Jeda
Kini saatnya kita meredam semua, jeda sejenak dari segala kebisingan. Kembali mendengar suara hati dan relung rohani kita, kemanusiaan kita, yang selama ini tertindih, bahkan terkubur, oleh segala bentuk kegaduhan.
Virus korona jadi teror menakutkan di dunia. Banyak orang memilih berada di dalam rumah untuk menghindari peluang tertular virus ini. Akibatnya, jalanan, gedung, dan ruang-ruang publik jadi sepi.
Jika biasanya di setiap ruang muka Bumi jutaan orang berkerumunan dan bergerak, kini seluruh aktivitas itu surut, melambat, nyaris berhenti. Bumi yang selama ini sibuk seolah istirahat dari keramaian.
Selama ini, 24 jam kita terus hidup bersama suara-suara bising dalam berbagai bentuknya, yang bahkan tak pernah berhenti sedetik pun. Ruang lapang berubah jadi lahan kerja, tanah kosong menjadi pabrik, mal dan gedung-gedung pusat industri penuh pekerja. Tak ada lagi tanah karena setiap sentimeternya disulap jadi aspal jalan raya dan beton tol, kerangka jembatan layang dan penyeberangan (yang di bawahnya bergerak mobil-mobil, tapi bukan air).
Pohonan dan ruang hijau berkurang, matahari langsung bersinar menyilaukan mata tanpa harus menembus daunan yang rapat dan berdesir digerakkan angin.
Maka, tak ada lagi kelepak burung dan capung, pendar kunang, bahkan suara kodok dan jengkerik. Dengannya, tak ada lagi romantisisme, kepekaan rasa dan jiwa, karena semuanya jadi serba mekanis dan terprogram.
Selama ini, 24 jam kita terus hidup bersama suara-suara bising dalam berbagai bentuknya, yang bahkan tak pernah berhenti sedetik pun.
Manusia jadi robot-robot yang terprogram oleh jadwal-jadwal rutin kegiatan, target kerja, capaian keberhasilan yang kerap kali berupa kepemilikan barang dan benda-benda kapital. Akibatnya, bahkan gaya dan rutinitas hidup kita bisa diatur dan disesuaikan tayangan acara di televisi yang harus ditonton dan tak bisa dilewatkan. Semuanya itu disusun dalam deretan angka atas nama derajat kesejahteraan masyarakat.
Sebagai mesin, kita jadi mekanis dan miskin rasa, simpati dan empati. Ritme hidup berarti sesuatu yang ”lebih”: lebih cepat, lebih kuat, lebih dahulu, lebih dari yang lain dalam segala hal, tak boleh melambat, apalagi jeda, progres, progres....
Maka, di jalan, semua yang ada di atasnya, harus bergegas, cepat, bahkan ngebut. Klakson menyubstitusi mulut, yang lebih kerap dipencet sebagai sapaan di kompleks perumahan (dan bukan ucapan langsung). Bahkan klakson lebih sering berfungsi sebagai teriakan (dan makian) di jalan raya yang macet. Kita tak punya lagi etika persaudaraan dan saling menghormati kepada orang lain.
Refleksi diri
Kita semua sibuk dan tak punya waktu untuk diri sendiri, juga keluarga—orangtua dan anak-anak kita. Mereka kita biarkan berkeliaran sendirian di antara belantara digital dan taman bermain artifisial yang ada di gadget, hingga bersahabat dengan hantu-hantu hiburan televisi yang slapstick dan tak mendidik. Mereka tumbuh sebagai yatim piatu kebudayaan yang tak humanis, nirmakna, penuh kamuflase.
Histeria mereka adalah perayaan maya yang tak berjumpa, tak nyata. Tawa kegembiraan, tangis kesedihan, hingga ekspresi cemberut dan tersenyum hanya muncul lewat simbol-simbol emoticon yang palsu. Yang penting bergaul, berbaur, nimbrung, dan tergabung menjadi bagian barisan gerombolan fatamorgana yang terjalin sebagai friend, mutual, atau follower, tapi sesungguhnya tak pernah benar-benar kenal.
Pertemanan, persahabatan, silaturahmi diukur lewat jumlah angka. Yang tak punya follower bahkan sampai perlu membeli ”teman” atau follower yang diperjualbelikan karena takut sendirian, tak dikenal, dan itu berarti ia tidak eksis dan bukan siapa-siapa!
Pertemanan, persahabatan, silaturahmi diukur lewat jumlah angka.
Eksistensi diri ditentukan oleh ukuran-ukuran itu, juga oleh tombol like, retweet, atau share atas postingan-postingan yang dihasilkannya. Maka, gaya selfie dan wefie menjadi ekspresi, viral jadi bukti perhatian khalayak sehingga para influencer bermunculan adu konten, positif dan negatif, menciptakan polarisasi massa yang sebelumnya tak pernah terbayangkan efeknya.
Semua bisa bersuara, berpendapat ala pengamat, bahkan menciptakan analisis sendiri. Dunia maya menjadi masyarakat virtual dan global yang riuh, bising, dan khaos karena semua orang tak ingin sepi, sunyi, sendiri.
Elemen-elemen itu menyusun hubungan komunikasi dan pergaulan kita dengan orang lain selama ini. Maka, wajar jika tata kelola masyarakat kita juga ikut-ikutan riuh dan bising. Lihat saja, mulai dari tingkat terendah hingga pusat, ketika kita memilih wakil dan pemimpin kita, prosesnya begitu riuh rendah dan penuh dengan kegaduhan.
Nalar politik tecermin lewat konvoi massa berkaus gambar wajah caleg dan kaus partai, bersepeda motor penuhi jalanan dengan knalpot butut memekakkan telinga, panggung musik (dangdut) dan orasi janji-janji dari atas panggung. Semakin keras bunyi dihasilkan, seolah menampilkan besarnya niatan politik yang ingin diwujudkannya.
Politik tak lagi menjadi adu nalar dan logika positif kekuasaan dalam debat kritis dan membangun untuk menciptakan pola kerja yang lebih berkualitas, tapi jadi ajang sikut-jegal-tendang, penyingkiran pihak yang tak sepaham hingga berujung pada pemusnahan nyawa lawan politik. Akal sehat, nurani, pertemanan dan persahabatan, toleransi dan keragaman, tak berarti di hadapan hasrat kekuasaan.
Akal sehat, nurani, pertemanan dan persahabatan, toleransi dan keragaman, tak berarti di hadapan hasrat kekuasaan.
Maka, kini saatnya kita meredam semua, jeda sejenak dari segala kebisingan. Kembali mendengar suara hati dan relung rohani kita, kemanusiaan kita, yang selama ini tertindih, bahkan terkubur, oleh segala bentuk kegaduhan. Merefleksi diri dan kembali jadi manusia berkualitas, yang mampu menyusun kehidupan bersama dengan lebih baik.
Purnawan Andra, Staf Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Dirjen Kebudayaan Kemendikbud