 31 Agustus 2018, di Surabaya, Jawa Timur.
Pendek kata, dalam menulis obituarium diri sendiri, kita bisa merancang tulisan sedemikian rupa, bisa memberi judul sendiri seperti yang dilakukan bintang film James Rebhorn. Bahkan, Marge dalam obituari yang ia buat sendiri mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang merawatnya selama sakit, kepada suaminya yang bernama Jack, dan keluarganya. Dia menceritakan kehidupannya mulai menempuh pendidikan hingga kariernya yang berpindah-pindah kerja, sampai pensiun.
Banyak ragam menulis obituarium. Bisa kita melihat ragam penulisan obituarium dengan membacanya di media cetak maupun daring yang terbaik, di dalam negeri ataupun luar negeri. Kenapa mesti mencari contoh dari media terbaik? Supaya kita mendapatkan model penulisan yang berstandar baik, bahkan terbaik. Bagi yang belum berani berinovasi dalam menulis obituarium, ini ada panduan klasik yang dapat dijadikan acuan. Model ini juga digunakan banyak orang, termasuk Marge dalam menulis obituarium dirinya sebelum meninggal.
Pertama, himpun data/informasi yang memadai untuk menulis obituarium. Kemudian, pilih viewpoint, sudut pandang untuk menulis kata ganti orang, seperti kata ganti orang pertama (saya), kedua (kamu), atau ketiga (dia) dalam menyebut diri kita. Menggunakan kata ”saya” seperti kita menuturkan langsung tentang diri sendiri, seperti yang digunakan oleh Marge dengan menyebut kata ”saya” dalam obituariumnya.
Kata ganti kedua (kamu), diri kita seperti diceritakan oleh orang lain, atau keluarga kita. Misalnya, ”kamu meninggal dengan tenang pada bulan 1 April 2020 di rumah sakit RSCM dengan ditunggui dua anakmu dan istrimu”. Namun, viewpoint ”kamu” jarang digunakan. Yang paling banyak dipakai adalah kata ganti ketiga (dia). Kata ganti ketiga ini juga bisa digunakan untuk menulis obituari diri sendiri, seakan-akan orang lain yang menulis. Uraikan dalam tulisan dengan menggunakan bahasa tutur yang jelas, seperti ketika kita sedang menceritakan sesuatu.
Selanjutnya, sebutkan nama diri kita (kalau membuat obituarium sendiri) atau nama mendiang (kalau menuliskan untuk orang lain). Kemudian, uraian selanjutnya, kita dapat menggunakan kata ganti nama orang ”saya”, ”dia”, atau ”kamu” sebagai sudut viewpoint, tetapi harus konsisten, jangan berganti-ganti dalam satu tulisan obituarium.

Ucapan belasungkawa dari Komunitas Bulu Tangkis Indonesia saat meninggalnya Djohan Wahyudi, salah satu legenda bulu tangkis Tanah Air.
Sebutkan umurnya saat meninggal, tempatnya di mana, ditunggui atau di pangkuan siapa, keluarga atau kawan. Sebutkan namanya (tidak harus semua disebut). Sebutkan waktu meninggalnya, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun (kalau menulis obituarium diri sendiri cukup dikosongkan dengan tanda ”…..” supaya diisi keluarga pada saat kematian).
Sebutkan penyakit yang dideritanya. Sebutkan rencana penguburannya, di mana atau sudah dikubur di mana (ini kalau menulis obituarium orang lain. Namun, kalau menulis diri sendiri cukup dikosongkan dengan tanda ”….” supaya diisi orang lain).
Selanjutnya sebutkan di mana mendiang dilahirkan, di bawah asuhan atau bimbingan siapa? Dari keluarga siapa? Kalau diperlukan sebutkan, pernah sekolah atau kuliah di mana saja. Kemudian sebutkan kariernya, pernah bekerja di mana saja. Lalu, sebutkan pencapaian-pencapaiannya, jabatan apa saja yang pernah diduduki, ceritakan kebaikan-kebaikannya, dan pengabdiannya pada kemanusiaan/masyarakat kalau ada.
Organisasi apa saja yang pernah dimasuki sebagai ladang pengabdian (kalau pernah). Sebutkan hal-hal yang membanggakan keluarga dan kawan-kawannya, atau masyarakat. Sebutkan kata-kata atau pesan baik yang pernah diucapkan pada keluarga atau teman-temannya (kalau ada).
Wawancara keluarga (istri atau anak, atau saudaranya, dan keluarga dekat), teman dekat, teman seprofesi, atau teman seperjuangan. Wawancara orang-orang terdekat dilakukan kalau menulis obituarium untuk orang lain. Kalau menulis obituarium diri sendiri, ceritakan apa saja yang ingin disampaikan. Namun, ingat jangan cerita fiksi. Harus sesuai kenyataan.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F11%2F0b932897-9a6f-4ba0-88cb-1fa2b6e87159_jpg.jpg)
Suasana di rumah duka Djaduk Ferianto, musisi dan seniman asal Yogyakarta, di Dusun Kembaran, Kecamatan Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (13/11/2019). Djaduk meninggal di kediamannya, Rabu dini hari.
Kemudian penutup. Silakan sampaikan mau mengucapkan terima kasih kepada siapa saja, keluarga, teman, perorangan, atau lembaga. Sambung dengan permohonan maaf dan doa, serta ucapan yang lain. Misalnya, ”Maafkan saya, mohon kerelaan doa, terima kasih, sampai jumpa di Sana” . Kalau menulis obituarium untuk seorang kawan, bisa ditulis misalnya, ”Selamat jalan kawan, menuju kerahiman Allah”, ”Kebaikanmu tidak terlupakan. Selamat istirahat dengan tenang”, atau rest in peace, atau yang lain, silakan. Tentunya doa baik. Jangan lupa siapkan foto yang terbaik, jangan yang sedang tubuh terhubung selang-selang di rumah sakit atau yang sedang sekarat.
Obituarium hasil tulisan sendiri, silakan titipkan kepada keluarga atau teman dekat untuk dipublikasikan pada saat kematiannya nanti. Media mana yang mau memuatnya? Zaman sekarang rasanya tidak sulit untuk memublikasikan obituarium. Ada media sosial seperti yang kita miliki saat ini, mulai dari Facebook, blog, Whatsapp, hingga Twitter. Mungkin juga bisa dibagikan ke majalah lingkungan, majalah internal perusahaan/pensiunan, atau media cetak dan daring yang membutuhkan.
Kalau cara menulisnya bagus, dari tangan penulis pertama (sebagai produksi pertama) yang kemudian didistribusikan kepada pembaca, di tangan pembaca kemungkinan direproduksi lagi dan didistribusikan lagi ke pembaca yang lebih luas dan bahkan tidak mustahil untuk diorkestrasi di mana-mana sehingga menjadi apa yang disebut ”viral”. Buat apa viral? Semoga setiap orang yang membacanya mengirim doa baik. (MOHAMMAD NASIR, wartawan Kompas 1989-2018)