Katakan Tidak pada Kediktatoran
ASEAN nyatanya telah bertumbuh menjadi lebih demokratis. Dengan caranya tersendiri, ASEAN harus berani mengatakan tidak lagi pada kediktatoran.
Berdiri pada 8 Agustus 1967, ASEAN yang beranggotakan 10 negara berkembang menjadi kawasan solid. Berjalan lewat proses lambat, tetapi terus menggeliat. Tidak ada keraguan soal masa depannya. ASEAN masuk dalam radar cerah secara ekonomi.
Akan tetapi, ASEAN harus menyadari momok yang melekat pada dirinya: kediktatoran! Uniknya lagi, ASEAN tidak bisa berbuat apa-apa tentang kediktatoran yang sering menggores nurani itu. Jangan mencampuri. Itu falsafahnya.
Ketika ASEAN gencar meliberalisasi perekonomian, tidak ada langkah jelas soal liberalisasi politik. Entah bagaimana, ASEAN menyinkronkan liberalisasi ekonomi tanpa liberalisasi politik.
Pada 1991, Akademi Sains Kerajaan Swedia menganugerahkan Hadiah Nobel Ekonomi kepada ekonom bernama Ronald H Coase (University of Chicago). Dengan alasan, Coase telah menemukan kaitan ekonomi dengan struktur kelembagaan.
Sistem hukum sungguh memengaruhi aktivitas ekonomi. Ada partikel-partikel dasar yang menentukan dalam sistem ekonomi. Ditarik lebih luas, kelembagaan ini tidak luput dari sistem politik baik, yang relatif akan menghasilkan aturan main lebih baik.
Bukti empiris
Kontradiktif dengan liberalisai ekonominya, hampir pada setiap negara anggota ASEAN mencuat kediktatoran, sistem feodal. Pada dekade 1970-an, Thailand misalnya, merupakan negara yang dipimpin junta militer. Junta, diktator, melekat pada kepemimpinan di ASEAN. Pemimpinnya doyan memimpin berlama-lama dan pernah sangat getol memberangus atau setidaknya mengendalikan pers.
Filipina pun terkenal dengan kediktatoran di bawah almarhum Presiden Ferdinand E Marcos, diwarnai kemegahan hidup istrinya, Imelda Marcos, dengan 2.000 pasang sepatunya. Kediktaroran Marcos telah menyebabkan kematian tokoh oposisi, Benigno Aquino Jr, sekembali dari AS pada 1983.
Peristiwa ini membangkitkan aksi kekuatan rakyat yang menjatuhkan Marcos. Akan tetapi, aksi ini berefek berat pada sendi-sendi pembangunan ekonomi beberapa dekade kemudian. Ekonomi Filipina pada dekade 1960-an ada di urutan kedua setelah Jepang di kawasan Asia, kemudian terjerat ke dalam lingkaran masalah beberapa tahun setelah people power.
Aung San Suu Kyi, di bawah junta militer pimpinan Jenderal Than Shwe, menjalani status penahanan rumah selama 19 tahun (1991–2010). Tragedi kemanusiaan sekaligus mengiringi perjuangan opisisi pimpinan Suu Kyi sekian lama. Ini berefek pada pemiskinan negara karena ekonomi tidak berkembang sementara para jenderal hidup mewah.
Pada 1998, menyusul krisis moneter Asia, telah pula membuat Anwar Ibrahim, mantan Menkeu Malaysia, diredam oleh Mahathir Mohamad yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri.
Indonesia juga tidak luput dari isu kediktatoran. Indonesia tidak innocent soal kediktatoran. Akibatnya juga kita sudah ketahui, kejatuhan rezim dan kekacauan sendi-sendi kenegaraan. Relatif lama Indonesia menemukan titik kestabilan.
Berakhir dengan baik
Untungnya, semua tragedi politik berlalu meski dengan segala efeknya. Kasus di Filipina, Thailand, Malaysia, dan tentu saja di Indonesia berakhir relatif dengan happy ending. Cory Aquino, istri Benigno Aquino Jr, menjadi presiden. Ini kemudian juga diikuti putra mereka Benigno Aquiono III. Suu Kyi menjadi Penasihat Negara Myanmar sekarang.
Demikian pula Anwar Ibrahim berbagi kekuasaan dengan Mahathir.
Akan tetapi, isu yang menganjal demokrasi tidak serta merta terkikis total di ASEAN. Singapura dan Vietnam tidak luput dengan isu-isu politik dinasti (Singapura) hingga penindasan pada kebebasan beragama di Vietnam.
Phil Robertson, Wakil Direktur Asia Human Rights Watch, menggambarkan situasi HAM di ASEAN sebagai sebuah bencana hak asasi. Ini merujuk pada berbagai isu soal hak asasi manusia di ASEAN, termasuk kasus Rohingya.
Oposisi Kamboja
Uniknya, ASEAN yang juga menyelaraskan organisasinya pada PBB dengan penekanan tentang hak asasi, yang tidak bersih-bersih amat soal catatan HAM. Kini muncul hal terbaru, kasus yang dihadapi tokoh oposisi Kamboja, Sam Rainsy, dan sekitar 50 tokoh oposisi.
Rainsy melarikan diri ke Perancis pada 2015 atas tuduhan pelanggaran hukum. Faktor politik menjadikannya sebagai terdakwa oleh pemerintahan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, yang sudah berkuasa selama 34 tahun, atau sejak 1985.
Kepulangan Rainsy oleh Hun Sen dipandang sebagai rencana kudeta. Rainsy kini sedang berada di Kuala Lumpur, ditolak masuk ke negaranya sejak kepulangan dari Perancis pada 9 November. Pesawat Thai Airways menolak menerbangkannya dari Paris dengan tujuan kembali ke Kamboja. Rainsy pun terbang via Kuala Lumpur.
Kasus ini menjadi pengingat bagi ASEAN bahwa demokrasi masih mirip dengan ungkapan, ”jauh panggang dari api”. Rainsy sedang terlunta-lunta. Rainsy seperti bola pingpong, ke Jakarta, dan kini di Malaysia. Entah ke mana Rainsy akan beranjak.
Menteri Dalam Negeri Kamboja Sar Kheng pun menyatakan telah menyiagakan aparat untuk mencegat Rainsy, agar tidak boleh kembali ke daerah asalnya, Siem Reap. Pelarangan kemudian dicabut. Rainsy boleh ke Kamboja, tetapi harus menghadapi dakwaan. Tuduhan, yang menurut Jerald Joseph, Komisaris Komisi HAM Malaysia, lebih bermotifkan politik (The New York Times, 7 November 2019).
Menatap masa depan
Namun, kini, ASEAN dengan total produksi domestik bruto (PDB) 2,82 triliun dollar AS ini tidak memadai lagi dengan sistem politik yang ada dalam kelembagaannya.
ASEAN sudah mencanangkan Masyarakat Ekonomi ASEAN dan melihat demokrasi sebagai salah satu tujuannya. Akan tetapi, demokratisasi berjalan lebih lambat lagi. Evolusi menjadi kekuatan ekonomi dinamis ke depan, tidak mungkin lancar jika demokrasi tetap menjadi momok. Akan tetapi, soal demokrasi ini, ASEAN bisa dikatakan tidak beranjak cepat.
Solusi di ASEAN itu sendiri pun sebenarnya kondusif untuk proses demokratisasi dari dalam. ”Mendorong keamanan regional dan stabilitas lewat pengikatan pada sikap respek pada keadilan dan aturan hukum ...” Demikian salah satu tujuan dalam deklarasi ASEAN.
Ini senada dengan kesimpulan Coase, peraih Nobel Ekonomi 1991. Persoalannya, bagaimana kawasan ini menjadi aman dan stabil jika pilar-pilarnya menjauh dari demokrasi? Lebih jauh lagi, bagaimana ASEAN menolong dirinya sebab terikat untuk tidak mencampuri urusan politik setiap negara anggota. ”Tidak mencampuri urusan di dalam setiap negara anggota oleh sesama anggota ASEAN ...” Inilah deklarasi lain ASEAN.
ASEAN bergeming soal masalah HAM di setiap negara anggotanya. ”Dengan sebuah senyuman, ASEAN melindungi keotoriteran”, demikian judul tulisan di harian The New York Times edisi 7 November.
Preseden baik
Bagaimana ASEAN bisa memuluskan visi ”Masyarakat ASEAN” di tengah momok kediktatoran? Dan di sisi lain, tuntutan demokrasi kian kuat pada generasi mudanya. Kediktatoran di zaman teknologi informasi masih terjadi di ASEAN yang dinamis secara ekonomi. Ini adalah sebuah ironi.
Inilah tantangan utama. Ke depan, bagaimana ASEAN menanggapi masalah HAM di setiap negara anggotanya sebagai bagian dari demokratisasi. ASEAN rentan digonggongi Uni Eropa dan AS soal HAM. ASEAN sendiri tidak mau saling menggonggong, padahal merekalah yang paling berkepentingan dengan kemajuan demi masa depan.
Saatnya ASEAN berpikir soal deklarasi non-intervensi ini. ASEAN seharusnya tersadar, masa depan lebih penting ketimbang membiarkan catatan buruk HAM dan keditaktoran eksis.
ASEAN menghadapi China yang kian kuat. Ada untungnya ASEAN tidak tabu soal demokrasi. ASEAN tidak menyadari keberuntungan ini bahwa demokratisasi, bagaimanapun juga, berkembang lebih maju daripada China.
Masa depan ASEAN yang kini berpenduduk 640 juta ada pada generasi mendatang. Jangan biarkan generasi berikutnya ”menua sebelum kaya” (aging before getting rich) karena pembangunan terhambat dalam sendi-sendi kenegaraan.
ASEAN nyatanya telah bertumbuh menjadi lebih demokratis. Ini preseden baik dengan contoh relatif bagus dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan kini Myanmar. Dengan caranya tersendiri, ASEAN harus berani mengatakan tidak lagi pada kediktatoran. Jangan biarkan lagi digonggongi oleh negara luar ASEAN soal demokrasi. (AP/AFP/REUTERS)