Pemajuan, Bukan Elitisme
Premis bahwa kebudayaan suatu masyarakat bisa mati, sekarat, di dalam sebuah masyarakat yang masih hidup sungguh problematik dalam berbagai segi.
Apakah kebudayaan di suatu masyarakat yang masih hidup bisa mati? Radhar Panca Dahana, dalam tulisan di Kompas (21/1/2020) menyebut Indonesia saat ini mengalami ”sakratul maut seni-budaya”.
Radhar menyatakan, kebudayaan mengalami ”humilisasi” dan ”asasinasi” oleh negara/rezim Jokowi. Diungkapkan, sejak Orde Baru hingga era Susilo Bambang Yudhoyono, tak ada yang memahami kebudayaan di pemerintahan. Di era Gus Dur yang mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta, kebudayaan dan seni ”tak dapat porsi yang cukup”. Di era Jokowi, menurut Radhar, negara kerjanya menghina kebudayaan.
Baca Juga: Opini Radhar Panca Dahana, Sakratul Maut Seni-Budaya
Ada tiga basis utama rangkaian tuduhan Radhar bahwa pemerintah sedang menghina, membunuh, dan otoriter pada kebudayaan: perubahan nomenklatur dan struktur Kemendikbud yang menghapus Direktorat Kesenian; kasus revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM) yang dianggap sebagai ”komersialisasi” TIM; dan asumsi bahwa biaya kebudayaan adalah beban bagi anggaran negara atau pemda. Ketiga basis itu sesungguhnya tidak melewati cek dan cek ulang memadai. Tuduhan Radhar telah bermasalah sejak di taraf kerangka pikir.
Sikap nihilistik, tak memajukan
Premis bahwa kebudayaan suatu masyarakat bisa mati, sekarat, di dalam sebuah masyarakat yang masih hidup sungguh problematik dalam berbagai segi. Apakah artinya kebudayaan hidup secara terpisah dari masyarakatnya—berada di luar masyarakat? Hal ini sungguh aneh buat saya.
Kita bisa bicara tentang tradisi atau bahasa yang mati, misalnya: sebutlah bahasa Aramaik atau tradisi perbudakan yang tak lagi digunakan—tapi, apakah kita bisa lantas mengatakan bahwa kebudayaan masyarakat tempat bahasa Aramaik atau tradisi perbudakan pernah hidup itu sebagai telah mati?
Dalam pemahaman ini, sesama manusia bisa tetap berpakaian, memilih makanan, berbicara satu sama lain, membaca, menggunakan laptop, bekerja, berpikir, menghias dinding kamar dengan poster, berjual beli secara online, sembari dikatakan bahwa kebudayaannya ”sakratul maut”, ”mati”, ”dibunuh”. Radhar menulis: ”… apakah hingga kebudayaan dimakamkan, … bangsa jadi mayat, atau zombi yang hidup hanya untuk menciptakan keburukan dan kebobrokan?”
Dalam pertanyaan retoris itu tergambar imajinasi Radhar bahwa kebudayaan di sebuah masyarakat bisa mati, sementara masyarakatnya yang masih hidup dianggap sebagai ”zombi”. Imajinasi ini tak pelak lahir dari kerangka berpikir yang menganggap kebudayaan sebuah bentuk yang hanya bisa diproduksi dengan cara tertentu. Jika tak diproduksi dengan cara tertentu itu, kebudayaan dianggap mati, dan masyarakat yang masih hidup itu dianggap ”zombi”.
Di sini kita bisa mempertanyakan apa ”cara tertentu” itu, sekaligus mempertanyakan siapa yang memberi batas apa ”cara tertentu” itu dan menilai ”cara tertentu” apakah yang valid sebagai, katakanlah, ”roh” hidup sebuah kebudayaan.
Saya percaya konsep kebudayaan yang didukung Cliford Geertz (Tafsir Kebudayaan, Kanisius, 1992): ia adalah jaringan-jaringan makna. Konsep ini diambil Geertz dari Max Weber, yang menyatakan bahwa manusia adalah ”seekor binatang yang bergantung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri”. Ini berarti, kata Geertz, konsep kebudayaan yang semiotis.
Premis bahwa kebudayaan suatu masyarakat bisa mati, sekarat, di dalam sebuah masyarakat yang masih hidup sungguh problematik dalam berbagai segi.
Konsep kebudayaan ini menerima bahwa setiap tindakan manusia pada sesama adalah lakon penciptaan makna melalui tindakan pertukaran simbol. Jelasnya, setiap kali manusia berkomunikasi dengan sesama, ia sedang menenun makna, dan kebudayaan pun tercipta, hidup.
”Kebudayaan adalah komunikasi, dan komunikasi adalah kebudayaan”, begitu ungkapan Edward T Hall (The Silent Language, 1959). Dengan demikian, saya percaya bahwa kebudayaan selalu hidup dalam sebuah masyarakat yang masih melakoni drama pertukaran simbol, berkomunikasi, dari hari ke hari.
Dalam konteks itu, walau percaya bahwa ada persoalan kualitas kebudayaan, saya menganggap keliru sikap nihilistik bahwa jika kualitas sebuah kebudayaan itu (dianggap) buruk, berarti sebuah kematian kebudayaan. Saya sebut sikap demikian nihilistik karena dengan menganggap sebuah kebudayaan mati hanya karena tak sesuai standar kualitas kebudayaan seseorang atau suatu kelompok, peluang pemajuan kebudayaan pun ditutup atau dinihilkan.
Sikap itu mengandung sebuah elitisme kebudayaan, sedangkan elitisme kebudayaan sudah tak masuk akal lagi dalam dunia yang kian terbuka kini. Elitisme Radhar terbaca ketika berulang ia menegaskan bahwa presiden demi presiden, pemerintahan demi pemerintahan, dari pusat hingga daerah, tak paham apa arti penting kebudayaan.
Sikap ini meluputkan Radhar dari capaian penting dalam relasi negara dan kebudayaan: UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Istilah ”pemajuan kebudayaan” merujuk pada UUD 1945 Pasal 32, yang menyebutkan ”Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
Hal ini boleh dibilang revolusioner karena dua hal. Pertama, selama lebih dari 10 tahun, DPR mengajukan RUU Kebudayaan dengan semangat ”mengatur” dan menguatkan ”kebudayaan nasional” untuk menangkal ”ancaman budaya asing”. Semangatnya masih sama dengan semangat Orde Baru dalam memperlakukan kebudayaan, yakni pengendalian negara atas kebudayaan, dan pada gilirannya kendali total negara atas warga.
Elitisme Radhar terbaca ketika berulang ia menegaskan bahwa presiden demi presiden, pemerintahan demi pemerintahan, dari pusat hingga daerah, tak paham apa arti penting kebudayaan.
Dengan kembali ke Pasal 32 UUD 1945, semangat itu dijungkir jadi semangat fasilitasi. Negara menjadi fasilitator pemajuan kebudayaan. Bahkan, salah satu amanat UU No 5 Tahun 2017 adalah menjadikan strategi kebudayaan nasional landasan pembangunan nasional.
Kedua, persoalan kebudayaan dan kesenian sejak Orde Baru selalu berparadigma ”pelestarian” (terhadap seni dan budaya tradisional) yang mewujud pada politik anggaran yang membatasi fasilitasi negara pada arena pelestarian. Kesenian modern dan kontemporer selalu wagu, kesulitan mencari posisi, dalam politik anggaran ini. UU No 5 Tahun 2017 memang masih menggunakan istilah umum dan rentan tafsir karet, yakni ”perlindungan”, ”pengembangan”, ”pemanfaatan”, dan ”pembinaan” kebudayaan.
Namun, sejauh yang terbaca dari sosialisasi UU Pemajuan Budaya oleh Dirjen Kebudayaan selama ini, setidaknya paradigma politik anggaran sebatas ”pelestarian” telah diganti oleh empat aspek ”pemajuan” itu.
Apakah kedua hal itu hanya normatif? Pada Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2018, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid mencanangkan hasil berupa perumusan Strategi Kebudayaan Indonesia yang akan berlaku 20 tahun ke depan.
Yang perlu dicatat: basis strategi kebudayaan itu adalah data masalah dan situasi seni-budaya yang dikumpulkan secara masif selama 2018 dari lebih 514 kabupaten/kota, 34 provinsi. Artinya, strategi ini disusun secara bottom up, menyerap kenyataan seni-budaya di akar rumput, sembari tetap dijaga dalam perumusan akhirnya oleh sekumpulan ahli dan ilmuwan berbagai bidang.
Alih-alih menggali aspirasi budaya di tahap warga, Radhar mengumpulkan para ahli dan seniman yang diseleksi secara khusus untuk merumuskan strategi budaya untuk disampaikan kepada Presiden Jokowi.
Radhar gagal memperhitungkan situasi de facto kebudayaan kontemporer kita yang tak melulu berisi toxic politic di media sosial. Sekadar menggurat sketsa, perhatikan dua hal: (1) kiprah seniman Indonesia di ajang internasional sepanjang, taruhlah, lima tahun belakangan; (2) kiprah dunia seni Indonesia di kota-kota Indonesia yang bergerak terus menyiasati keterbatasan ruang seni di setiap kota.
Sesuatu yang sangat penting sedang terjadi: seniman kita mulai lincah menyumbang percakapan kultural di tingkat dunia. Kolektif Ruang Rupa pimpinan Ade Darmawan terpilih tahun lalu sebagai Direktur Artistik Documenta, ajang seni rupa terbesar Eropa, 2022.
Karya FX Harsono, Writing in the Rain, tampil di Time Square New York, sepanjang bulan Januari 2018. Selama berbulan-bulan di 2019, Yudi Tajudin (Teater Garasi) menyusun dan mementaskan teater lintas Asia di Tokyo dan Flores. Novel Eka Kurniawan masuk nominasi Man-Booker International Prize 2016.
Tahun lalu, buku Intan Paramdhita dan Feby Indirani diterjemahkan di Eropa. Trilogi Jailolo karya Eko Supriyanto keliling Eropa di 2017. Garin Nugroho berkeliling Eropa dan Australia dengan pemutaran Setan Jawa diiringi komposisi gamelan Rahayu Supanggah. Marlina karya Mouly Surya masuk nominasi Cannes.
Itu sebagian saja. Ada yang difasilitasi negara, ada juga yang mendapatkan dana internasional. Itu puncak gunung es dari dinamika sebuah kebudayaan yang hidup, bukan kebudayaan yang sedang sakratul maut. Jika menelusuri geliat kesenian kontemporer di dalam negeri, geliat itu pun terasa hidup.
Berbagai kegiatan komunitas film di Aceh, Purbalingga, Yogyakarta, Lombok, Palu, Makassar, menampak watak DIY dan cinta keras kepala pada sinema. Betapa hidupnya gig dan percakapan di skena musik Indie kita, entah dari mana mau mencatatnya di sini.
Geliat itu menyimpan watak bersiasat dengan keterbatasan ruang: mereka secara harfiah mencipta ruang-ruang kesenian baru, tanpa menunggu ruang-ruang kesenian disediakan pusat ataupun negara.
Di Jakarta, yang terbaru, ada M Bloc, Dia.lo.gue dan Coffeewar di Kemang, Kios Ojo Keos (hasil kerja sama Efek Rumah Kaca dan Pusad Paramadina), dan Gudskul (dimotori Ruang Rupa dan Serrum) di Jagakarsa. Pergilah ke sana, dan terasa bahwa kehidupan seni-budaya kita justru sedang hidup.
Pembunuhan atau proses negosiasi?
Tiga basis kasus sakratul maut seni-budaya yang diangkat Radhar mengandung misinformasi. Perubahan struktur Direktorat Kebudayaan dan dihapusnya Direktorat Kesenian telah dibaca keliru oleh Radhar. Saya pribadi menganggap kehadiran Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru sangat problematik.
Perubahan struktur Direktorat Kebudayaan dan dihapusnya Direktorat Kesenian telah dibaca keliru oleh Radhar.
Namun, Radhar keliru menganggap direktorat baru itu untuk mengganti Direktorat Kesenian. Fungsi Direktorat Kesenian dilebur agar ada koordinasi satu pintu dalam fasilitasi kesenian, dalam kerangka Direktorat Perlindungan Kebudayaan, dan Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan.
Soal revitalisasi TIM, Radhar mengangkat isu pembangunan hotel berbintang lima, yang sebetulnya hanya isu tanpa bukti konkret. Isu komersialisasi TIM memang penting diangkat mengingat Jakpro ataupun Pemprov DKI belum memaparkan secara jelas dan rinci model pengelolaan TIM yang baru.
Tapi, Radhar berlebihan ketika menggambarkan ini sebagai salah satu bukti ”titik terendah dalam sejarah peradaban Nusantara”. Yang terjadi dalam soal TIM adalah proses negosiasi, yang berhubungan dengan masalah pelik, ”bagaimana membiayai kesenian?”
Radhar lantas gas pol menyerang penggunaan kata ”beban APBD” dalam argumen Pemprov DKI menyertakan BUMD Jakpro dalam revitalisasi TIM. Radhar dkk menuntut agar biaya revitalisasi Rp 1,8 triliun dan semua kegiatan seni di TIM tak boleh dianggap ”beban”, sepenuhnya dibiayai APBD, karena kebudayaan adalah investasi.
Tuntutan ini pun saya baca sebagai bagian dari watak elitisme. Ia menuntut pengeluaran begitu banyak dari uang rakyat yang dititipkan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah pusat untuk kebudayaan, tanpa mau menimbang dasar moral maupun pragmatik mengapa pengeluaran kebudayaan lebih penting daripada pengeluaran lain bagi rakyat.
(Hikmat Darmawan, Kurator dan Direktur Kreatif Pabrikultur)