Ingatlah Selalu Pahitnya “Annus Horribilis”
Indonesia harus menjaga rambu-rambu ekonomi terkait kebijakan uang mudah AS. Sikap sepele berpotensi meluluhlantakkan kehidupan bangsa dari sisi ekonomi. Hindari “annus horribilis”, tahun-tahun dengan kengerian ekonomi.
Tidak pernah bisa melupakan krisis 1997. Saya berkesempatan menyaksikannya. Gerobak mi ayam pun ditelantarkan di sebuah jalan di bilangan Jalan Kali Malang, Jakarta Timur. ”Korban krisis moniter”, demikian pemiliknya menuliskan kepahitan. Maksudnya, korban ”krisis moneter”.
Harga terigu memang melonjak ketika itu. Maklum terigu impor. Banyak karyawan mendadak pengangguran dan memunculkan kafe-kafe tenda, ramai jualan oleh orang-orang white collar. Bangunan-bangunan perumahan, perkantoran kosong melompong. Banyak kegiatan bisnis terhenti.
Banyak bertumbuhan pepohonan ubi kayu di zaman itu di lahan-lahan kosong Jabodetabek. Simbol anjloknya daya beli. Hingga penumpang pesawat komersial pun sepi, bisnis lintas negara, demikian pula mobilitasnya pun anjlok drastis.
Ya, istilah pada 1997 ini tenar dengan sebutan krisis moneter. Sekian lama mereka yang belajar ekonomi sudah mendengar istilah krisis ekonomi, hingga depresi dan malaise. Ini julukan bagi tingkatan kelesuan ekonomi.
Kejatuhan ekonomi membangkrutkan banyak perusahaan. Dampaknya memang kepahitan hidup sekitar nyata sekali.
Akan tetapi, semua istilah itu sulit atau hanya bisa dibayangkan jika tak dirasakan atau tak disaksikan langsung. Kejatuhan ekonomi membangkrutkan banyak perusahaan. Dampaknya memang kepahitan hidup sekitar nyata sekali.
Bayi-bayi kurang gizi, anak-anak putus sekolah, kengerian besar ketika krisis itu menerpa.
Akankah terulang lagi?
Pertanyaannya sekarang apakah kisah pahit akan terulang lagi? Setiap negara sangat berpotensi mengalami lagi resesi besar. Krisis 1997 jelas dipicu pelarian modal asing dari Asia, tentu termasuk Indonesia. Timbunan utang dollar AS akibat mudahnya mendapatkan pinjaman tanpa sadar kemampuan membayarnya, itulah yang membuat pemodal asing lari dari Asia ketika itu.
Mendadak dollar AS diserbu, dipicu lagi kepanikan rumah tangga yang menukarkan buru-buru rupiah ke dollar AS, bagi yang berkesempatan. Ini menaikkan kurs rupiah, menaikkan biaya impor secara drastis.
Pelarian modal dalam denominasi dollar AS itu dipicu perubahan suku bunga inti (prime rate) oleh bank sentral AS.
Tentu, jorjoran mendapatkan pinjaman dollar AS untuk membiayai kegiatan bisnis yang menghasilkan rupiah adalah perangkap besar untuk ekonomi, yang kemudian terkena krisis.
Otoritas moneter AS pun tersadar kemudian akan efek kebijakan mereka ke seluruh dunia. Tentu, jorjoran mendapatkan pinjaman dollar AS untuk membiayai kegiatan bisnis yang menghasilkan rupiah adalah perangkap besar untuk ekonomi, yang kemudian terkena krisis. Kesadaran akan bahaya pinjaman asing tidak terlalu menakutkan ketika itu. Bahayanya adalah risiko besar pelarian modal seketika, yang barulah sekarang ini diamati sebagai sangat rawan.
Baca juga: China Bermain Cantik lewat Yuan
”Saya amati, ketika bank sentral AS mengetatkan kebijakan moneter, ada reperkusi di banyak negara. Ada pelemahan di pasar keuangan dan perlambatan pada prospek pertumbuhan ekonomi global,” demikian kata mantan gubernur bank sentral AS, Janet Yellen, dikutip harian The Wall Street Journal, 28 Juli 2019.
Kalimat Yellen merujuk pada pengamatannya sebagai gubernur bank sentral AS sejak 2014. Dia semakin mendalami efek kebijakan moneter AS yang berefek kuat ke seantero dunia.
Efek uang mudah
Sebelum krisis 1997, sejarah moneter menunjukkan, bank sentral AS lebih sering menurunkan suku bunga inti (prime rate). Ini disebut easy money policy berefek pada kenaikan uang beredar. Situasi conundrum perekonomian AS mendorong penurunan suku bunga di akhir dekade 1980-an hingga awal 1990-an.
Situasi begitu sulit mendorong perekonomian, demikian pernah kata Alan Greenspan, gubernur bank sentral AS ketika itu. Penambahan uang beredar di AS menjadi alternatif pendorong pertumbuhan. Diturunkanlah suku bunga dengan tujuan memasok uang beredar berbunga murah agar orang-orang terdorong berkonsumsi dan berinvestasi.
Baca juga: Pemodal Asing Akan Menyerbu Indonesia
Efek kebijakan Greenspan, berlabuhlah uang asal AS secara global. Sebagian masuk Asia hingga ke Indonesia. Ekonomi Asia tumbuh pesat hingga muncul buku tulisan Bank Dunia pada 1993, The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy (World Bank Policy Research Report). Seperti ajaiblah kiranya perekonomian Asia ketika itu, negara demi negara di Asia bertumbuhan ekonominya.
Awal dekade 1990-an, efek uang mudah ini ditandai dengan era pinjaman asing yang begitu mudah diraih. Perusahaan-perusahaan di Indonesia gencar memamerkan pinjaman asing mudah seakan itu pertanda bonafiditas kuat. Hal ini berlangsung sekian lama, pinjaman mudah itu. Tidak banyak yang menanyakan bagaimana pembiayaan pinjaman dalam denominasi dollar AS itu jika saatnya jatuh tempo untuk membayar.
Baca juga: Deutsche Bank, Korban Ambisi Besar?
Kebanyakan usaha bermodalkan pinjaman asing itu menghasilkan rupiah. Penerimaan rupiah tidak bermasalah jika dipakai untuk membayari pinjaman asing, sepanjang kurs stabil. Soal ini pada awal dekade 1990-an tidak banyak yang hirau.
Asia dan juga Indonesia tidak kapok meski pada akhir 1994 terjadi ”Tequilla Fever”, julukan bagi krisis peso Meksiko. Kurs peso merosot drastis dari kisaran 3,5 peso per dollar AS menjadi di atas 7,5 peso per dollar AS. Mata uang kawasan pun ikut anjlok.
”Taper tantrum”
Era 1994 ini juga ditandai dengan kenaikan suku bunga inti di AS. Ini pembalikan dari kebijakan uang mudah yang sebelumnya dijalankan bank sentral AS. Naiknya suku bunga membuat modal lari dari Meksiko, salah satu penyebab utama yang menggoyang kurs peso Meksiko.
Asia merasa nyaman saja, tak sadar bahaya besar. Meksiko jauh sejarak setengah benua. Padahal, kemudian, hanya perlu dua tahun lebih untuk membuat Asia mengalami apa yang terjadi pada Desember 1994 di Meksiko.
Baht Thailand terjun bebas dari level 25 baht per dollar AS menjadi sekitar 55 baht per dollar AS. Krisis baht memiliki efek domino ke won Korea Selatan, ringgit Malaysia, dan rupiah. Efek kenaikan suku bunga di AS perlahan telah merembet ke Asia, bahkan memukul sangat telak.
Efek kejatuhan kurs adalah naiknya beban pinjaman dalam denominasi mata uang lokal. Untuk Indonesia, beban atas pinjaman dollar AS, makin naik dalam denominasi rupiah dalam hal kurs rupiah meroket. Rentetan gagal bayar utang (default) menerpa Asia. Ekonomi terkontraksi. Untuk Indonesia, kurs pernah mencapai level di atas Rp 15.000 per dollar AS dari kisaran RP 2.000 per dollar AS.
Uang kembali berdatangan
Itu kisah masa lalu. Kini, pola serupa mulai terjadi. Pola yang terlihat dalam jangka pendek ke depan, uang mudah akan balik lagi ke Asia, juga ke Indonesia. AS akan terus terjebak kebijakan uang mudah. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo sudah menyatakan uang asing berdatangan dalam bentuk investasi portolio.
Akan tetapi, ini bisa mendadak berubah menjadi ”uang beracun”. Maka, hal yang urgen diperhatikan adalah efek modal AS yang meluber ke dunia ini, rentetan kebijakan uang mudah di AS kelak. Seperti peringatan Yellen, nyata efek meluber itu ke dalam stabilitas ekonomi Indonesia.
Begitu masuk, akan nyata pula efek buruknya jika terjadi pelarian mendadak. Ini sudah terbukti. Di awal 2013 saat menjabat gubernur bank sentral AS Ben Bernanke memperingatkan akan ada pengetatan uang beredar, antara lain lewat penurunan suku bunga. Hal itu saja sudah membuat rupiah kerepotan. Pelarian modal terjadi.
Makin berat lagi posisi rupiah saat janji Bernanke diwujudkan pada 2015, kenaikan suku bunga di AS. Rentetan kenaikan suku bunga terus terjadi selama empat tahun berikutnya hingga Juli 2019. Efeknya sama, rupiah keteteran. Mata uang kawasan pun demikian.
Tetaplah saksama
Kini AS mulai lagi menjalankan kebijakan ujang mudah. Modal akan berdatangan apalagi Indonesia adalah salah satu favorit tujuan. Mengantisipasi pembalikan arus modal ini kelak, itulah yang wajib diwaspadai. Kestabilan rupiah berpotensi menjadi taruhan.
Secara umum langkah yang harus diambil adalah pemeliharaan rambu-rambu, menjaga rasio utang. Status utang harus aman, secara nasional maksimal 60 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Neraca transaksi berjalan harus aman, minimal 3 persen dari PDB. Cadangan devisa harus aman, minimal bisa membiayai kewajiban luar negeri selama lima bulan kedepannya. Ini tugas teknokrat negara di bidang ekonomi.
Akan tetapi, posisi makro tak selalu menjamin kestabilan nasional. Pernah almarhum ekonom Dr Sjahrir mengatakan, perhatikan sisi mikro-nya. Dalam konteks ini, perhatikan posisi-posisi perusahaan domestik yang tergiur uang mudah sehingga menimbun utang dollar AS. Titik ini memang rawan jika tak ditangani serius.
Untuk ini Otoritas Jasa Keuangan memang harus ekstra kerja keras. Jika pemantauan tentang ini luput, efeknya bisa memunculkan situasi annus horribilis. Ekonomi bisa ambruk dan berefek PHK massal. Seperti kata ungkapan, antisipasilah kemarau di kala musim hujan.
Belajarlah dari China, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan. Ini negara-negara yang relatif aman dari efek kebijakan uang mudah AS, juga aman dari kebijakan sebaliknya. Mereka negara-negara tangguh menghadapi guncangan kurs.
Maka, janganlah lagi sepele sebab sikap sepele berpotensi meluluhlantakkan kehidupan bangsa dari sisi ekonomi. Hindari annus horribilis, tahun-tahun dengan kengerian ekonomi.