Sebagai pelatih, Hendra Basir memberikan segalanya. Total. Dan, emas Olimpiade dari Veddriq Leonardo membayar itu semua.
Oleh
REBIYYAH SALASAH, KELVIN HIANUSA DARI PARIS, PERANCIS
·4 menit baca
Hanya 4,75 detik dan itu sudah cukup untuk mengubah seorang Hendra Basir. Pelatih tim panjat tebing Indonesia yang selalu tampil ”dingin” itu menjadi orang paling cengeng di Arena Le Bourget. Hendra menangis sekencang-kencangnya ketika Veddriq Leonardo menggapai puncak dinding panjat lebih cepat dari lawannya, Wu Peng (China).
Hendra kemudian memeluk Veddriq, sang juara, yang turun menghampirinya. Masih dengan mata berkaca-kaca, Hendra menyelimuti adik asuhannya itu dengan bendera Merah Putih. Rasa haru dan bangga menyeruak.
Baca Berita Olimpiade Paris 2024
Ikuti informasi terkini seputar Olimpiade Paris 2024 dari berbagai sajian berita seperti analisis, video berita, perolehan medali, dan lainnya.
Tangisan Hendra selepas final panjat tebing putra di Olimpiade Paris 2024, 8 Agustus lalu, itu berjuta makna. Itu bukan hanya tangisan bangga karena Veddriq berhasil memastikan medali emas pertama bagi Indonesia dan satu-satunya dari panjat tebing. Hendra juga terharu karena emas itu akhirnya membayar seluruh perjuangannya.
”(Perjalanan) ini berat banget, jujur. Ibu sakit, dan ada banyaklah (tantangan) lainnya. Tahu, kan, ya, gimana,” ujar Hendra.
Ibu Hendra sakit ketika tim panjat tebing Indonesia sedang menjalani persiapan menuju Olimpiade. Hendra menyempatkan diri terbang ke Makassar, Sulawesi Selatan, untuk merawat ibunya sebelum berangkat ke Paris.
Di tengah kondisi itu, Hendra tetap berusaha memberikan segalanya. Hendra paham bahwa dia bukan hanya anak dari ibunya yang sedang sakit, dia juga kakak dari atlet-atlet panjat tebing yang tengah berjuang. Dia fokus 100 persen kendati harus membagi perhatian dengan ibunya.
Hendra meminta adik-adik asuhannya melakukan hal serupa. Sebelum perlombaan, Hendra berkata, ”Anggap ini seperti perang para pahlawan, jadi harus habis-habisan!”
Sebab, tantangan ternyata terus datang dan tidak kalah berat. Menjelang keberangkatan ke Paris, Desak Made Rita Kusuma Dewi cedera. Pemanjat putri lain yang lolos ke Olimpiade, Rajiah Sallsabillah, juga telah cedera sejak lama.
Saat perlombaan, Rajiah dan Desak kalah. Rajiah kalah pada babak semifinal dan smallfinal (perebutan perunggu), sedangkan Desak tersingkir saat perempat final. Akhirnya, tidak ada medali dari panjat tebing putri.
”Saya minta mereka untuk ke kamar yang berbeda, biar mereka ada ruang. Setelah itu, saya temenin Desak nangis, abis itu gantian nemenin Billah (Rajiah) nangis,” ucapnya.
Padahal, sebagai pelatih, Hendra juga kecewa dan sedih. Namun, dia harus lebih dulu menampung beban dan kesedihan Rajiah dan Desak. ”Bangun tidur rasanya nyesek banget. Masih kebayang momen Desak lawan (Deng) Linjuan. Karena di situ hilang momentumnya (Desak),” katanya.
Desak kalah dari Deng Lijuan (China) setelah hanya terpaut 0,006 detik. Deng finis lebih dulu dengan 6,363 detik. Kiprah Desak di Paris pun terhenti di perempat final.
Skenario indah sebenarnya telah menanti apabila Desak dan Rajiah sama-sama menang. Keduanya akan bertemu di semifinal dan itu berarti memastikan Indonesia meraih minimal medali perak.
Namun, seperti kata Hendra, begitulah perlombaan. Bahkan, kendati Desak dan Rajiah telah memberikan yang terbaik dalam kondisi cedera, kemenangan tidak akan terwujud jika memang bukan rezeki dan waktunya.
Tantangan dan tekanan kian berat setelah pada sektor putra, Veddriq harus berjuang sendirian di putaran final. Dengan tereliminasinya Rahmad Adi Mulyono saat kualifikasi, Veddriq jadi tumpuan harapan panjat tebing agar tidak pulang dengan tangan hampa.
Jauh sebelum momen emas di Paris, Hendra sebenarnya telah berulang kali menyampaikan beratnya menjadi pelatih tim panjat tebing Indonesia. Berkali-kali juga ia ingin berhenti melatih.
Ada beragam alasan yang membuat Hendra berpikir untuk mundur dari pelatnas. Dari semua alasan yang berasal dari ”luar” itu, kesamaannya adalah membuat Hendra tidak bisa leluasa dan fokus menangani anak-anak asuhannya.
Pada saat bersamaan, Hendra mendapatkan beberapa tawaran untuk melatih di luar negeri. Selain membuka peluang pengalaman baru, Hendra bisa mendapatkan kepastian melatih tanpa terganggu hal-hal lain.
Namun, berkali-kali juga Hendra akhirnya memutuskan bertahan. Selain rasa sayang yang besar pada Veddriq dan kawan-kawan, Hendra tak kuasa meninggalkan tanah air sendiri untuk memperkuat panjat tebing negara lain.
Pilihan Hendra tepat karena akhirnya berbuah manis. Emas Veddriq membayar perjuangan dan pengorbanannya, termasuk berjauhan dengan anak dan istri.
Hendra adalah nama yang selalu disebut para atlet di pelatnas, termasuk Veddriq, ketika ditanya siapa orang yang berjasa dalam karier panjat tebing. Pada 2017, Hendra merupakan orang yang ”menemukan” Veddriq saat berlomba dalam kejuaraan nasional di Yogyakarta.
Saat itu, Veddriq sebenarnya ”hanya” meraih perunggu. Medali serupa diraih Veddriq setahun sebelumnya di Kejuaraan Nasional Yunior 2016 di Bangka Belitung. Namun, Hendra melihat Veddriq potensial kendati tidak pernah menjadi peraih emas.
Hal serupa dialami Desak. Dalam beberapa kejuaraan, Desak sebenarnya tidak selalu menjadi juara. Namun, Hendra punya pandangan berbeda sehingga memilihnya dari ratusan atlet untuk masuk ke pelatnas.
Dan mata tajam Hendra dalam menemukan para atlet potensial itu dibarengi dengan kerelaannya untuk totalitas. Dia mau memberikan segalanya dan menjadi segalanya. Tidak heran jika kemudian lahir atlet-atlet yang mampu bersaing di panggung dunia.
Di Le Bourget, setiap tetes air mata Hendra menjadi bukti bahwa perjuangan dan pengorbanan tidak pernah sia-sia. Emas yang diraih Veddriq bukan hanya kemenangan Indonesia, melainkan juga kemenangan hati dan jiwa seorang pelatih yang telah memberikan segalanya untuk timnya.