Intoleransi ditanamkan oleh beberapa pihak menjadi bagian dari “budaya” kita. Salah satunya adalah penggunaan konsep harmoni sebagai eufimisme dari ketidakmampuan kita dalam melindungi hak kelompok minoritas.
Oleh
Ahmad Najib Burhani
·4 menit baca
Jum’at kemarin (24/7) merupakan jum’atan pertama di Hagia Sophia setelah tempat itu diubah fungsinya oleh Presiden Tayyip Erdogan dari museum menjadi masjid. Di samping Hagia Sophia sebetulnya sudah ada masjid, yaitu Masjid Sultan Ahmed atau lebih dikenal dengan sebutan Blue Mosque (Masjid Biru). Oleh karena itu, perubahan itu tentunya bukan karena kepentingan adanya tempat ibadah.
Perubahan fungsi Hagia Sophia itu menyakitkan banyak umat Kristiani dan mendapat protes di mana-mana karena dulunya bangunan itu merupakan Katedral. Ataturk mengubahnya menjadi museum pada 1934. Hal yang sama terjadi dengan Masjid Kordoba yang pernah menjadi Katedral dan kini menjadi museum. Bagaimana perasaan umat Islam seandainya tempat itu dialihfungsikan menjadi katedral lagi?
Persoalan tempat ibadah kerap menjadi sumber konflik dan bahkan pertumpahan darah. Makanya, ukuran toleransi seseorang seringkali dilihat pada sejauh mana mereka menyikapi pendirian tempat ibadah dan bagaimana umat lain bisa mengadakan kegiatan keagamaan.
Jika hubungan antar-agama di dunia sekarang sedang digoyang dengan isu Hagia Sophia, pada level yang lebih kecil di tanah air keberagamaan kita juga digoyang dengan penyegelan bakal pemakaman atau pasarean sesepuh Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan di Curug Goong, Kuningan, Jawa Barat. Sebelumnya, pada 2017, sebagian masyarakat juga ramai memprotes pendirian patung Kwan Kong di Tuban, Jawa Timur. Banyak lagi protes pendirian tempat ibadah, baik yang dilakukan oleh mereka yang seagama namun beda aliran maupun mereka yang berbeda agama.
Jika persoalan pendirian tempat ibadah menjadi ukuran toleransi, maka pertanyaannya adalah mengapa intoleransi tampak menyebar luas di masyarakat, terutama pada tahun-tahun belakangan? Bahkan, ketika bangsa ini sedang berjuang melawan virus korona pun sebagian masyarakat masih harus menghadapi virus intoleransi.
intoleransi ditanamkan oleh beberapa pihak menjadi bagian dari “budaya” kita.
Sebagian jawabannya adalah karena intoleransi ditanamkan oleh beberapa pihak menjadi bagian dari “budaya” kita. Salah satunya adalah penggunaan konsep harmoni sebagai eufimisme dari ketidakmampuan kita dalam melindungi hak kelompok minoritas.
Seperti yang terjadi di Bogor tahun 2015, demi menjaga harmoni di masyarakat maka kelompok Syiah diminta membatalkan rencana peringatan Asyura. Demikian juga yang terjadi di Sampang, agar harmoni di masyarakat tetap terjaga maka para pengungsi Syiah yang menumpang di Puspa Agro Sidoarjo sejak 2013 diminta untuk tak pulang kampung. Di Papua, sebagian kelompok meminta agar umat Islam tak membangun atau membatasi pembangunan masjid agar harmoni tetap terjaga.
Dalam beberapa kasus, harmoni sering diimplementasikan sebagai upaya menjaga homogenitas sebuah masyarakat daripada kemampuan untuk hidup bersama secara damai dalam perbedaan atau merayakan kemajemukan. Salah satu kunci untuk melihat apakah harmoni itu sudah tercipta adalah tak adanya perusakan, konflik fisik atau pertumpahan darah.
Beberapa peribahasa dari daerah kadang dipakai untuk mengokohkan pemaknaan harmoni sebagai upaya pengukuhan terhadap dominasi mayoritas dan diskriminasi terhadap minoritas. Di masyarakat Melayu ada ungkapan “dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Konsep mulia ini kadang dipakai untuk justifikasi terhadap pemaknaan harmoni seperti di atas.
Pada peristiwa Tajung Balai 2016 lalu, peribahasa tersebut diadopsi oleh sebagian tokoh masyarakat sebagai solusi agar peristiwa Tanjung Balai itu tak terulang. Caranya yaitu, jangan sampai orang Tionghoa membangun tempat ibadah, seperti Vihara Tri Ratna, yang menyebabkan tempat ibadah agama lain terlihat kerdil dan jelek. Jangan membangun tempat ibadah lebih banyak dari kelompok mayoritas di tempat itu. Intinya, harus menjaga diri untuk tetap nomor dua.
Kadang kita juga menggunakan cara yang kurang tepat dalam menjaga toleransi. Kita bergantung kepada kelompok paramilitari, seperti Banser, dan bukan polisi dalam menjaga gereja dan melindungi minoritas.
Tanpa menafikan kontribusi Banser dalam menjaga toleransi dan kerukunan, menggunakan paramilitari untuk menegakkan toleransi kadang memiliki efek lain, yaitu hidupnya premanisme. Pada konteks seperti inilah kedaulatan negara teruji: apakah ia menjadi satu-satunya yang memegang kedaulatan atau ia membolehkan kelompok lain memiliki kekuatan seperti yang dimiliki oleh polisi dan militer.
Sejarah perkembangan berbagai agama di Indonesia tak diiringi dengan pertumpahan darah
Meski wajah toleransi di Indonesia belakangan ini terlihat muram, namun harus dicatat bahwa ini kemungkinan hanya gejala sesaat bersamaan dengan naiknya konservatisme dan populisme secara global. Indonesia memiliki sejarah kuat tentang toleransi agama dan hidup berdampingan secara damai dalam perbedaan.
Sejarah perkembangan berbagai agama di Indonesia tak diiringi dengan pertumpahan darah. Berbagai tempat ibadah juga bisa dibangun berdampingan tanpa ada persoalan serius.
Pada penelitian yang dilakukan Jeremy Menchik (2016) dengan responden para pimpinan NU, Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis), terlihat toleransi yang tinggi di Indonesia. Kalaulah ada catatan-catatan intoleransi di berbagai kelompok dan tempat, maka itu masih bisa ditutup dengan upaya lebih serius dalam menyebarkan nilai-nilai toleransi itu. Hal yang terpenting adalah tak melakukan penyangkalantentang adanya intoleransi tersebut.
Terakhir, banyak cerita dan model-model toleransi yang berkembang di masyarakat. Diantaranya adalah tentang Wonosobo, Ambon, Batu, dan Pangandaran yang menjadi model kota toleransi. Berbagai cerita toleransi dari kota-kota itu akan menyebarkan aura positif dan semangat kuat untuk membangun toleransi. Berbagai kelompok yang menyebarkan toleransi itu tak berjuang sendirian serta jumlah mereka sangat banyak.
Seluruh elemen masyarakat dan pemerintah perlu bergandengan tangan mendukungnya. Azyumardi Azra mengingatkan, Indonesian wasatiyya Islam is too big to fail (Islam moderat di Indonesia terlalu besar jika sampai mengalami kegagalan).
Penulis adalah peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia