Memihak Masa Depan
Sebuah status teman di Facebook beberapa waktu lalu menggelitik untuk dipikirkan secara saksama. Teman itu, yang kebetulan adalah seorang mekanik dan pemilik bengkel mobil, membuat daftar panjang berbagai dampak negatif yang akan terjadi saat era kendaraan listrik nanti datang.
Paling tidak ada sepuluh poin keburukan yang menurut dia akan terjadi saat pemerintah membuat kebijakan tentang kendaraan listrik, yang harus dibaca bahwa pemerintah pro-kendaraan listrik. Mulai dari tutupnya ratusan ribu bengkel mobil (konvensional) dari Sabang sampai Merauke, pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di sektor industri otomotif, tutupnya semua SMK jurusan otomotif, meningkatnya defisit neraca perdagangan Indonesia dengan China (yang dinilai paling siap dengan industri komponen kendaraan listrik), sampai tingkat kejahatan yang merajalela.
Sementara benefit kendaraan listrik, menurut dia, hanya satu, yakni biaya transportasi lebih murah.
Benarkah seluruh ramalan tragis itu?
Pada sekelebatan pandangan pertama, ketakutan teman ini sangat bisa dipahami dan kemungkinan besar dia tidak sendirian, terutama di kalangan mereka yang menggantungkan hidup pada industri otomotif. Memang akan ada begitu banyak konsekuensi yang harus terjadi saat era itu tiba kelak. Maka, wajar jika kemudian muncul pihak pro dan kontra terhadap era mobil dan sepeda motor listrik itu.
Namun, persoalannya bukan pada kita memihak kendaraan listrik atau tidak. Masalahnya adalah kita tak punya pilihan lain. Tak punya pilihan lain kecuali memihak pada masa depan!
Mengapa? Karena berdasarkan hukum fisika yang mengatur alam semesta ini, hanya ada satu arah waktu yang bisa kita tempuh, yakni ke depan. Tak ada alat atau sarana apa pun yang bisa membuat kita bertahan di saat sekarang, apalagi hijrah ke masa lalu. Kalaupun ada, mungkin alat itu juga baru akan ditemukan di masa depan. Jadi, tak ada pilihan lain kecuali bergerak ke depan.
Dan dalam dunia industri otomotif, masa depan itu adalah kendaraan listrik. Electric vehicles, entah itu mobil, sepeda motor, sepeda, becak, odong-odong, atau bahkan pesawat terbang, dan kapal. Istilah elektromobilitas mungkin lebih generik, mobilitas manusia yang digerakkan energi listrik, karena sungguh tak hanya mobil atau sepeda motor yang suatu saat akan menjadi electric vehicles alias EV.
Baca juga: Industri Otomotif Menanti Peraturan Presiden
Sejak setahun lalu, tepatnya November 2017, raksasa industri dirgantara Eropa, Airbus, telah mengumumkan kerja sama dengan produsen mesin Rolls-Royce dan Siemens untuk mengembangkan sistem hybrid-electric guna menerbangkan pesawat komersial konvensional yang dinamakan teknologi E-Fan X.
Sebagai basis unjuk teknologi ini adalah pesawat penumpang BAe 146 yang aslinya digerakkan empat mesin turbofan berbahan bakar fosil. Dalam proyek E-Fan X ini, satu dari empat mesin konvensional itu akan diganti dengan motor listrik berkekuatan 2 megawatt untuk menggerakkan bilah-bilah kipasnya.
Jika seluruh uji darat telah dilalui, pesawat hybrid ini akan diterbangkan pada tahun 2020. Setelah itu, akan dilanjutkan dengan mengganti satu lagi mesin turbofan BAe 146 tersebut dengan motor listrik. ”Kami melihat teknologi propulsi hybrid-electric ini sangat menggoda dan menarik bagi masa depan penerbangan,” ungkap Paul Eremenko, Chief Technology Officer Airbus, tahun lalu.
Baca juga: Punya Mobil Listrik? PLN Gratiskan Biaya Tambah Daya
Sementara di Norwegia tengah dibangun kapal pengangkut peti kemas yang sepenuhnya bertenaga listrik. Seperti dikabarkan laman CleanTechnica, kapal ini akan ditenagai baterai berkapasitas 7,5-9 megawatt-hour (MWh), atau setara dengan 90 baterai yang dipasang pada mobil elektrik premium Tesla Model X P100D.
Untuk tahap awal, kapal kargo ini memang tidak berukuran besar, dengan panjang 70 meter dan lebar 14 meter, dan hanya mampu mengangkut 120 kontainer. Yang menarik, pada 2022, kapal ini akan dioperasikan sepenuhnya tanpa kendali manusia alias swakemudi.
Pilihan
Namun, benarkah ”sesempit” itu pilihannya? Tak adakah pilihan tenaga penggerak lain selain listrik di masa depan? Ya, secara sederhana, pada dasarnya selama tidak ada teknologi yang bisa mengubah air (terutama air laut) atau udara di atmosfer menjadi bahan bakar seperti bensin dan solar, tak ada masa depan yang terlalu panjang bagi mesin pembakaran internal (internal combustion engine/ICE).
Menjelang dasawarsa ketiga abad ke-21 ini, sepertinya sudah menjadi pengetahuan umum bahwa cadangan bahan bakar fosil di dunia ini tidak tak terbatas dan tak bisa diperbarui. Lima tahun silam, perusahaan minyak BP meramalkan, seluruh cadangan minyak yang sudah diketahui di dunia bakal habis dalam kurun waktu 53,3 tahun dengan laju ekstraksi dan konsumsi waktu itu.
Memang data itu kemudian dikoreksi dengan penemuan cadangan minyak baru, terutama dari sumber-sumber minyak nonkonvensional, seperti shale oil, di Amerika Serikat. Lembaga riset energi asal Norwegia, Rystad Energy, dalam laporan 15 Juni 2018 memperkirakan, cadangan minyak terbaru AS itu bisa bertahan setidaknya hingga 79 tahun lagi.
Baca juga: Perlu Insentif untuk Memacu Kendaraan Listrik
Namun, kalaupun tersedia cadangan minyak yang masih bisa didayagunakan hingga akhir abad ini, pertanyaan selanjutnya adalah: mampukah lingkungan planet ini mendukung penggunaan bahan bakar fosil hingga selama itu?
Tak perlu seorang pakar lingkungan menjelaskan sekali lagi apa dampak emisi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil itu bagi atmosfer dan iklim kita. Emisi karbon dioksida, sebagai komponen terbesar gas rumah kaca penyebab pemanasan global, terus naik dari tahun ke tahun.
Sebagian besar emisi karbon tersebut berasal dari pemakaian bahan bakar fosil, baik untuk mobilitas transportasi maupun industri. Jika pemakaian bahan bakar fosil ini tak segera ditekan dengan mencari sumber energi penggerak lain, berbagai ramalan katastrofi pemanasan global pun tak terelakkan.
Jadi, elektromobilitas akan dan harus terjadi.
Mampu kah lingkungan planet ini mendukung penggunaan bahan bakar fosil hingga selama itu?
Tak lagi jauh
Dan satu lagi yang harus disadari adalah, masa depan itu sudah tak lagi terletak jauh di depan kita. Era elektromobilitas itu sudah dimulai saat ini dan di sini, entah kita mau mengakuinya atau tidak.
Tak usah buru-buru melihat kelas dengan hanya menyebut pemain-pemain eksklusif di segmen ini, seperti Tesla, BMW i, atau Mercedes-EQ, yang mungkin tak akan bisa dimiliki sebagian besar dari kita sampai akhir hayat. Tetapi asal tahu saja, pabrikan sepeda motor buatan lokal, Viar, bahkan sudah menjual sepeda motor listrik ini sejak tahun lalu. Satu lagi sepeda motor listrik buatan dalam negeri, Gesits, juga sudah meluncur ke pasar sejak April 2019.
Saya yakin dalam waktu tak terlalu lama lagi, elektromobilitas ini akan menjadi bagian dari keseharian kita sebagaimana internet dan telekomunikasi seluler. Masih ingatkah bagaimana kita dulu memperdebatkan perkembangan teknologi telekomunikasi nirkabel itu 20-30 tahun silam? Era itu akan datang, tak peduli kita setuju atau tidak, tidak peduli apa pun dampak yang dikhawatirkan akan terjadi.
Jadi, dengan segala hormat, segala ketakutan dan perdebatan soal perlu tidaknya kita mempersiapkan diri (termasuk dengan persiapan kebijakan dan hukum) menuju era elektromobilitas ini adalah sesuatu yang usang, tidak relevan, dan berbahaya jika tidak kita tinggalkan segera.
Mengapa berbahaya? Karena 10 poin ketakutan yang diuraikan teman dekat saya tadi akan benar-benar jadi nyata jika kita masih mempertahankan ketakutan dan masih nyaman dengan adu pinter berdebat.
Maka yang bisa kita lakukan adalah segera bersiap diri menyongsong masa depan yang pasti terjadi.
Maka yang bisa kita lakukan adalah segera bersiap diri menyongsong masa depan yang pasti terjadi, sebagaimana kita mengerjakan setiap PR yang pasti harus dikumpulkan di kelas esok pagi, atau sebagaimana kita menyiapkan jaket, jas hujan dan payung setiap menjelang bulan Desember.
Apa yang harus dilakukan adalah hal yang sudah tertanam di DNA kita sejak evolusi bergerak di muka Bumi ini: beradaptasi dan berkembang!
Bagaimana nasib ratusan ribu atau bahkan jutaan mekanik mesin konvensional saat mobil dan sepeda motor sudah tak ada lagi yang memakai mesin tersebut? Ini seperti pertanyaan bagaimana nasib para mekanik karburator saat mesin injeksi mulai bermunculan di pasar, akhir 1980-an silam. Satu-satunya jalan, ya, beradaptasi, pelajari cara kerja teknologi baru itu sehingga saat ia datang ke bengkelmu, kamu bisa menanganinya.
Bagaimana nasib montir spesialis bongkar pasang transmisi manual saat mobil bertransmisi otomatis kian menjamur saat ini? Ya tak ada pilihan lain kecuali belajar hal ihwal transmisi matic agar tidak mati di bengkel sendiri.
Bagaimana nasib SMK yang lulusannya tak dibutuhkan lagi karena mobil listrik hanya perlu ganti baterai secara rutin seperti ponsel, dan tak perlu lulusan SMK untuk mengerjakan itu. Ya, seiring dengan matinya berbagai teknologi lama di sebuah EV, datang beribu teknologi baru di dalamnya. Itulah yang harus dipelajari anak-anak SMK masa depan agar bisa menangani berbagai persoalan engineering teknologi itu pada saatnya.
Dan bagaimana dengan defisit neraca perdagangan Indonesia dan China yang akan makin membesar karena hanya China lah satu-satunya negara yang sudah siap dengan hal ihwal elektromobilitas ini? Di sini lah justru terletak poin terpenting.
Mengambil momentum
Indonesia, lebih dari negara-negara lain di dunia ini, adalah negara yang harus mengambil momentum perubahan zaman ini sesegera mungkin. Ada beberapa alasan.
Pertama, teknologi elektromobilitas yang ada dan sudah dipasarkan saat ini belum menjadi teknologi yang sudah final kematangannya. Bahkan nama-nama besar yang ada di garis depan perintisan teknologi ini, seperti Toyota, BMW, dan Tesla, mengakui hal itu. Begitu banyak peluang yang masih terbuka untuk mengembangkan teknologi ini.
Dari sisi baterai misalnya. Ini adalah bagian vital dari sebuah mobil atau motor listrik. Namun sampai sekarang belum ditemukan satu teknologi final untuk membuat baterai yang bisa menyimpan listrik dalam kapasitas besar sehingga bisa digunakan untuk menggerakkan mobil dalam jarak jauh, atau teknologi pengecasannya sehingga mobil bisa dicas penuh dengan kecepatan yang setara, katakanlah, dengan pengisian bensin di SPBU.
Bahkan BMW pun menjalin kerja sama riset dengan berbagai pihak di sejumlah negara untuk mencari alternatif teknologi baterai yang lebih baik daripada teknologi Lithium-ion yang menjadi andalan dunia perbateraian saat ini.
Belum lagi sederet teknologi lain yang berada di dalam sebuah EV. Mulai dari sistem kecerdasan buatan sebagai kontrol sistem penggerak, konektivitas, teknologi swakemudi, teknologi pembuatan material yang juga zero emission, sampai ke teknologi pertambangan berbagai mineral tanah jarang yang disyaratkan ada sebagai bahan baku tetek bengek teknologi canggih ini.
Di situ terbuka sejuta pintu bagi kita, orang Indonesia, untuk turut menjadi bagian dari penjelajahan dunia baru ini. Jadi alih-alih takut dengan teknologi baru, terjun dan basahlah sekalian ke dalamnya untuk ikut menentukan bentuk final teknologi itu nanti sehingga kita bisa menjadi pemain penting, tidak hanya penonton.
Ini berbeda, misalnya, dengan teknologi mesin pembakaran internal sebagai penggerak mobil atau kapal, atau teknologi turbin jet untuk menggerakkan pesawat udara. Teknologi-teknologi ini sudah sedemikian mapan dan bisa dikatakan paripurna. Tak peduli seberapa megah tekad kita bersama dan berapa besar biaya yang akan kita keluarkan, jangan bermimpi kita akan memiliki mobil nasional yang sesungguhnya dengan basis teknologi ini.
Alasan kedua adalah negeri kita dan kekayaan yang ada di dalamnya. Sebuah EV baru akan memenuhi syarat misi lingkungannya saat ia juga dioperasikan dengan listrik yang berasal dari sumber-sumber zero emission. Percuma (secara lingkungan) naik mobil listrik jika listriknya masih dihasilkan PLTU berbahan bakar batubara atau solar.
Walau sebuah studi yang dilakukan BMW pernah menyebut, angka emisi net karbonnya tetap lebih rendah daripada kita masih menggunakan mobil bermesin konvensional secara membuta seperti selama ini.
Dan bicara tentang sumber energi tanpa emisi dan terbarukan ini, Indonesia adalah gudangnya. Itu tanpa buru-buru melirik energi nuklir yang kontroversial itu. Energi panas bumi alias geotermal, misalnya, kita gudangnya.
Berdasarkan catatan BPPT, jumlah cadangan energi geotermal ini berpotensi memproduksi energi listrik sebesar 27.000 megawatt. Sementara yang termanfaatkan baru sekitar 1.179 megawatt.
Belum lagi kita bicara energi matahari. Coba bayangkan jika kawasan seperti Nusa Tenggara Timur yang berkelimpahan sinar matahari nyaris sepanjang tahun memiliki pembangkit listrik tenaga surya yang masuk akal skalanya.
Atau misalnya setiap pulau-pulau kecil, katakan lah seperti Natuna di Kepulauan Riau atau pulau-pulau di Kepulauan Seribu, memiliki pembangkit listrik tenaga bayu seperti di Sidrap, Sulawesi Selatan.
Belum lagi jika kita melihat kekayaan paling melimpah yang kita miliki: laut. Setiap laut akan menghasilkan ombak dan arus setiap saat sampai kapan pun. Dan setiap yang bergerak memiliki energi kinetik yang bisa kita ubah jadi energi listrik.
Terbayangkan berapa besar listrik yang bisa dihasilkan jika di setiap selat antar pulau dengan arus-arus laut kencang dipasangi turbin pembangkit, atau di setiap aliran laut karena pasang surut atau energi gelombang yang mengempas di pesisir-pesisir samudera diubah menjadi listrik.
Bukankah nanti perangkatnya akan cepat karat kena air laut? Yah, itu masalah teknis dan rekayasa yang bisa dicarikan jalan keluarnya selama kita mau merisetnya secara serius dan tak seberapa nilainya jika dibandingkan nilai suatu saat nanti kita akan menjadi penguasa teknologi itu di seluruh dunia.
Tentu saja ini sebuah mimpi yang membutuhkan waktu, tenaga, biaya, dan pengorbanan lain untuk mewujudkannya. Namun dengan tibanya fajar era elektromobilitas, pintu itu akhirnya terbuka lebar bagi kita. Tinggal apakah kita mau dan niat atau tidak untuk ikut memasukinya, atau hanya diam menunggu sampai pintu tertutup dan kita sekali lagi hanya bisa menjadi penonton dan pembeli.
Yang ketiga, kita harus sebenar-benarnya yakin bahwa kita, terutama anak-anak kita di masa depan, bisa menjawab tantangan ini seutuhnya.
Jadi, marilah kita tinggalkan masa lalu dan segera beranjak ke depan!