Pelari dengan prostetik bilah atau ”blade runner” bukan tidak mungkin dikalahkan. Mereka juga mempunyai titik lemah.
Oleh
WISNU AJI DEWABRATA DARI PARIS, PERANCIS
·3 menit baca
Penggunaan kaki palsu atau prostetik berbentuk bilah untuk pelari difabel masih menjadi kontroversi. Banyak penelitian tentang prostetik yang dijuluki blade runner itu dengan hasil berlawanan. Ada penelitian yang menyimpulkan prostetik meningkatkan kecepatan pelari karena cara kerjanya seperti pegas. Namun, ada juga penelitian yang menyimpulkan prostetik tidak banyak berpengaruh terhadap kecepatan pelari.
Menurut situs paralympicheritage.co.uk, penggunaan prostetik bilah pertama kali pada tahun 1970-an. Prostetik bilah itu dirancang oleh Van Phillips, seorang penemu berkebangsaan Amerika Serikat yang juga seorang difabel. Van Phillips mendapat ide dari pengamatannya pada binatang kanguru dan cheetah, serta cara kerja papan loncat indah dan olahraga lompat galah.
Pada tahun 1996, sebuah perusahaan di Eslandia, yaitu Ossur, memproduksi prostetik bilah yang diberi nama Cheetah. Bentuknya yang melengkung membuat atlet difabel yang memakainya terbantu oleh energi yang tersimpan pada bilah saat bilah terdorong ke bawah. Kaki palsu model blade runner semakin populer setelah dipakai oleh sprinter difabel asal Afrika Selatan, Oscar Pistorius.
Pada ajang Paralimpiade Paris 2024, atlet yang menggunakan prostetik bilah berlomba di klasifikasi T63 (keterbatasan gerak pada sebelah kaki dan menggunakan kaki palsu) digabung dengan atlet klasifikasi T42 (keterbatasan gerak pada sebelah atau kedua kaki tanpa kaki palsu) karena minimnya peserta dengan klasifikasi T42.
Pelari Indonesia, Karisma Evi Tiarani, yang bertanding di nomor lari 100 meter putri klasifikasi T63 membuktikan pelari tanpa prostetik seperti dirinya bisa mengalahkan pelari dengan prostetik bilah meskipun tidak mudah.
Itu terbukti pada final 100 meter putri T63, Minggu (7/9/2024), di Stadion Stade de France, Paris. Evi berhasil meraih perak dengan selisih waktu sangat tipis dibandingkan pelari dengan prostetik bilah. Terlepas terjadinya insiden dalam perlombaan yang menyebabkan dua pelari Italia terjatuh, Evi sangat yakin dapat meraih perunggu atau setidaknya finis keempat.
Menurut Evi yang sebenarnya adalah atlet klasifikasi T42, digabungnya perlombaan klasifikasi T63 dan T42 seperti di Paris merugikan dirinya. Apa hendak dikata, panitia penyelenggara sudah memutuskan demikian.
”Biasanya kelas T42 digabung dengan T63, tetapi ke depan saya berharap bisa bertanding di kelas sendiri karena berat (melawan atlet T63). Harus main strategi, di awal harus lebih cepat dari mereka yang pakai kaki palsu. Karena entah kebetulan atau apa di akhir pertandingan mereka tambah cepat,” ujar pelari asal Boyolali, Jawa Tengah, itu.
Untuk menghadapi pelari blade runner, persiapan khusus dilakukan Evi dengan memaksimalkan kecepatan saat start dan melatih endurance. Pelari tanpa prostetik seperti dirinya harus berlari meninggalkan lawan yang memakai prostetik sejak start agar mereka sulit mengejar.
”Biasanya di jarak di 60 meter terakhir (pelari prostetik) mulai kencang. Sementara kakiku yang lemah adalah kaki kiri, biasanya kalau sudah 60 meter terasa agak capek,” kata Evi.
Menurut Evi, keberhasilannya mengalahkan pelari-pelari dengan prostetik bilah malam itu merupakan gabungan antara kerja kerasnya selama latihan dan juga keberuntungan setelah dua pelari Italia yang merupakan saingan beratnya terjatuh menjelang finis.
Pelatih atletik Setiyo Budi Hartanto sepakat, pelari dengan prostetik bilah bukan tidak mungkin dikalahkan oleh pelari tanpa prostetik bilah.
Dulu di Tokyo, Evi yang jatuh, sekarang mereka yang jatuh.
Hal itu sudah dibuktikan Evi yang mampu bersaing dengan tiga pelari Italia dengan prostetik bilah. Tiga pelari itu, yaitu Martina Caironi, Monica Grazia Contrafatto, dan Ambra Sabatini, selama beberapa tahun terakhir adalah penguasa klasifikasi T42/T63.
”Kalau di Paralimpiade Tokyo tiga-tiganya (pelari Italia) dapat medali. Mereka memang julukannya Charlie’s Angel dari Italia. Dulu di Tokyo, Evi yang jatuh, sekarang mereka yang jatuh,” kata Setiyo.
Dengan persiapan matang dari atlet dan strategi yang tepat saat lomba, pelari dengan prostetik bilah masih bisa dikalahkan.