Dari Jurang Terdalam, Rahmat Erwin Abdullah Menapaki Kebangkitan
Kegagalan ke Olimpiade Paris 2024 adalah patah hati terparah Rahmat Erwin Abdullah. Dia mulai bangkit dengan lebih kuat.
Oleh
REBIYYAH SALASAH, ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
Wajah Rahmat Erwin Abdullah cerah. Senyum pun terus merekah di bibirnya. Selepas mendominasi perlombaan angkat besi kelas 73 kilogram di GOR Seuramoe, kompleks Stadion Harapan Bangsa, Aceh, Kamis (5/9/2024), Rahmat seperti menjelma manusia paling bahagia di dunia.
Rahmat pun mengamati medali emas PON Aceh-Sumut 2024 yang diraihnya dengan lekat-lekat. Nyaris semenit, dia mengelap-elap medali tersebut. Di pinggir platform perlombaan, setelah hanya tersisa para panitia yang membersihkan arena, Rahmat menghayati momen kemenangannya.
Baca Berita Olimpiade Paris 2024
Ikuti informasi terkini seputar Olimpiade Paris 2024 dari berbagai sajian berita seperti analisis, video berita, perolehan medali, dan lainnya.
Rahmat meraih medali emas setelah mencatatkan total angkatan 345 kilogram (snatch 153 kg, clean and jerk 192 kg). Dia memecahkan rekor PON untuk tiga jenis angkatan yang sebelumnya dipegang Rizki Juniansyah.
Prestasi Rahmat di PON Aceh-Sumut 2024 sebenarnya sebuah keniscayaan. Sebagai lifter terbaik dunia kelas 73 kg bersama Rizki Juniansyah, level Rahmat bukan lagi ajang nasional. Rahmat tak cuma berkali-kali menjuarai ajang internasional, tetapi juga kerap memecahkan rekor dunia. Dia pemilik rekor dunia clean and jerk (204 kg).
Maka, apabila dibandingkan dengan prestasi dan kiprah Rahmat di kancah internasional, medali emas yang diraih di PON Aceh-Sumut 2024 bukanlah prestasi terbesar. Namun, medali emas itu punya makna mendalam. Medali itu menandai titik baru kehidupan Rahmat.
Enam bulan lalu, di Piala Dunia Angkat Besi 2024 di Phuket, Thailand, Rahmat bak berada di titik nadir. Tiket Olimpiade Paris 2024, yang ada dalam genggaman selama 18 bulan kualifikasi, lepas pada detik terakhir. Rizki Juniansyah ”menyalip” dan meraih tiket ke Paris, lalu akhirnya meraih medali emas di Olimpiade.
Ami Asun Budiono, ibu Rahmat, bercerita, anaknya itu langsung menangis saat menelepon selepas pertarungan dramatis di Phuket. ”Dia bilang ke saya, ’Mama, saya itu jatuhnya terlalu dalam. Jatuh sekali, Mama.’ Dia sangat down waktu itu,” ucapnya.
Pemandangan Rahmat terkulai lemas di area pemanasan Piala Dunia seolah menggambarkan kejatuhan tersebut. Sang ayah yang juga merupakan pelatihnya, Erwin Abdullah, tak bisa melakukan apa pun selain berusaha menenangkan Rahmat.
Ami berkata, apa yang dialami Rahmat itu tidak mudah dilalui. Pemahaman bahwa kemenangan dan kekalahan tak terpisahkan dalam perlombaan adalah satu hal. Namun, kebesaran hati untuk menerima dan merangkul kekecewaan serta kesedihan karena hasil yang tidak diinginkan adalah hal lain.
Pada momen inilah, Ami dan Erwin berupaya terus mendampingi Rahmat melewati kesedihan tersebut. ”Kami temani. Kami juga bilang bahwa ini ibarat rezeki yang tertunda. Bagaimanapun dia harus tunjukkan sportivitas, lalu bangkit lagi,” ucapnya.
Ami, yang juga mantan lifter nasional, kembali mengatakan bahwa mereka merupakan ”tim kecil” yang kompak dan siap melakukan apa pun agar Rahmat bisa berprestasi setinggi-tingginya. PON menjadi momentum tim kecil itu kembali menguatkan soliditas mereka.
Selama ini Ami dan Erwin merupakan sumber motivasi sekaligus fondasi emosional bagi Rahmat untuk berusaha dan melampaui batas prestasi. Mereka pula yang menjadi pendorong lifter asal Sulawesi Selatan ini bangkit kembali dengan lebih kuat.
Kegagalan Rahmat lolos ke Olimpiade Paris adalah ujian sejauh mana ketahanannya menghadapi situasi sulit dan kemampuannya mengatasi kesulitan tersebut. Bukan hanya nasib yang harus diterima, hasil di Phuket juga bisa dilihat sebagai awal bagi Rahmat untuk menjadi lebih baik.
”Enggak mudah, tetapi juga bukan mustahil dilewati. Paling tidak sekarang Rahmat malah semakin termotivasi. Dia itu punya impian besar, ingin prestasi paling tinggi di Olimpiade. Dia mau fokus lagi untuk itu,” tutur Ami.
PON menjadi ajang pertama yang diikuti Rahmat setelah Piala Dunia di Phuket. Lebih dari sekadar mencari medali, PON menjadi titik awal Rahmat membangun ulang kepercayaan dirinya sekaligus menata ulang kehidupannya.
Menikah
Senyum yang terus merekah di wajah Rahmat pun bukan semata-mata karena berhasil membawa pulang medali emas PON. Kata Rahmat, dia dalam keadaan bahagia karena sebentar lagi akan melepas masa lajangnya. Dia siap menyongsong hidup yang benar-benar baru.
Saat keadaan terpuruk, Rahmat juga selalu ditemani oleh pacarnya, Tsabitha Alfiah Ramadani. Orangtua Rahmat lantas mendorongnya menikah jika anaknya merasa akan lebih bahagia dengan hidup bersama Tsabitha.
”Tsabitha buat Rahmat percaya masih ada orang yang sayang dengan dia. Ayahnya yang langsung datang melamar. Siapa tahu, dengan berkeluarga, Rahmat tidak cuma lebih bahagia, tapi juga lebih semangat, fokus, dan bertanggung jawab,” tutur Ami.
Rahmat mengatakan tak sabar menyambut pernikahan dengan Tsabitha. Setelah menikah pada Oktober mendatang, Rahmat siap bertarung kembali di ajang internasional, tepatnya di Kejuaraan Dunia di Bahrain, dua bulan kemudian.
Rahmat enggan melihat lagi jurang tempat dia jatuh. Dia ingin fokus merangkak keluar dari jurang itu. ”Saya enggak mau takut menghadapi apa pun, enggak mau lengah juga. Kualifikasi kemarin buat saya sadar, harus benar-benar fokus kalau memang mau wujudkan mimpi,” ucapnya.
Dengan usia yang masih 23 tahun dan semangat ”balas dendam” yang menyala-nyala, masih terbuka kesempatan Rahmat untuk bangkit dan melanjutkan prestasi gemilangnya. Kebangkitan Rahmat akan semakin memperbesar potensi angkat besi mempertahankan medali emas di Olimpiade.
Lebih dari itu, kebangkitan Rahmat akan menjadi inspirasi bahwa seorang juara bukanlah yang melulu menang. Juara juga adalah dia yang mampu mengatasi tantangan dan ujian, bahkan jika itu berarti harus merangkak dari jurang terdalam. Ewako, Rahmat!