”Berdarah-darah” untuk Emas LA 2028
Bulu tangkis Indonesia bisa dikatakan kehabisan atlet untuk Olimpiade Los Angeles 2028. Kerja esktrakeras PBSI dinanti.
Tanpa medali emas dari Olimpiade Paris 2024, bulu tangkis Indonesia menjadi sorotan. Hasil Paris 2024 adalah gambaran peta kekuatan bulu tangkis dunia setelah Olimpiade Tokyo 2020, termasuk Indonesia yang tertinggal dari negara lain.
Dari perebutan lima medali emas bulu tangkis Paris 2024 di Porte de La Chapelle, Perancis, 27 Juli-4 Agustus, Indonesia berada pada posisi terakhir dari delapan negara yang meraih medali. Dua emas China sangat mewakili dominasi Zheng Si Wei/Huang Ya Qiong dan Chen Qing Chen/Jia Yi Fan pada nomor ganda campuran dan ganda putri.
Baca Berita Olimpiade Paris 2024
Viktor Axelsen (Denmark) masih menjadi tunggal putra terbaik di tengah performa pemain muda dalam rentang usia 23-24 tahun, seperti Kunlavut Vitidsarn (Thailand) dan Lakhsya Sen (India) yang kian matang. Axelsen terkendala cedera pada 2024, tetapi kejeliannya memilih turnamen membuat dia bisa berada dalam puncak penampilan untuk mendapat emas kedua beruntun di Olimpiade.
Selain emas Paris 2024 dan Tokyo 2020, Axelsen mendapat perunggu Rio de Janeiro 2016. Itu memperlihatkan bahwa atlet berusia 30 tahun tersebut bisa mempertahankan performa pada level atas untuk waktu lama.
Pada ganda putra, juara bertahan Lee Yang/Wang Chi Lin (Taiwan) berhasil memanfaatkan peluang yang sangat terbuka. Dibandingkan empat nomor lain, ganda putra adalah sektor dengan persaingan paling merata. Setidaknya 10 dari 17 pasangan memiliki peluang setara meraih emas.
Lee/Wang, yang hanya menjuarai satu turnamen dalam 1,5 tahun terakhir sebelum Olimpiade, tak terkalahkan dalam tujuh pertandingan di Paris, yaitu dari pemain seangkatan, pemain yang lebih senior, dan pasangan muda China yang naik daun sejak 2022, Liang Wei Keng/Wang Chang. Liang/Wang, yang masing-masing berusia 23 tahun, adalah ganda putra ranking teratas dunia dan masih memiliki kesempatan untuk bersinar pada Olimpiade berikutnya, Los Angeles 2028.
Indonesia membawa pulang satu perunggu dari nomor dan atlet yang sekian lama menjadi ”anak bawang” bulu tangkis Indonesia, Gregoria Mariska Tunjung dari tunggal putri. Gregoria, yang pernah berniat meninggalkan pelatnas karena merasa tak berkembang, bisa menunjukkan salah satu esensi penting dalam dunia olahraga, yaitu pantang menyerah.
Ketika atlet berusia 24 tahun tersebut sudah ”klik” dengan dirinya sendiri, dalam arti percaya pada diri sendiri dan melihat setiap tantangan dari sudut pandang positif, Gregoria pun menuju versi terbaik dirinya, langkah per langkah. Dia beberapa kali menjadi pebulu tangkis Indonesia yang berjalan paling jauh pada turnamen BWF dan puncaknya terjadi pada Olimpiade Paris 2024.
Baca juga: Menpora Minta PBSI Lakukan Transformasi Menuju Olimpiade 2028
Hanya Gregoria dan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto yang lolos dari fase penyisihan grup ke babak berikutnya. Ketika Fajar/Rian tersingkir pada perempat final, gadis asal Wonogiri, Jawa Tengah, itu membawa nama Indonesia sendirian di arena bulu tangkis Paris 2024.
Dia berjuang mati-matian melawan Kim Ga-eun (Korea Selatan) pada babak kedua, lalu menang atas Rathcanok Intanon (Thailand) melalui performa luar biasa pada perempat final. An Se-young (Korsel), yang akhirnya meraih emas, menghentikan langkah Gregoria. Gregoria seharusnya bertanding dalam perebutan perunggu dengan Carolina Marin (Spanyol), tetapi peraih emas Rio de Janeiro 2016 itu mundur saat semifinal melawan He Bing Jiao (China) karena cedera lutut kanan.
Gregoria, Fajar/Rian, dan empat wakil ”Merah Putih” lainnya, yaitu Jonatan Christie, Anthony Sinisuka Ginting, Apriyani Rahayu/Siti Fadia Silva Ramadhanti, dan Rinov Rivaldy/Pitha Haningtyas Mentari, adalah pemain-pemain senior (terbaik) Indonesia pada saat ini. Dengan rentang usia 25-29 tahun, mereka bisa saja masih berkompetisi di arena BWF World Tour pada 2028. Namun, seberapa tinggi level permainan mereka tergantung dari diri masing-masing.
Seperti dikatakan Fajar, dia bisa saja masih bermain bulu tangkis pada empat tahun mendatang, tetapi sulit untuk menebak apakah bisa lolos lagi ke Olimpiade atau tidak.
Baca juga: Terpilih Aklamasi, Fadil Imran Janji Benahi PBSI dan Targetkan Emas Olimpiade
Peraih emas tunggal putri Barcelona 1992, Susy Susanti, menilai, berdasarkan usia, sulit menaikkan level performa Gregoria untuk empat tahun mendatang. Susy mengatakan, yang bisa dilakukan Gregoria adalah menjaga performa pada level atas agar usia kariernya panjang seperti ganda putra, Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan.
Apa yang dikatakan Susy bisa berlaku juga pada pemain lain. Apalagi, bicara bulu tangkis Indonesia pada ajang Olimpiade sama artinya dengan berbicara medali emas. Medali selain itu akan sulit diterima karena Indonesia memiliki penggemar bulu tangkis yang sangat fanatik.
Tuntutan emas juga rasanya wajar karena negara ini memiliki rekam jejak sebagai penghasil juara Olimpiade, Kejuaraan Dunia, dan kejuaraan besar lainnya. Banyak mantan atlet Indonesia bahkan dipercaya menjadi pelatih di tim nasional negara lain, seperti Rexy Mainaky, Nova Widianto, dan Hendrawan di Malaysia serta Rony Agustinus di Korsel.
Minim penerus
Lantas, bagaimana dengan penerus Gregoria dan kawan-kawan yang tampil di Paris 2024? Apakah bulu tangkis Indonesia bisa mendapat emas di LA 2028?
Ini yang membuat komunitas bulu tangkis pantas cemas karena Indonesia sebenarnya ”kehabisan” pemain untuk LA 2028. Hanya ganda putra yang memiliki bekal cukup mumpuni.
Baca juga: Olimpiade Paris 2024 dan Perjuangan Mempertahankan Tradisi Medali Bulu Tangkis
Nomor tersebut memiliki pelapis Fajar/Rian dengan kemampuan setara, yaitu Leo Rolly Carnando/Daniel Marthin dan Muhammad Shohibul Fikri/Bagas Maulana yang diubah menjadi Leo/Bagas dan Fikri/Daniel mulai Jepang Terbuka, 20-26 Agustus. Perubahan yang menjadi bagian dari pencarian ”Next Minions” itu diharapkan bisa memberi hasil baik, setidaknya untuk LA 2028. Bagas dan Fikri, yang akan berusia 30 tahun dan 29 tahun pada 2028, bisa diimbangi Leo dan Daniel yang berusia 2-3 tahun lebih muda.
Potensi lain sebenarnya dimiliki Rahmat Hidayat dan Muhammad Rayhan Hur Fadillah yang menjadi anggota pelatnas utama sejak 2023. Pada perjalanannya, mereka dicoba dipasangkan dengan pemain yang lebih senior, seperti Kevin Sanjaya Sukamuljo, Marcus Fernaldi Gideon, dan Yeremia Erich Yoche Yacob Rambitan. Namun, Rahmat tak bertanding sejak mencapai babak kedua Korea Masters bersama Yeremia, pada Juni. Adapun Rayhan hanya bermain dalam satu turnamen, yaitu Hanoi International Challenge, pada Maret, bersama Muhammad Putra Erwiansyah.
Program yang tepat dinanti agar potensi Rahmat dan Rayhan, yang berusia 21 tahun dan 22 tahun, itu tak sia-sia. Apalagi, ganda putra pun membutuhkan banyak pelapis bagi Fikri/Daniel dan Leo/Bagas untuk program jangka panjang.
Tunggal putra memberi harapan ketika Jonatan mengalahkan Anthony pada final All England, Maret. Namun, nomor ini sebenarnya berada dalam kondisi tertinggal, apalagi jika membandingkan dengan kekuatan yang dimiliki beberapa negara.
Baca juga: Bonus Rp 6 Miliar untuk Peraih Emas Olimpiade
Thailand memiliki Vitidsarn yang sudah menembus final Olimpiade dan menjadi juara dunia dalam usia 23 tahun. Dalam usia setara, terdapat Li Shi Feng (China), Kodai Naraoka (Jepang), dan Lakhsya Sen (India). Sementara, Indonesia tak punya pemain di bawah Jonatan dan Anthony dengan rekan jejak seperti mereka dan bisa dimatangkan untuk Olimpiade 2028.
Chico Aura Dwi Wardoyo, tunggal putra nomor tiga Indonesia, lebih banyak tersingkir pada babak pertama turnamen BWF Super 500 ke atas pada 2023 meski dia mencapai final Indonesia Masters 2023 dan semifinal Perancis Terbuka 2024. Prestasi Chico masih jauh dari Jonatan dan Anthony meski usianya hanya setahun lebih muda dari Jonatan.
Di bawah Chico ada Alwi Farhan, pemain berusia 19 tahun sebagai juara dunia yunior 2023. Namun, akan terlalu cepat jika Alwi dipaksakan matang dengan target medali LA 2028. Apalagi, peralihan dari level yunior ke level elite adalah fase sangat sulit yang tak semua atlet bisa menghadapinya dengan baik.
Mereka harus tahan banting karena akan selalu berhadapan dengan pemain top dunia pada babak-babak awal turnamen. Ketika kekalahan demi kekalahan dialami (ini adalah proses wajar), ketangguhan mental pun diuji.
Pitha dan Fadia pernah bercerita tentang kesulitan ketika beranjak dari level yunior. Mereka terkaget-kaget ketika menghadapi para senior dengan kualitas permainan yang tak dijumpai pada level yunior. Jangankan menang, mendapat satu poin pun bukan perkara mudah. Alwi harus menjalani fase itu lebih dulu sebelum berbicara Olimpiade.
Pelatih ganda putri Eng Hian bahkan sudah dipusingkan dengan kondisi sektor yang dipimpinnya sejak sebelum Olimpiade. Saat menyiapkan Apriyani/Fadia, dalam kondisi yang tak ideal, untuk Paris 2024, salah satu pemain ganda putri, Meilysa Trias Puspitasari, mengalami cedera ACL saat latihan. Pemain lain, Ribka Sugiarto, yang pernah berpasangan dengan Fadia, mengundurkan diri dari pelatnas karena akan menikah.
Ganda campuran berada dalam kondisi tak berbeda jauh dengan sektor lain. Pelatih Herry Iman Pierngadi bahkan tak sungkan mengakui bahwa kualitas kemampuan pemain senior, seperti Rinov/Pitha dan Rehan Naufal Kusharjanto/Lisa Ayu Kusumawati, berada di bawah level pemain top dunia, seperti Zheng/Huang, Feng Yan Zhe/Huang Dong Ping (China), dan Seo Seng-jae/Chae Yu-jung (Korsel).
Seandainya tak dihadapkan pada Olimpiade Paris 2024, saat dipindahkan dari ganda putra ke ganda campuran pada September 2023, Herry berencana menurunkan level turnamen Rinov/Pitha dan Rehan/Lisa dari Super 1000 dan 750 agar lebih fokus ke Super 500. Itu dilakukan untuk mematangkan kemampuan mereka dulu.
Tentang regenerasi, nomor ini memiliki pemain muda, yaitu Jafar Hidayatullah/Aisyah Salsabila Putri Pranata. Namun, sama seperti tunggal putra, tunggal putri, dan ganda putri, kesiapan untuk menjadi peraih medali LA menjadi tantangan yang harus dicari jalan keluarnya.
Meski Paris 2024 baru selesai, jarak empat tahun menuju LA 2028 adalah waktu yang singkat untuk menyiapkan calon peraih medali, apalagi ketika Indonesia harus memulainya dari nol. Ini menjadi dampak dari tidak adanya ”benih” yang ditanam sejak jauh hari oleh PP PBSI kepengurusan 2020-2024.
Prinsip tanam-tuai, dengan hasil tanpa emas di Paris 2024, seharusnya menjadi tamparan bagi PP PBSI di bawah Agung Firman Saputra sebagai ketua umum dan Alex Tirta sebagai ketua harian. Ini juga menjadi peringatan bagi calon pengurus yang akan menjalankan roda organisasi PP PBSI 2024-2028 di bawah Ketua Umum Fadil Imran.
Mereka jangan hanya senang ketika digaet Fadil dan tim formaturnya untuk menjadi bagian dari pengurus karena PBSI 2024-2028 harus bekerja ”berdarah-darah” jika ingin membawa kembali emas bulu tangkis Olimpiade ke Tanah Air.