Raket Seharga Rp 7.000 hingga Cakram Padat ”Barbie” di Balik Prestasi Gregoria
Raket seharga Rp 7.000 yang mendekatkan Gregoria dengan bulu tangkis. CD ”Barbie” merawat semangatnya untuk berlatih.
Segudang prestasi tingkat dunia telah ditorehkan tunggal putri Indonesia, Gregoria Mariska Tunjung Cahyaningsih. Baru-baru ini, medali perunggu diraihnya dalam Olimpiade Paris 2024. Kilau medali yang terkalung di lehernya diwarnai kisah tentang raket seharga Rp 7.000 hingga cakram padat Barbie dari lapak-lapak pedagang kaki lima.
Gregorius Maryanto (56) dan Fransiska Romana (56) tak pernah membayangkan, putri tunggal mereka, Gregoria, bakal menjadi salah satu peraih medali pada ajang Olimpiade. Semula, mimpi itu terasa sangat jauh bagi seorang bocah dari Desa Bulusulur, Kecamatan Wonogiri, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Baca Berita Olimpiade Paris 2024
Kenyataannya, Gregoria mampu terbang tinggi, di Paris, Perancis. Kota tuan rumah Olimpiade 2024 itu berjarak sekitar 15.000 kilometer dari kampung halamannya di Jawa Tengah bagian selatan.
Baca juga: Gregoria, Sang Primadona Bulu Tangkis
”Dulu itu saya ikutkan dia latihan badminton juga karena anaknya suka. Saya hanya sebatas ingin dia bisa bermain baik dan benar. Tidak membayangkan levelnya sampai setinggi ini,” ucap Maryanto bangga, saat ditemui, di kediamannya, Selasa (6/8/2024) sore.
Maryanto menceritakan, perkenalan putrinya dengan olahraga tepok bulu terjadi pada tahun 2004. Ketika itu, Ria, sapaan kesayangan Gregoria dari kedua orangtuanya, baru berumur lima tahun. Ketertarikan Gregoria kecil berawal dari ajang Piala Thomas dan Uber yang ditontonnya dari salah satu stasiun televisi nasional.
Gregoria pun meminta dibelikan raket oleh Maryanto setelah menonton kejuaraan itu. Sebuah raket mainan seharga Rp 7.000 dibeli Maryanto dari pasar setempat. Dengan raket mainan itu, mulailah Gregoria memukul-mukul kok. Ruang tamu hingga jalan paving blok depan rumahnya menjadi tempat bermainnya sejak saat itu.
Sekitar umur 8 tahun, Maryanto memasukkan Gregoria ke klub badminton kecil, di wilayah Cemani, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Jarak lokasi latihan sekitar 35 km dari rumah mereka. Butuh setidaknya waktu satu jam perjalanan untuk sampai ke lokasi latihan.
Sepekan tiga kali, Maryanto mengantar dan menemani Gregoria naik bus antarkota dari Wonogiri ke Sukoharjo untuk berlatih. Titik pemberhentiannya juga tidak langsung di depan tempat latihan. Sepasang ayah dan anak itu masih harus berjalan sekitar 3 km lagi agar sampai di lokasi latihan.
”Hujan-hujan pun kami berangkat. Memang, Ria semangat sekali. Sedikit-sedikit inginnya badminton. Jadi, tempatnya jauh tidak masalah,” kenang Maryanto.
Buku saku kecil selalu dibawa Maryanto setiap kali menemani Gregoria berlatih. Dari tepi lapangan, ia mengamati anaknya sambil mencatat kekurangan hingga teknik yang diajarkan. Itu dilakukannya agar menu latihan bisa kembali diulang ketika anaknya kembali ke rumah.
Maryanto melakukan hal itu meski tidak memiliki latar belakang atlet. Alumnus jurusan pendidikan Bahasa Inggris dari universitas negeri di Yogyakarta ini hanya memahami badminton sebatas sebagai penonton.
Ria semangat sekali. Sedikit-sedikit inginnya badminton. Jadi, tempatnya jauh tidak masalah.
”Di rumah itu ditambahi terus latihannya. Biar tambah hebat. Sering menangis juga kalau capek disuruh mengulang-ulang. Tetapi, saya pura-pura tidak melihat (tangisannya). He-he-he,” kata Maryanto.
Kejenuhan terkadang juga melanda Gregoria kecil di hari-hari latihannya. Maryanto dan Fransiska mencoba menyentuh putri tunggalnya itu dengan memberi hadiah. Apabila hasil latihannya baik, Ria akan dihadiahi cakram padat film-film Barbie kesukaannya.
Paling banyak, kenang Maryanto, sepekan bisa tiga kali ia membelikan Gregoria cakram padat tersebut. Biasanya, mereka membeli barang itu sepulang dari latihan di lapak-lapak pedagang kaki lima.
”Ya, anak-anak pasti ada bosannya. Tinggal kami sebagai orangtua ini pintar-pintar mengarahkannya saja,” sebut Maryanto.
Ketelatenan Maryanto terbayar dengan prestasi Gregoria. Sejak berlatih bersama klub, Ria kerap masuk final kejuaraan daerah dan nasional tingkat yunior. Bakat besar putrinya itu terendus klub badminton asal Bandung, yakni Mutiara Cardinal. Alhasil, Gregoria ditawari untuk bergabung dengan klub tersebut meski baru menginjak kelas V SD.
Maryanto dan Fransiska mengizinkan anaknya bergabung dengan klub tersebut. Namun, Gregoria baru dilepas untuk tinggal di asrama saat berusia sekitar 11 tahun atau kelas VI SD.
”Tiga bulan awal itu susah buat saya. Sering saya duduk-duduk di depan rumah membayangkan dia tiba-tiba pulang. Tetapi, lama-lama terbiasa juga. Apalagi hampir setiap minggu kami ke Bandung, pernah juga antar kartu ATM yang dia hilangkan,” tutur Fransiska.
Bahkan, sampai sekarang Maryanto dan Fransiska masih tinggal berbeda kota dengan Gregoria. Pasalnya, prestasi sang anak terus menanjak. Apalagi anak mereka itu tergabung dalam pelatihan nasional (pelatnas) sejak 2013 silam. Ketika itu, Gregoria termasuk yang termuda dengan usianya yang baru 14 tahun.
Menurut Fransiska, anaknya itu cukup tahan banting. Terhitung sedikitnya selama 14 tahun, Gregoria tinggal berjauh-jauhan dengan kedua orangtuanya. Sang anak pun cukup jarang pulang ke kampung halaman.
Walau begitu, Gregoria terkesan enggan menyerah dengan segala keadaan itu. Ia terus berusaha membuktikan diri sebagai salah satu pebulu tangkis terbaik milik Indonesia. Buktinya, ia malah jadi tumpuan bagi nomor tunggal putri saat ini.
”Mungkin ini ada faktor namanya. Itu ’Tunjung’ artinya, kan, bunga teratai. Bunga itu bisa hidup di lumpur. Persis seperti Ria yang bisa bertahan dalam kondisi sesulit apa pun,” kata Fransiska.
Harta karun
Wahyu Aji Suryo Endro (48) adalah sosok yang paling awal melatih Gregoria. Ia masih ingat betul Gregoria datang ke klubnya bersama sang ayah dengan perlengkapan bulu tangkis seadanya. Sepatu yang dikenakan Gregoria juga bukan sepatu khusus olahraga tersebut, melainkan sepatu kets yang sehari-hari dikenakan untuk sekolah.
Awalnya, Wahyu mengira Gregoria sama sekali belum bisa bermain. Ia terkagum-kagum begitu meminta Gregoria mempraktikkan sejumlah teknik dasar bulu tangkis. Menurut dia, bocah itu memiliki potensi yang bisa dikembangkan.
”Saya lihat teknik pukulannya, kok, sudah bagus. Ternyata dia sudah bisa footwork juga. Saya tanya ke bapaknya, apa dilatih di rumah? Selama ini dibilang hanya bermain-main di rumah dan menonton pertandingan,” ujar Wahyu.
Wahyu bagaikan menerima ”harta karun” saat melatih Gregoria kecil. Sebab, perkembangan anak didiknya itu cukup cepat. Hanya tiga bulan berlatih, kata dia, Gregoria bisa dipastikan selalu masuk ke final setiap kali ikut serta dalam kejuaraan-kejuaraan terbuka tingkat yunior.
Saat itu, jelas Wahyu, modal besar yang dimiliki Ria adalah mentalitas pemenang. Sejak kecil, sebut dia, Gregoria selalu bermain dengan ngotot. Segala daya dan usaha dikerahkan untuk menang. Luka lecet pada lutut dan kaki merupakan hal biasa mengingat gaya bermainnya yang rela jatuh bangun di lapangan.
Kala itu, ketika latihan internal, kenang Wahyu, Gregoria sudah tidak bisa diimbangi oleh teman-temannya sesama perempuan. Untuk itu, Gregoria kerap berlatih tanding dengan anak laki-laki di klubnya. Bahkan, kadang-kadang Wahyu sendiri yang menjadi lawan latih tandingnya.
”Waktu saya jadi pelatih itu, saya belum pernah menemukan anak yang seperti dia. Ngotot-nya minta ampun. Saya yakin ketika itu dia akan jadi pemain besar,” kenang Wahyu.
Di Olimpiade Paris 2024, Ria mengukir sejarah dengan perolehan medali perunggunya. Ia juga memesona publik dengan kebesaran hatinya. Saat banyak orang bergembira ketika meraih medali, ia justru mengkhawatirkan lawan mainnya. Sebab, medali didapatkan Gregoria tanpa harus bertanding melawan pebulu tangkis asal Spanyol, Carolina Marin, yang terpaksa mundur akibat cedera lutut.
Usut punya usut, sikap itu adalah buah didikan sang ayah, Maryanto. Sosok yang sehari-hari bekerja sebagai penjual pakaian di pasar itu selalu mengingatkan Gregoria untuk tidak berlebihan jika melakukan selebrasi. Kemenangan mestinya dirayakan sewajarnya karena setiap atlet juga punya perasaan dan hati.
”Masalah teknik dia sudah hebat sekali. Soal karakter ini yang harus terus saya ingatkan. Harapan saya supaya dia tetap rendah hati meski banyak prestasi,” tutur Maryanto.
Baca juga: Gregoria Mariska Tunjung Mencapai Ekuilibrium
Jika ditilik lebih jauh, rasa-rasanya tim bulu tangkis Indonesia perlu banyak berterima kasih kepada Maryanto dan Fransiska. Pasangan suami istri dari Wonogiri itu telah melahirkan atlet paket lengkap yang tidak sekadar bertalenta, tetapi juga berhati emas.
Ketekunan Maryanto mendampingi putri kesayangannya menumbuhkan asa bagi nomor tunggal putri yang sempat dianggap mati suri. Berawal dari raket seharga Rp 7.000 hingga cakram padat film Barbie, ratu bulu tangkis Indonesia dilahirkan kembali lewat sosok Gregoria.