Jangan Sekali Berarti, Angkat Besi
Pekerjaan rumah menanti angkat besi Indonesia setelah capaian medali emas Olimpiade dari Rizki Juniansyah.
Mempertahankan lebih sulit daripada mengejar. Pepatah ini selalu digaungkan untuk menggambarkan sulitnya mempertahankan prestasi yang diraih. Angkat besi akan menghadapi tantangan itu setelah pencapaian medali emas dari Rizki Juniansyah di Olimpiade Paris 2024.
Selama 72 tahun lamanya, angkat besi berada dalam posisi mengejar prestasi tertinggi di Olimpiade. Cabang olahraga ini bukan tanpa medali. Sejak Olimpiade Sydney 2000, angkat besi justru selalu menjadi tumpuan medali bagi Indonesia. Angkat besi total mempersembahkan 15 medali sebelum emas di Paris 2024 menyempurnakannya.
Baca Berita Olimpiade Paris 2024
Secara kualitas, prestasi yang diraih angkat besi di Olimpiade Paris 2024 memang meningkat. Emas dari Rizki merupakan emas pertama angkat besi di Olimpiade. Namun, ini medali satu-satunya angkat besi di Paris.
Baca juga: Rezeki Emas Rizki Juniansyah
Artinya, secara kuantitas, jumlah medali cabang olahraga ini menurun. Dalam enam edisi Olimpiade terakhir, hanya di Athena 2004 angkat besi membawa pulang satu medali, yaitu lewat Raema Lisa Rumbewas yang meraih perak di kelas 53 kg. Minimal dua medali selalu berhasil dibawa pulang oleh cabang olahraga ini di setiap Olimpiade.
Empat tahun mendatang, di Olimpiade Los Angeles 2028, angkat besi tidak hanya berada dalam posisi mengejar prestasi untuk menambah kuantitas medali, tetapi juga mempertahankan kualitas yang sudah diraih. Hal ini tidak mudah mengingat untuk saat ini, di atas kertas, hanya kelas 73 kg yang paling diandalkan mengantar ke podium.
Rizki dan Rahmat
Kendati lifternya berganti, kelas 73 kg menjaga tradisi medali dalam dua edisi Olimpiade. Di kelas ini tidak hanya ada Rizki Juniansyah yang sukses mempersembahkan medali emas. Ada pula olimpian sekaligus peraih medali perunggu Tokyo 2020, Rahmat Erwin Abdullah.
Walakin, kehadiran Rahmat dan Rizki yang sama-sama berada di kelas 73 kg sebenarnya mengurangi peluang jumlah medali Indonesia. Seperti Rizki, Rahmat yang merupakan pemegang rekor dunia clean and jerk (204 kg) juga berpotensi meraih medali emas. Jika tidak berada dalam kelas yang sama, Rizki dan Rahmat bisa memperluas potensi medali itu. Bahkan, bukan tidak mungkin angkat besi mencetak sejarah baru dengan meraih dua medali emas di Olimpiade.
Baca juga: Pelajaran dari Akhir ”Duel” Rizki Juniansyah dan Rahmat Erwin Abdullah
Sejak empat tahun lalu, Rahmat dan Rizki memang telah digadang-gadang menjadi lifter yang akan menjadi tumpuan prestasi. Namun, pemangkasan kelas membuyarkan potensi keduanya bersinar bersama di Olimpiade Paris 2024.
Pemangkasan kelas yang dilakukan Komite Olimpiade Internasional (IOC) di Olimpiade Paris 2024 merupakan imbas kasus korupsi dan tata kelola organisasi yang buruk di tubuh Federasi Angkat Besi Internasional (IWF). Selain itu, pemangkasan tersebut juga imbas dari kasus doping atlet dari negara peserta.
Kepala Bidang Pembinaan Prestasi Pengurus Besar Perkumpulan Angkat Besi Seluruh Indonesia (PB PABSI) Hadi Wihardja mengatakan, pemangkasan dari tujuh kelas menjadi lima kelas jelas merugikan negara-negara peserta karena berdampak pada berkurangnya jumlah lifter yang tampil di Olimpiade. Meski begitu, untuk Los Angeles 2028, berbagai pihak lebih berfokus pada angkat besi yang tetap dilombakan kendati risikonya tetap ada pemangkasan kelas.
Namun, Hadi berharap pemangkasan kelas juga menjadi perhatian terutama setelah ”duel” dramatis Rizki dan Rahmat saat perebutan tiket Olimpiade Paris 2024 menuai sorotan. Tidak sedikit pihak yang menyayangkan adanya pemangkasan yang membuat keduanya harus bersaing di kelas yang sama. Setiap negara hanya bisa menurunkan satu lifter di setiap kategori berat badan.
Mereka juga perlu benar-benar menyiapkan regenerasi kelas 61 kg untuk meneruskan kiprah Eko Yuli Irawan.
Di Tokyo 2020, yaitu ketika masih ada tujuh kelas yang dilombakan, jarak tiap kategori berat badan tidak terlalu jauh. Pada nomor putra, kelas terdekat setelah 73 kg adalah 81 kg. Dengan jarak itu, Rahmat dan Rizki bisa saja dipisah agar mengisi kedua kelas tersebut.
Baca juga: Misteri 30 Detik Rahmat Erwin Abdullah
Dalam beberapa gelaran multicabang, strategi tersebut telah diterapkan PB PABSI untuk memaksimalkan potensi dua lifter terbaik pelatnas ini. Strategi ini, kata Hadi, kemungkinan besar masih tetap akan dipakai, terutama untuk menghadapi ajang-ajang multicabang selain Olimpiade.
Rahmat dan Rizki bergantian berlaga di kelas 73 kg dan 81 kg. Di SEA Games Kamboja 2023, misalnya, Rizki meraih medali emas di kelas 73 kg. Adapun Rahmat, yang merupakan pemegang rekor dunia untuk clean and jerk kelas 81 kg (209 kg), juga meraih medali emas di kelas tersebut.
Baik Rahmat maupun Rizki mengatakan, jarak antarkelas yang cukup jauh di Paris 2024 menyulitkan mereka untuk berada di kelas berbeda. Setelah 73 kg, kelas yang tersedia adalah 89 kg. Artinya, baik Rahmat maupun Rizki harus menambah berat badan hingga 16 kg jika keduanya dipisahkan. Di sisi lain, mereka juga harus bersaing dengan lifter Eropa dan Amerika Selatan yang secara fisik lebih unggul dan kerap mendominasi kelas berat.
Penerus Eko Yuli
Pekerjaan rumah lain yang menanti PB PABSI tidak hanya perkara merawat Rizki dan Rahmat agar bisa mempertahankan prestasi medali emas di Olimpiade. Mereka juga perlu benar-benar menyiapkan regenerasi kelas 61 kg untuk meneruskan kiprah Eko Yuli Irawan. Setelah selalu meraih medali di empat edisi sebelumnya, Eko, 35 tahun, pulang tanpa medali di Paris.
Baca juga: 48 Jam Penderitaan Eko Yuli Irawan
”Kita siapkan terus generasi penerus Eko Yuli. Saat ini, ada Ricko (Saputra) di senior, ada juga Ibnul (Rizqih) dan (Satrio) Adi di yunior. Lalu, ada Kevin (Andrian Ramadhan) di remaja. Semuanya berpotensi dan kami coba rawat agar bisa melanjutkan prestasi Eko Yuli,” ucap Hadi.
Ricko Saputra (24) memang belum bisa melampaui Eko Yuli di kelas 61 kg. Namun, Ricko sempat bersaing dengan Eko untuk meraih satu tiket ke Paris. Ricko hanya terpaut 2 kilogram dari total angkatan terbaik seniornya.
Sementara itu, Satrio Adi Nugroho (20) dan Muhammad Ibnul Rizqih (18) juga sudah mulai bisa berbicara di level senior kendati masih berusia muda. Di IWF Grand Prix II, Doha, Qatar, Desember 2023, Adi meraih tiga medali perak, masing-masing dari angkatan snatch, clean and jerk, dan total angkatan. Adapun Ibnul meraih satu medali perunggu dari angkatan snatch 113 kg.
Saat mengikuti kejuaraan EGAT King’s Cup 2024 pada April lalu, Adi dan Ibnul meraih masing-masing tiga medali emas untuk angkatan snatch, clean and jerk, dan total angkatan. Adi turun di kelas 55 yunior, sedangkan Ibnul kelas 61 kg yunior. Kevin juga menyabet tiga emas saat berlomba di kelas remaja 55 kg.
”Kami sekarang sedang berusaha menambah jam terbang mereka, apalagi Ibnul baru masuk pemusatan latihan nasional pada Juli 2023. Kevin juga baru saja masuk (awal 2024). Mereka adalah generasi selanjutnya (angkat besi Indonesia), disiapkan untuk menjadi penerus Eko Yuli,” kata Dirdja Wihardja, pelatih tim angkat besi Indonesia, beberapa bulan lalu.
Lifter putri
Di Tokyo 2020, angkat besi Indonesia meraih tiga medali yang terdiri dari perak lewat Eko Yuli Irawan (kelas 61 kg) dan perunggu melalui Rahmat (73 kg) serta Windy Cantika Aisah (49 kg). Selain kehilangan medali di kelas 61 kg di Paris, angkat besi juga gagal meneruskan tradisi prestasi lifter putri Indonesia.
Untuk kali pertama sejak Sydney 2000, tidak ada lifter putri Indonesia yang pulang membawa medali. Nurul Akmal, satu-satunya lifter putri Indonesia yang tampil di Paris, belum berhasil menorehkan prestasi di Paris.
Hal itu menjadi pekerjaaan rumah lainnya yang perlu digarap PB PABSI untuk LA 2028. Mereka perlu menyiapkan penerus Nurul Akmal (31) di kelas berat sekaligus menyiapkan lifter putri yang mampu bersaing di Olimpiade.
Baik Hadi maupun Dirdja menyebut, salah satu lifter putri yang disiapkan untuk LA 2028 adalah Natasya Beteyob. Meskipun gagal menembus 10 besar dunia sebagai syarat lolos kualifikasi ke Paris, atlet asal Provinsi Papua yang biasa turun di kelas 59 kilogram itu dinilai berpotensi untuk menjaga tradisi medali lifter putri Indonesia di Olimpiade.
Baca juga: Jalan Panjang Lifter Natasya Beteyob Ikuti Jejak Prestasi Lisa Rumbewas
Pengamat olahraga, Fritz E Simanjuntak, menilai, pembinaan angkat besi telah berjalan dengan baik. Terbukti, angkat besi selalu menjadi tumpuan medali di setiap Olimpiade. Medali emas di Paris menjadi momentum agar perhatian terhadap cabang ini lebih baik lagi.
”Paling tidak, angkat besi juga punya pusat pelatihan seperti bulu tangkis di Cipayung. Dengan tempat yang terbatas saja bisa meraih prestasi terus, apalagi kalau tempatnya lebih baik,” ucap Fritz.
Kiprah angkat besi di Olimpiade dari masa ke masa tidak perlu diragukan lagi. Dengan segala pekerjaan rumah yang menanti cabang ini, semua upaya perlu dilakukan agar angkat besi tidak berakhir seperti bait puisi Diponegoro karya Chairil Anwar, ”Sekali berarti, sesudah itu mati.”