Menguatkan Nilai-nilai Pancasila
Kebijakan menjadikan Pancasila sebagai pelajaran wajib di sekolah dan perguruan tinggi disambut positif publik. Langkah ini diyakini mampu menguatkan kembali pengamalan nilai-nilai Pancasila.
Nilai-nilai Pancasila perlu dikuatkan terus-menerus sebagai upaya menggugah kesadaran warga negara tentang pentingnya perekat kebangsaan dan keindonesiaan. Penguatan ini bisa dilakukan dengan menjadikan Pancasila sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kurikulum pendidikan formal.
Menjadikan Pancasila sebagai bagian dari pendidikan wajib di semua tingkatan sudah menjadi komitmen pemerintah. Hal ini tertuang melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Peraturan pemerintah ini ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 12 Januari 2021.
Sebelumnya, di PP No 57/2021 Pancasila dan Bahasa Indonesia dihapus sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi. Kini dengan adanya PP 4/2022 sudah ditetapkan bahwa kurikulum pendidikan tinggi, baik tingkat diploma dan sarjana, wajib memuat mata kuliah Agama, Pancasila, Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia.
Nilai-nilai Pancasila perlu dikuatkan terus menerus sebagai upaya menggugah kesadaran warga negara tentang pentingnya perekat kebangsaan dan keindonesiaan.
Selain itu, di Pasal 40 PP Nomor 4 Tahun 2022 disebutkan, kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan Agama, Pancasila, Kewarganegaraan, Bahasa, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni dan Budaya, Pendidikan Jasmani dan Olahraga, Keterampilan/Kejuruan, dan muatan lokal.
Muatan kurikulum dalam bentuk mata pelajaran wajib adalah Pendidikan Agama, Pancasila, dan Bahasa Indonesia. Adapun muatan kurikulum yang lain bisa terpisah atau terintegrasi dalam bentuk mata pelajaran, modul, blok, dan/atau tematik (Kompas, 21/1/2022).
Terkait kebijakan Pancasila yang menjadi mata pelajaran wajib di sekolah dan perguruan tinggi ini diamini oleh mayoritas responden dalam jajak pendapat Kompas pekan lalu. Sebanyak 97,8 persen responden setuju dengan kebijakan pemerintah menerapkan Pancasila sebagai pelajaran wajib yang diikuti di seluruh tingkatan pendidikan.
Meskipun disikapi positif, kebijakan menjadikan Pancasila sebagai pelajaran wajib juga diharapkan tidak sekadar jargon dan formalitas. Memori era Orde Baru yang cenderung menjadikan pembelajaran Pancasila di dunia pendidikan sebagai indoktrinasi justru melahirkan antipati.
Sejarah mencatat, ketika akhir era Orde Baru, praktik indoktrinasi ini pun dihentikan karena dianggap bagian dari politik rezim Orde Baru.
Berpijak dari sejarah ini, tidak heran jika upaya menjadikan Pancasila sebagai pelajaran wajib cenderung disikapi kritis oleh kelompok responden dengan pendidikan tinggi. Dari kelompok responden yang setuju Pancasila sebagai pelajaran wajib, hanya sebagian kecil responden yang berlatar belakang pendidikan tinggi.
Sebaliknya, dari kelompok responden yang cenderung tidak setuju dengan kebijakan Pancasila menjadi pelajaran wajib di sekolah dan perguruan tinggi, sebagian besar justru diungkap oleh responden dari latar belakang pendidikan tinggi.
Hal ini berbeda jika dilihat dari latar belakang usia responden. Penyikapan soal kebijakan mewajibkan Pancasila sebagai pelajaran di sekolah dan perguruan tinggi, tidak begitu menjadi isu bagi kelompok responden berdasarkan latar belakang generasi.
Sikap setuju terhadap kebijakan ini relatif merata disampaikan oleh seluruh generasi. Responden dari generasi milenial cenderung lebih banyak yang menyikapi positif kebijakan ini.
Baca juga : Kesenjangan Menjalankan Nilai Pancasila
BPIP
Sayangnya, sikap positif responden terhadap kebijakan menjadikan Pancasila sebagai kurikulum wajib di dunia pendidikan ini belum diikuti oleh pengetahuan publik soal kehadiran lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Kurang dari sepertiga responden yang mengaku tahu keberadaan lembaga ini. Sisanya, sebanyak 73 persen mengaku tidak tahu sama sekali dengan lembaga ini.
Informasi seputar BPIP ini lebih banyak dikonsumsi oleh responden berpendidikan tinggi dan mereka yang berasal dari ketegori usia milenial. Hal ini menjadi potret bahwa keberadaan BPIP memang kurang diketahui oleh publik. Kondisi ini juga tidak lepas dari tren pemberitaan terkait BPIP yang cenderung melandai.
Padahal, sebelumnya isu terkait lembaga ini jadi perbincangan, terutama terkait kontroversi yang bersumber dari sejumlah pernyataan Kepala BPIP Yudian Wahyudi, khususnya yang berkaitan dengan isu relasi Pancasila dan agama. Setelah penjelasan lengkap terkait isu tersebut, kontroversi pun mereda dan perbincangan publik tentang BPIP pun ikut melandai.
Kini, dengan kebijakan Pancasila sebagai kurikulum wajib di dunia pendidikan, yang direncanakan dimulai Juli tahun ini, BPIP semestinya harus lebih banyak berperan. Apalagi, lembaga yang dibentuk di era Pemerintahan Jokowi pada 28 Februari 2018 ini langsung bertanggung jawab kepada Presiden.
BPIP membantu Presiden merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila.
Tugasnya pun tidak ringan. BPIP membantu Presiden merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, termasuk di antaranya memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila.
Tentu, pembentukan lembaga seperti BPIP tak lepas dari upaya pemerintah untuk menguatkan nilai-nilai Pancasila sebagai pegangan bagi penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat sebagai warga negara Indonesia, sekaligus sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan. Pengalaman membentuk badan serupa di era Orde Baru, misalnya, bisa menjadi pelajaran penting.
Sebelum BPIP, pemerintah pernah membentuk badan serupa bernama Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Dalam pelaksanaannya, badan ini dibantu Penasihat Presiden tentang Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P7).
Setelah era reformasi, badan ini kemudian dibubarkan. Di era Jokowi, sebelum BPIP lahir, sebelumnya juga dibentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). BPIP sendiri merupakan revitalisasi dari badan tersebut.
Ke depan peran BPIP harus lebih dioptimalkan di tengah-tengah masyarakat.
Ke depan, peran BPIP harus lebih dioptimalkan di tengah-tengah masyarakat. Banyaknya responden yang belum tahu keberadaan BPIP pada akhirnya juga berpengaruh pada penilaian mereka pada kinerja lembaga ini. Dari kelompok responden yang mengetahui keberadaan BPIP, hanya sepertiga dari mereka yang menyatakan puas dengan kinerja lembaga ini.
Sisanya menyatakan sebaliknya, yakni tidak puas dengan kinerja BPIP. Penilaian ini boleh jadi juga tidak lepas dari masih minimnya referensi dan informasi terkait kerja-kerja BPIP dalam pemberitaan media maupun sosialisasi di tingkat publik.
Langkah BPIP yang berupaya mendekatkan Pancasila dengan gaya generasi muda saat ini bisa menjadi langkah jitu untuk mendekatkan kembali kampanye Pancasila dengan masyaralat. Hal ini pernah disampaikan oleh Kepala BPIP Yudian Wahyudi saat pertemuan koordinasi dengan kementerian dan lembaga di Jakarta (Kompas, 18/2/2020).
Menurut dia, Pancasila sebagai sikap hidup dan sumber dari segala hukum di Indonesia diharapkan dapat melekat ke seluruh lapisan masyarakat, termasuk generasi muda. Oleh karena itu, Pancasila perlu disampaikan sesuai dengan kebiasaan anak muda, yakni melalui teknologi digital. Boleh jadi ini juga strategi untuk menguatkan nilai-nilai Pancasila di generasi penerus bangsa.
Baca juga : Menyudahi Trikotomi Pancasila
Lebih menguatkan
Terlepas masih minimnya pengetahuan publik terhadap BPIP, kebijakan memasukkan Pancasila sebagai kurikulum wajib di sekolah dan perguruan tinggi diyakini akan lebih menguatkan penerapan nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat.
Hal ini terekam dari sikap mayoritas responden (88,8 persen) yang meyakini kebijakan ini akan mampu lebih mengenalkan kepada generasi muda tentang nilai-nilai Pancasila dan pelaksanaannya di masyarakat.
Bagaimanapun, Pancasila adalah dasar negara yang menjadi perekat bagi anak bangsa yang berlatar belakang berbeda-beda. Ia akan selalu menjadi nilai-nilai yang lahir keluhuran bangsa Indonesia sendiri.
Seperti yang Soekarno bilang, ”Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah.”
Tentu, sejarah merekam, lahirnya Pancasila tidak bisa dilepaskan dari tokoh-tokoh bangsa. Untuk itu, Pancasila sebenarnya bukan sekadar produk sejarah, tetapi juga menjadi warisan bagi masa depan bangsa Indonesia.
Tentu, dalam penerapannya, Pancasila juga membutuhkan keteladanan dari elite di negeri ini. Pancasila tidak hanya dilihat dari sejauhmana warga negara menjalankan nilai-nilai luhur tersebut di tengah kehidupan sehari-hari, tetapi juga harus ditopang dengan praktik nilai-nilai Pancasila dalam perilaku elite, terutama dalam penyelenggaraan negara. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Memaknai 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila