Daya dobrak kuasa masyarakat warga mengontrol negara dirasakan semakin pudar. Kausa utamanya adalah proses transisi politik setelah reformasi sangat mendadak. Mungkin lebih tepat disebut ”revolusi demokrasi”.
Oleh
J Kristiadi
·4 menit baca
Salah satu isu penting dalam diskursus publik akhir-akhir ini adalah keprihatinan, kegelisahan, dan kegundahan masyarakat tentang kemerosotan kapasitas kuasa masyarakat warga (non-state actors) vis a vis kuasa negara (state-actors). Secara normatif, relasi dinamika kekuasaan antara negara dan masyarakat warga penting untuk mencapai titik keseimbangan agar kuasa negara tidak terjebak perangkap oligarki dan kuasa masyarakat warga tidak bermetamorfosis menjadi anarki.
Kaidah ini diperlukan karena demokrasi modern mempunyai cacat bawaan, yakni kedaulatan puluhan atau ratusan juta rakyat hanya diwakili oleh segelintir wakil rakyat di parlemen. Akibatnya, secara alamiah dalam pertarungan kepentingan di parlemen selalu terjadi ketimpangan dan distorsi atau amputasi aspirasi rakyat di lembaga perwakilan rakyat. Oleh karena itu, diperlukan masyarakat warga yang perkasa agar dapat mengontrol perilaku elite politik di lembaga perwakilan.
Kuasa masyarakat warga diharapkan mampu menjadi kekuatan tanding (counterpower) agar kebijakan negara selalu mengarah pada terwujudnya cita-cita bersama dan mencegah agar negara tidak membajak kedaulatan rakyat. Ancaman itu sangat kasatmata, terlebih dengan adanya kemajuan teknologi informasi dan artificial intelligence, negara menjadi mampu mengontrol sepenuhnya perilaku, bahkan hasrat, sentimen, dan insting warga negaranya.
Artikel di Foreign Affairs edisi Maret/April 2020, ”The Digital Dictators: How Technology Strengthens Autocracy”, memaparkan fenomena tersebut dengan gamblang. Namun, tidak dimungkiri pula, kemajuan teknologi mampu merobohkan kekuasaan otoriter sebagaimana terjadi pada konteks Arab Spring di Timur Tengah beberapa tahun lalu.
Kedigdayaan kuasa masyarakat sipil di Indonesia juga pernah menunjukkan keperkasaan yang fenomenal karena mampu meruntuhkan kekuasaan otoritarian, tatanan Orde Lama tahun 1960-an dan Orde Baru akhir 1990-an. Namun, daya dobrak kuasa masyarakat warga mengontrol negara dirasakan semakin pudar. Kausa utamanya adalah proses transisi politik setelah reformasi sangat mendadak. Mungkin lebih tepat disebut ”revolusi demokrasi”.
Berbagai regulasi, terutama tentang kontestasi politik, disusun secara kilat karena saat itu diperlukan pilar-pilar politik penyangga tatanan kekuasaan yang demokratis guna menggantikan tonggak-tonggak penopang kekuasaan otoritarian yang ambruk. Hasilnya sangat mengecewakan karena regulasi tanpa paradigma menghasilkan lembaga-lembaga negara dan politik yang tingkat kompetensinya sangat rendah.
Kadar kepercayaan publik terhadap institusi-institusi tersebut semakin merosot. Modal sosial, rasa saling percaya (trust), sebagai perekat negara dan masyarakat nyaris punah. Bahkan, rasa saling percaya di antara sesama masyarakat warga juga semakin merosot karena jaringan politik transaksional para aktor dalam memburu kekuasaan menjangkau sampai ke akar rumput.
Fenomena modal sosial pernah dibahas panjang lebar oleh Putnam RD dalam ”The Prosperous Community: Social Capital and Public Life” di The American Prospect Vol 4, No 13. (1993). Singkatnya, social capital adalah kualitas jaringan masyarakat yang diikat rasa saling percaya, berbela rasa, dan memuliakan etika dalam mewujudkan tujuan bersama.
Modal sosial akan menjadi malapetaka jika dimiliki kelompok warga tak bermoral, gangster, mafia, dan kelompok kejahatan terorganisasi lain. Mereka gerombolan manusia yang memiliki ikatan rasa saling percaya dan tingkat solidaritas tinggi, tetapi dalam mencapai tujuannya menghalalkan segala cara.
Ancaman lain yang tak kalah daya rusaknya adalah dampak demokrasi kapitalistik, terutama politik uang, yang mengakibatkan jurang antara kaya dan miskin semakin lebar, sikap hedonisme dan konsumerisme publik yang melebihi takaran, perburuan kenikmatan kekuasaan yang menghalalkan segala cara, dan implementasi ideologi negara hanya berhenti pada citra, retorika, serta mengandalkan mantra.
Oleh sebab itu, masyarakat warga diharapkan semakin waspada mengingat potensi ancaman kekerasan terhadap masyarakat warga bukan hanya oleh negara, melainkan juga oleh kuasa membabi buta pemilik modal, peternak kekuasaan, serta unsur-unsur masyarakat sendiri. Tak mustahil kepentingan mereka berkelindan dengan kepentingan politik pemilik modal sehingga kuasa masyarakat warga menjadi semakin tidak berdaya.
Harus diakui, mengelola kuasa masyarakat warga tidak sederhana karena ancaman tidak hanya dari cengkeraman kekuasaan yang otoriter, tetapi dapat juga datang dari sesama masyarakat warga sendiri. Ibaratnya, musuh dalam selimut.
Ancaman ini dapat lebih dahsyat daya rusaknya, terutama jika dilakukan kelompok-kelompok warga yang secara anarkistis memaksakan kepentingan subyektif dan ideologi yang partikularistik. Meskipun organisasi itu telah dibubarkan negara, banyak kalangan percaya sel-sel itu masih aktif
dan membawa virus ideologi yang sama. Kenyataan itu menimbulkan keraguan apakah masih dimungkinkan masyarakat warga mampu membangun etos dan keutamaan warga apabila masyarakat telah terpapar gagasan-gagasan yang memorakporandakan keharmonisan.
Mengelola dan merawat kuasa masyarakat warga, dalam jangka panjang, ialah bagian integral dari agenda membangun karakter bangsa. Dalam jangka pendek, agenda mendesak yang harus dilakukan adalah berpartisipasi aktif serta melakukan kontrol ketat terhadap regulasi kontestasi politik karena suasana kebatinan para elite politik dewasa ini sudah terpapar demam Pemilu 2024.