Karisma Evi Raih Perak dan Dua Kali Pecahkan Rekor Dunia
Dalam hidup, banyak hal yang terjadi di luar kontrol, sama seperti dalam perlombaan atletik.
Oleh
WISNU AJI DEWABRATA
·3 menit baca
PARIS, KOMPAS — Orang Perancis suka mengatakan c’est la vie yang artinya lebih kurang ”begitulah hidup”. Dalam hidup, banyak hal yang terjadi di luar kehendak dan kendali kita. Seperti itulah yang terjadi ketika Karisma Evi Tiarani meraih medali perak nomor lari 100 meter putri klasifikasi T63 Paralimpiade Paris sekaligus dua kali memecahkan rekor dunia klasifikasi T42 atas namanya sendiri di Stadion Stade de France, Paris, Perancis, Sabtu (7/9/2024) malam waktu Paris atau Minggu (8/9/2024) dini hari WIB.
Evi berhak meraih medali perak seusai mencatatkan waktu 14,26 detik pada babak final. Catatan waktu itu memecahkan rekor dunia klasifikasi T42 atas namanya sendiri, yaitu 14,34 detik, yang diukirnya pada babak kualifikasi nomor tersebut pada hari dan tempat yang sama.
Babak final nomor lari 100 meter putri klasifikasi T63 berjalan penuh dengan drama di trek. Trio pelari Italia yang menggunakan prostetik (kaki palsu) berbentuk bilah di salah satu kakinya, yaitu Martina Caironi, Monica Graziana Contrafatto, dan Ambra Sabatini, gagal menguasai podium pertama sampai ketiga. Saat Paralimpiade Tokyo, Sabatini juara pertama, diikuti Caironi, dan Contrafatto.
Dalam final dini hari tadi, Evi dan pelari Inggris, Ndidikama Okoh, melakukan start dengan baik. Kedua pelari tanpa prostetik itu berlari lebih cepat dari enam pelari lain yang menggunakan prostetik. Persaingan ketat baru terjadi setelah 50 meter yang kedua ketika pelari dengan prostetik menempel Evi dan Okoh.
Beberapa meter menjelang finis, Sabatini terjatuh yang menyebabkan Contrafatto yang berlari di sebelahnya ikut terjatuh. Sementara Caironi berhasil menyalip Evi sehingga dia finis pertama (14,16 detik) diikuti Evi (14,26 detik). Sabatini menjerit kemudian menangis karena gagal finis, padahal dia adalah pemegang rekor dunia klasifikasi T63 (13,98 detik) dan rekor Paralimpiade (14,11 detik).
Okoh semula dinyatakan finis ketiga dengan catatan waktu 14,59 detik dan berhak atas perunggu. Namun, Italia protes karena saat di garis finis posisi tangan Contrafatto, yang finis dengan waktu 14,60 detik, lebih di depan daripada tubuh Okoh. Akhirnya diputuskan Contrafatto dan Okoh sama-sama finis ketiga dan keduanya berhak atas perunggu.
Bagi Evi, hasil tersebut merupakan balas dendam dari Paralimpiade Tokyo. Saat itu Evi finis keempat dan terjatuh saat sudah di dekat garis finis.
”Saya awalnya tidak percaya. Saya tidak begitu melihat ke layar, (ternyata) waktu saya 14,26 detik. Itu tidak menyangka karena sebelumnya belum pernah segitu. Senang dan puas saat ini, tetapi semoga bisa lebih baik ke depannya,” kata Evi saat diwawancara Kompas di mixed zone Stade de France.
Menurut Evi, meskipun sehari berlomba dua kali dan dua kali memecahkan rekor dunia, tenaganya masih ada. Kaki kirinya yang lemah sudah tidak bisa diangkat sehingga harus diseret. Namun, untuk napas dan kaki kanan masih baik-baik saja.
Evi menjelaskan, pelari dengan kaki asli harus maksimal sejak start karena pelari dengan kaki palsu sulit berlari cepat saat start. Sebisa mungkin pelari dengan kaki asli meninggalkan lawannya sejak start sehingga lawan tidak bisa mengejar saat hampir tiba di finis.
”Saya tidak ada (insiden) mungkin saya posisi ketiga atau keempat kali ya, kayak di Tokyo. Karena tadi yang jatuh memang agak jauh (dari Evi). Namun, kalau tidak sempat (menghindar), mungkin saya yang jatuhkan badan sendiri,” ujarnya.
Pelatih atletik Setiyo Budi Hartanto mengatakan atletik berhasil meraih dua perak di Paris adalah hasil yang sangat memuaskan. Target atletik semula hanya satu medali perunggu, tetapi bisa mendapat dua medali perak yang diawali Saptoyogo Purnomo dan ditutup oleh Evi.
Senang dan puas saat ini, tetapi semoga bisa lebih baik ke depannya.
Menurut Setiyo, catatan waktu Evi sejak Paralimpiade Tokyo terus meningkat karena atlet dibuat menikmati latihan. ”Latihan dibuat menggembirakan karena atlet difabel perlakuannya harus beda. Tidak ada tekanan, jadi lebih senang dan menikmati dalam bertanding,” ujarnya.
Setiyo menambahkan, saat berada di ruang tunggu sebelum lomba, dia melihat kaki palsu pelari Italia sudah bermasalah. Setelah itu, Setiyo membisiki Evi bahwa kaki palsu pelari Italia bermasalah sehingga Evi harus bisa mengalahkan pelari Italia.
Setiyo optimistis Evi dapat merebut medali emas ke depan. Apalagi, salah satu saingannya dari Italia diperkirakan sudah pensiun saat Paralimpiade Los Angeles 2028.