Jangan Terbuai Memori Manis Olimpiade Paris
Di balik prestasi manis di Olimpiade Paris, banyak gejala yang memperlihatkan potensi bencana di Los Angeles 2028.
Di kota yang terkenal romantis, Paris, kontingen Indonesia mencatatkan memori manis. Tim ”Merah Putih” kembali meraih dua emas dalam satu edisi setelah terakhir 32 tahun lalu dan mengalami peningkatan peringkat. Memori itu patut dikenang, tetapi juga mesti menjadi bahan evaluasi karena hasil jauh dari maksimal.
Baca Berita Olimpiade Paris 2024
Indonesia pertama dan terakhir kali mengawinkan medali emas lewat pebulu tangkis Alan Budi Kusuma dan Susy Susanti di Olimpiade Barcelona 1992. Sampai akhirnya prestasi serupa terulang di Paris. Terima kasih kepada lifter Rizki Juniansyah dan pemanjat tebing Veddriq Leonardo yang mengakhiri capaian stagnasi satu emas.
Tim Indonesia finis di peringkat ke-39 kali ini, naik signifikan dibandingkan edisi sebelumnya, Tokyo 2020 (55). Itu juga merupakan peringkat tertinggi Indonesia sejak edisi Athena 2000. Dengan berbagai peningkatan tersebut, apakah prestasi kita terbilang sudah maksimal di Paris? Jelas belum.
Kualitas medali membaik, tetapi jumlah medali berkurang. Indonesia hanya meraih tiga medali, termasuk satu perunggu dari pebulu tangkis Gregoria Mariska Tunjung, menurun dari edisi sebelumnya (5). Jumlah itu juga termasuk yang paling sedikit sejak Seoul 1988, sama dengan pencapaian di Rio 2016 dan London 2012.
Baca juga: Pemerintah Janjikan Dukungan 1.000 Persen untuk Kejar Medali di Olimpiade 2028
Padahal, potensi medali Indonesia di Paris jauh lebih banyak. Nomor speed panjat tebing pertama kali dipertandingkan di Olimpiade. Terdapat empat pemanjat elite dunia dari Indonesia yang berangkat. Maksimal empat medali tambahan bisa didapatkan tim ”Merah Putih”.
Penurunan drastis terjadi di bulu tangkis, cabang yang selalu menjadi tulang punggung Indonesia. Tradisi emas hilang, seperti di London 2012. Capaian medali juga berkurang dibandingkan edisi sebelumnya. Belum lagi, tidak ada satu pun wakil yang menembus semifinal, kecuali Gregoria. Kebanyakan gugur di babak grup.
Evaluasi harus diawali dari bulu tangkis. ”Kiamat” sudah menanti di Los Angeles 2028. Banyak atlet andalan berada di ujung atau melewati fase emas pada edisi LA. Sementara para pelapis belum siap bersinar. Berbeda dengan negara pesaing, seperti India, yang sudah diwakili Lakshya Sen (23) di semifinal tunggal putra Olimpiade.
Program Olimpiade harus dimulai sejak saat ini, empat tahun sebelum edisi berikutnya. Jangan seperti persiapan ke Paris. Tim ad hoc untuk fokus persiapan Olimpiade baru dibentuk pada awal 2024. Padahal, gejala-gejala kejatuhan prestasi sudah terlihat sepanjang 2023, dari turnamen tunggal, beregu, hingga multicabang.
Dinanti, evaluasi menyeluruh dari PP PBSI 2024-2028 yang akan dipimpin Ketua Umum Fadil Imran. Program jangka panjang dibutuhkan untuk menjaga puncak performa para pemain andalan saat ini dan mengakselerasi kemunculan pemain muda. Lalu, evaluasi dibuat bertahap dengan tujuan utama ke Olimpiade.
Baca juga: ”Berdarah-darah” untuk Emas LA 2028
Beban angkat besi
Tim angkat besi Indonesia memang menyumbang emas pertama dalam sejarah keikusertaan Olimpiade. Namun, tradisi medali dari lifter putri sejak edisi Sydney 2000 terhenti. Tradisi medali dari lifter putra kelas ringan, di bawah 70 kilogram, juga berakhir setelah selalu dipertahankan dalam empat edisi beruntun.
Kisah tragis lifter veteran Eko Yuli Irawan bisa menggambarkan urgensi regenerasi di kelas 61 kg. Setelah selalu meraih medali di empat edisi sebelumnya, dia pulang tanpa medali di Paris. Eko, 35 tahun, kalah dari cedera paha yang timbul karena efek samping permasalahan di lutut. Dia terlihat tidak muda lagi dan perlu pengganti.
Faktanya, Eko belum tertandingi di Tanah Air. Lifter pelapis Ricko Saputra (24) bahkan belum bisa melampaui sang senior yang berjibaku dengan cedera selama persiapan Olimpiade. Bandingkan dengan lifter Thailand Theerapong Silachai (20), didikan pelatih asal Indonesia, Lukman, yang sudah meraih perak di Paris.
Sama halnya dari lifter putri. Lifter 49 kg Windy Cantika Aisah yang diharapkan memperbaiki raihan perunggu di edisi Tokyo 2020 tidak lolos ke Paris. Windy yang masih berusia 22 tahun berkutat dengan cedera. Saat bersamaan, tidak ada lifter putri lain yang berada dalam jajaran elite dunia dan berpeluang meraih medali.
Satu-satunya kelas yang paling diandalkan hanya di 73 kg. Selain Rizki, Indonesia juga memiliki lifter pemegang rekor dunia clean and jerk Rahmat Erwin Abdullah (204 kg). Hal tersebut sangat disayangkan. Setiap negara hanya diperbolehkan mengirim satu wakil dalam masing-masing kelas.
Keputusan ada di tangan PB PABSI. Mereka bisa memperluas potensi medali dengan memisahkan kelas dari dua lifter dengan bakat terbaik di pelatnas tersebut. Sebelum ke Paris, Rizki berkata, mau saja naik kelas selama benar-benar didukung fasilitas dan segala hal yang berhubungan dengan persiapan ke berat baru.
Menjadikan tradisi
Tim panjat tebing Indonesia membuka keran prestasi dalam debut di Olimpiade. Tugas pertama selesai. Tugas selanjutnya, menjadikan cabang itu sebagai tradisi medali, seperti bulu tangkis dan panjat tebing. Di LA, tugas itu tidak akan mudah. Panjat tebing akan semakin populer dan kompetitif setelah diakui di Paris.
Perkembangan tim tuan rumah, Amerika Serikat, patut diwaspadai. Mereka memiliki pemanjat 18 tahun Sam Watson yang merupakan pemegang rekor dunia saat ini. Watson yang meraih perunggu di Paris akan lebih berpengalaman empat tahun ke depan. Itu akan menjadi tantangan bagi Veddriq yang akan berusia 31 tahun di LA.
Beruntung, Indonesia tidak kekurangan regenerasi pemanjat hebat. Ada Rahmad Adi Mulyono (23) dan Kiromal Katibin (23) yang siap berprestasi di LA. Namun, menurut salah satu figur penting dalam tim panjat tebing, mereka bisa mengakselerasi segalanya jika dibiarkan swakelola dalam pengelolaan dana untuk persiapan. Tidak lagi bergantung ke Kemenpora.
Cabang potensial lain, seperti panahan, tidak lepas dari evaluasi. Potensi pemanah Indonesia bisa terlihat di Paris. Terutama Diananda Choirunisa yang berhasil menembus perempat final individual putri. Masalahnya, mereka butuh diberikan jam terbang berkompetisi yang lebih banyak.
Diananda bisa bersaing karena mendapatkan banyak jam terbang dalam setahun terakhir, mengikuti enam kejuaraan. Masalahnya, para pesaing mempersiapkan diri selama 4 tahun. Di bawah Ketua Umum PP Perpani 2022-2026 Arsjad Rasyid, program serupa akan lebih ideal jika konsisten dilakukan sejak saat ini sampai ke LA.
Rencana jangka panjang kembali harus diprioritaskan untuk tim panahan. Jangan seperti sebelumnya, saat mengganti pelatih sekitar 6 bulan jelang Olimpiade. Itu yang dirasakan para pemanah Tanah Air saat kedatangan pelatih baru asal Korea Selatan, Lee Kyung-chul, pada akhir Februari 2024.
Jumlah atlet dalam pelatnas juga perlu menjadi perhatian khusus. Di panahan, mereka tidak memiliki skuad pelapis. Para atlet utama pun tidak memiliki lawan sparring. Untuk uji coba, mereka harus mengundang tim dari daerah yang secara kualitas berjarak cukup jauh. Adapun iklim kompetisi akan memacu kemampuan para atlet.
Setelah Olimpiade, biasanya para pengurus cabang dan pemangku kepentingan Indonesia akan sibuk berbicara persiapan serius menatap edisi selanjutnya. Namun, seperti yang sudah berulang kali terjadi, fokus itu akan memudar seiring kemunculan SEA Games atau Asian Games yang semestinya hanya jadi batu loncatan atau sasaran antara. Semoga itu tidak terulang kali ini.